Jakarta -
Peringatan Hari Film Nasional 30 Maret seakan menjadi cermin yang merefleksikan perjalanan panjang sinema Indonesia dalam mengidentifikasi identitas bangsa secara kultural sekaligus sebagai media kritik atas realitas sosial politik yang terjadi. Dari film sejarah yang merekam perjalanan peradaban hingga film kontemporer yang mencoba mengungkap kompleksitas kekuasaan dan konflik internal masyarakat, sinema Indonesia telah berubah menjadi arena pertempuran ideologi, tempat pertarungan antara tradisi dan modernitas dipertontonkan melalui setiap frame.
Sejarah perfilman Indonesia tidak bisa lepas dari peran budaya yang membentuk jati diri bangsa. Film klasik seperti Lewat Djam Malam karya Usmar Ismail (yang menjadi tonggak pencanangan Hari Film Nasional misalnya), tidak hanya merekam potret kehidupan pasca kemerdekaan, tapi juga menyuguhkan kritik terhadap dinamika sosial pada masanya.
Dari sudut pandang antropologis, film-film ini merupakan artefak budaya yang mengandung nilai praktik sosial yang kaya makna simbolis, menampilkan bagaimana masyarakat menyusun makna kehidupan melalui penceritaan visual. Lapisan-lapisan makna yang tersembunyi di balik narasi visual film membuka diskursus tentang bagaimana masyarakat menanggapi perubahan dan konflik yang memungkinkan terciptanya kesadaran kritis atas kondisi sosial yang ada. Dengannya, sejarah film berperan sebagai laboratorium identitas, di mana narasi kolektif bangsa dibangun melalui representasi visual yang merefleksikan kondisi sosial dan budaya masa itu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Peran Kompleks
Kini, pada era globalisasi dan digitalisasi, film memiliki peran yang lebih kompleks dalam mengatasi realitas sosial politik bangsa yang amburadul. Di tengah fakta sosial yang sering kali diwarnai kekerasan, korupsi, pornografi, dan dominasi kekuasaan yang makin banal ini, tuntutan sinema tidak sekedar menjadi hiburan belaka, tetapi juga sebagai media penyampaian narasi positif dan penggerak transformasi menuju arah yang lebih baik.
Dalam kerangka cultural studies, film dapat berfungsi sebagai alat dekonstruksi terhadap wacana resmi yang didominasi oleh kepentingan elit. Film seperti Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak dan Women from Rote Island merupakan contoh kasus di mana sineas yang menggabungkan elemen budaya lokal dengan perspektif global, menghasilkan karya yang mampu menantang stereotip dan membuka ruang dialog kritis mengenai identitas komunal serta ketidakadilan sosial yang terjadi di masyarakat.
Analisis teori identitas komunal yang banyak dipengaruhi pemikiran sosiolog Inggris Stuart Hall menyebut bahwa identitas suatu komunitas selalu berada dalam proses rekonstruksi melalui dialog antar unsur budaya. Sinema, sebagai salah satu media utama dalam penyebaran budaya visual, memiliki potensi untuk mengkonstruksi kembali identitas bangsa melalui narasi yang inklusif.
Film Yuni dan Istri Orang misalnya, mengangkat isu-isu sosial dan gender yang selama ini terpinggirkan, menyajikan gambaran tentang perempuan dalam konteks budaya yang dinamis. Dengan menggabungkan elemen estetika tradisional dan teknik naratif modern, karya tersebut berhasil menembus batasan konvensional dan menawarkan perspektif baru yang menantang dominasi narasi patriarkal.
Sementara itu, dari perspektif politik kebudayaan, film tidak sekadar cermin, tetapi juga alat untuk mendekonstruksi ideologi dominan. Mengacu pada teori hegemoni Antonio Gramsci, kita memahami bahwa kekuasaan tidak hanya dijalankan melalui kontrol material, melainkan juga melalui pengendalian wacana. Film yang diproduksi pada era digital kerap terjebak dalam standar produksi global yang homogen, yang mengikis keberagaman narasi lokal.
Namun, karya-karya yang berani bereksperimen, seperti Budi Pekerti, menunjukkan bahwa film dapat mengembalikan nilai-nilai kearifan lokal dengan mengangkat isu dan fakta sosial terkini, cara yang kritis dan inovatif, sehingga mampu merekonstruksi identitas bangsa dari dalam. Di sini, film berperan sebagai medium yang menginterogasi dan mengkritisi tatanan yang ada, sambil menawarkan alternatif narasi yang lebih berpihak pada realitas budaya dan sosial masyarakat.
Digitalisasi
Pada saat yang sama, dinamika digital dan kemunculan platform streaming telah mengubah lanskap distribusi film secara drastis. Algoritma dan analitik data yang dihasilkan oleh platform seperti Netflix, Disney+ dan Amazon Prime tidak hanya mempengaruhi cara konten yang dikonsumsi, tetapi juga menetapkan standar estetika dan narasi yang harus diikuti oleh sineas lokal agar dapat diterima di pasar global.
Fenomena ini menimbulkan dilema antara mempertahankan identitas kultural dan menyesuaikan diri dengan mekanisme pasar global. Kondisi ini mengundang pertanyaan penting: apakah integritas artistik dapat dipertahankan ketika film harus tunduk pada logika algoritma yang homogen? Dalam hal ini, film yang berhasil menyeimbangkan antara eksperimentasi kreatif dan kepatuhan terhadap pasar, seperti Penyalin Cahaya, menjadi contoh bagaimana sinema dapat tetap autentik dan sekaligus kompetitif secara global.
Terkait hal ini, konsep habitus dari Pierre Bourdieu bisa membahas praktik budaya dengan struktur sosial yang lebih luas. Habitus kultural yang terinternalisasi oleh sineas dan penikmat film menciptakan pola pikir tertentu yang mempengaruhi cara cerita diceritakan dan diterima. Transformasi digital menawarkan peluang untuk mengubah kebiasaan ini, memungkinkan munculnya narasi baru yang lebih inklusif dan kritis.
Dalam proses ini, film tidak hanya merepresentasikan kondisi sosial, tetapi juga berpotensi mengubah cara pandang masyarakat terhadap identitas dan kekuasaan. Dengan demikian, perayaan Hari Film Nasional dapat menjadi momentum untuk menggugah kesadaran kolektif, meruntuhkan batas-batas pemikiran konvensional, dan membuka ruang bagi dialog yang lebih mendalam tentang masa depan sinema dan bangsa.
Identitas Bangsa
Peran film sebagai agen transformasi sosial semakin penting ketika mempertimbangkan konteks politik yang sering kali amburadul dan penuh intimidasi. Dalam situasi di mana narasi resmi didominasi oleh kepentingan elit, film berfungsi sebagai medium alternatif yang mampu mengungkap realitas tersembunyi dan menantang status quo.
Melalui representasi visual yang kaya dan simbolis, film dapat menyuarakan kritik terhadap struktur kekuasaan yang kerap kali eksklusif dan represif. Pendekatan semiotika dalam analisis film membantu kita memahami bagaimana tanda-tanda dan simbol-simbol dalam film merefleksikan dinamika konflik dan perlawanan, membuka kesempatan bagi masyarakat untuk membuka kembali tatanan yang ada dan membayangkan kemungkinan baru dalam struktur sosial politik.
Peringatan Hari Film Nasional bukan sekadar momentum untuk mengapresiasi karya seni, melainkan juga sebagai titik tolak untuk memikirkan kembali peran sinema dalam membentuk identitas bangsa. Pada era ketika globalisasi dan digitalisasi mendikte cara kita mengonsumsi dan memproduksi narasi, tantangan yang dihadapi sinema Indonesia adalah untuk tetap autentik, mempertahankan nilai-nilai kearifan lokal, dan mengoptimalkan potensi transformasi sosial.
Peringatan Hari Film Nasional seharusnya menjadi refleksi kolektif atas perjalanan panjang sinema Indonesia, mengungkap bagaimana film tidak hanya merekam sejarah, tetapi juga membentuk masa depan bangsa. Semangat kritis dan inovatif para sineas adalah harapan untuk menciptakan wacana baru yang mampu merangkul keberagaman dan menyuarakan aspirasi rakyat, sehingga identitas kultural yang selama ini telah menjadi kekayaan bangsa dapat terus hidup dan berkembang dalam menghadapi tantangan global.
Purnawan Andra bekerja di Direktorat Bina SDM, Lembaga & Pranata Kebudayaan Ditjen Pengembangan, Pemanfaatan & Pembinaan Kebudayaan Kementerian Kebudayaan
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini