Jakarta -
Hari Raya Idulfitri, yang lebih dikenal dengan sebutan Lebaran di Indonesia, merupakan perayaan penting bagi umat Muslim yang memiliki dimensi keagamaan dan budaya yang mendalam. Tradisi seperti mudik, membeli pakaian baru, menyajikan hidangan khas seperti ketupat dan opor ayam, serta memberikan Tunjangan Hari Raya (THR) kepada keluarga, telah menjadi bagian integral dari identitas Lebaran di Indonesia.
Namun, dalam konteks ekonomi yang terus menghadapi berbagai tantangan, penting untuk mengevaluasi relevansi dan dampak tradisi ini terhadap kondisi finansial individu dan keluarga dengan memperhatikan aspek ekonomi saat ini.
Warisan Budaya yang Mengakar
Lebaran di Indonesia lebih dari sekadar perayaan keagamaan merupakan perpaduan yang khas antara ajaran Islam dan tradisi budaya lokal yang telah diwariskan secara turun-temurun. Salah satu tradisi yang paling ikonik adalah mudik, di mana jutaan orang rela menempuh perjalanan jauh demi berkumpul dengan keluarga di kampung halaman.
Selain mudik, tradisi membeli baju baru menjadi ritual penting yang terus berkembang. Kebiasaan ini, yang berakar sejak era Kesultanan Banten pada abad ke-16, mengharuskan masyarakat untuk tampil dengan pakaian terbaik dalam menyambut hari raya. Saat ini, pusat perbelanjaan menjadi tujuan utama jelang Lebaran, dengan berbagai tawaran diskon besar yang menarik minat konsumen.
Tapi, tradisi ini tidak datang tanpa harga di balik semua kemeriahan, ada kenyataan ekonomi yang kadang bertolak belakang dengan semangat perayaan. Bagaimana masyarakat Indonesia bisa tetap menjaga tradisi lebaran sambil menghadapi tekanan keuangan di tengah kondisi ekonomi yang fluktuatif.
Realitas Ekonomi Terkini
Pada Maret 2025, kondisi ekonomi Indonesia menunjukkan tanda-tanda perlambatan yang signifikan. Berdasarkan laporan APBN KiTa edisi Februari 2025, dengan penerimaan negara yang mengalami penurunan sebesar 30,19% dibandingkan dengan realisasi pajak 2024. Defisit anggaran sebesar 0,13% pada tiga bulan pertama tahun ini, yang tercatat dengan belanja negara mencapai Rp 348,1 triliun sementara pendapatan hanya Rp 316,9 triliun, menggambarkan tekanan ekonomi yang semakin meningkat, baik di tingkat nasional maupun individu.
Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Pengembangan Otonomi Daerah, Sarman Simanjorang, mengatakan bahwa penurunan perputaran uang selama Lebaran 2025 disebabkan oleh turunnya jumlah pemudik. Jika tahun lalu asumsi perputaran uang selama Idulfitri 2024 mencapai Rp 157,3 triliun, maka asumsi perputaran uang libur Idulfitri 2025 diprediksi mencapai Rp 137,975 triliun, turun 12,3 persen, dikutip dari keterangan tertulis, Jumat (21/3).
Penurunan ini dapat menjadi indikator melemahnya daya beli konsumen atau meningkatnya kehati-hatian dalam pengeluaran di tengah ketidakpastian ekonomi. Kenaikan harga barang kebutuhan pokok, seperti beras, minyak goreng, dan daging, menjelang Lebaran turut memberikan tekanan pada anggaran rumah tangga, yang berpotensi mempengaruhi pola belanja dan konsumsi di pasar.
Fenomena ekonomi saat Lebaran seringkali bertentangan dengan hukum ekonomi dasar. Biasanya, harga yang naik akan menurunkan permintaan, tapi menjelang Lebaran, permintaan malah meningkat meskipun harga barang melonjak. Ini adalah ciri khas Lebaran di Indonesia, di mana tradisi mendorong orang untuk belanja besar-besaran, meski kondisi keuangan tak selalu mendukung. Akibatnya, banyak keluarga merasa kehabisan uang setelah Lebaran karena dana yang mereka kumpulkan selama setahun habis dalam waktu singkat.
Kontradiksi antara tradisi Lebaran dan realitas ekonomi menciptakan sebuah dilema. Di satu sisi, tradisi seperti mudik dan pembelian baju baru memberikan kontribusi positif terhadap perekonomian. Perputaran uang yang besar tersebut mendorong sektor transportasi, perdagangan, dan pariwisata. Pemudik yang membawa dana dari kota ke desa turut meningkatkan konsumsi lokal dan mendukung usaha mikro. Namun, di sisi lain, tekanan untuk memenuhi ekspektasi tradisi sering berdampak negatif terhadap stabilitas keuangan pribadi.
Namun, apakah tradisi Lebaran harus dikorbankan demi menjaga stabilitas ekonomi? Tidak sepenuhnya demikian. Tradisi ini memiliki nilai sosial dan budaya yang tak ternilai harganya, yang sering tidak dapat diukur dengan angka. Sebagai contoh, mudik merupakan simbol penting dalam mempererat hubungan antar keluarga dan masyarakat, sementara sajian ketupat dan kegiatan halalbihalal mencerminkan nilai perdamaian dan pengampunan.
Lebaran yang Bermakna
Di tengah tantangan ekonomi yang ada, terdapat beberapa pendekatan untuk mempertahankan tradisi Lebaran tanpa merusak kestabilan finansial individu, salah satu solusi utama adalah perencanaan keuangan yang terstruktur dengan baik.
Penting untuk mengubah pola pikir masyarakat terkait tradisi konsumtif, khususnya dalam perayaan Lebaran. Misalnya, membeli baju baru setiap tahun tidak perlu menjadi kewajiban jika pakaian lama masih dalam kondisi baik dan layak pakai. Begitu pula dengan penyediaan hidangan Lebaran mengurangi variasi makanan dan fokus pada yang lebih bermakna dapat mengurangi pengeluaran tanpa mengurangi makna dari perayaan itu sendiri.
Selain itu, pemanfaatan teknologi dalam silaturahmi, seperti dengan mengadakan mudik virtual atau melakukan video call, dapat menjadi alternatif yang efektif bagi mereka yang tidak dapat pulang kampung, sehingga tetap mempertahankan esensi perayaan tanpa beban finansial yang besar.
Pemerintah memegang peran yang sangat penting dalam menghadapi tantangan ini. Kebijakan seperti mudik gratis, yang pada 2024 memperoleh tingkat kepuasan sebesar 91% dari masyarakat menurut Kementerian Perhubungan, sebaiknya diperluas guna meringankan beban masyarakat. Selain itu, pengendalian harga barang kebutuhan pokok menjelang Lebaran perlu dilakukan dengan lebih ketat untuk mencegah inflasi yang dapat membebani daya beli masyarakat.
Tradisi Lebaran mencerminkan kekayaan budaya Indonesia yang sangat berharga dan perlu dijaga. Namun, di tengah kondisi ekonomi yang fluktuatif, penting bagi individu dan keluarga untuk merayakan Lebaran dengan pendekatan yang bijaksana. Lebaran tidak perlu diidentikkan dengan pemborosan. Sebaliknya, ini bisa menjadi kesempatan untuk memperkuat hubungan keluarga, melakukan refleksi spiritual, dan meningkatkan kepekaan sosial.
Pada akhirnya, esensi Lebaran terletak pada kembali ke fitrah, bukan pada pengeluaran berlebihan untuk pakaian baru atau hidangan mewah. Dengan menyeimbangkan antara tradisi dan kondisi ekonomi saat ini, kita dapat merayakan Lebaran yang lebih bermakna tanpa membebani keuangan. Mari menjadikan Lebaran 2025 sebagai langkah awal untuk merayakan hari raya dengan cara yang lebih cerdas, efisien.
Tomi Subhan pegawai negeri sipil
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini