Jakarta Dikepung Kucing

10 hours ago 5

Ilustrasi: Seekor kucing sedang menjalani sterilisasi di kawasan (Pradita Utama/detikcom)

Minggu, 15 Juni 2025

Setiap kali melangkah keluar dari rumahnya di Kalideres, Jakarta Barat, Sumarni Widiyanti merasa seperti sedang menembus ‘ladang ranjau’. Bukan ranjau logam atau bahan peledak, tapi sesuatu yang jauh lebih menjengkelkan dan beraroma sengit: tai kucing.

Sumarni sudah hafal betul, satu ranjau tersembunyi di bawah bangku semen di teras, satu lagi sering nongol di sudut pot palem di depan rumah. Belum lagi yang bentuknya nyaris tak kasat mata tapi menguarkan bau menyengat begitu kaki mendekat.

“Kadang udah disapu, eh, sore balik lagi. Kayak mereka sengaja naruh di tempat yang sama,” keluhnya. Ubin keramik yang baru saja ia siram dengan air sabun bercampur karbol sudah kotor lagi.

Bagi ibu dua anak ini, rumah yang seharusnya jadi tempat beristirahat malah terasa seperti medan tempur kecil, dipenuhi bau tak sedap dan rasa kesal yang terus mengendap. Biang keladinya adalah belasan kucing liar yang hilir mudik di depan rumah. Hampir setiap waktu ada saja induk kucing melahirkan, menambah panjang daftar penghuni tak diundang di lingkungan itu.

Yang paling mengganggu baginya bukan semata keberadaan kucing itu, tapi kenyataan bahwa tetangganya sendiri, orang-orang yang mengaku pecinta kucing, ikut menyumbang kekacauan ini. Di pagi dan sore hari, biasa terlihat satu atau dua orang tetangganya yang meletakkan mangkuk plastik berisi nasi, ikan, atau makanan kucing sachet di trotoar atau depan rumah mereka.

“Mereka kasih makan, iya. Tiap sore pasti ada yang naruh makanan. Tapi enggak pernah mikir kucing-kucing itu beranak terus. Tiap bulan ada anak baru, makin banyak. Tapi, ya, dibiarin aja,” katanya sambil menghela napas panjang. Belum lagi wadah makanan dibiarkan berceceran begitu saja.

Persis di sebelah rumah Sumarni, ada bangunan kosong yang jadi sasaran para kucing liar buang hajat. Seseorang entah siapa rutin menaburkan pasir di halamannya. Setiap keluar rumah, perempuan berusia 40 tahun ini bisa mencium aroma kotoran kucing yang begitu menyengat. “Saya enggak tahu siapa yang iseng banget naruh pasir di situ. Kucing-kucing jadi pada buang kotoran di situ. Tiap hari makin bau. Angin saja bisa bikin kita mual,” katanya.

Ilustrasi kucing liar di tengah perkampungan penduduk.
Foto: Bima Bagaskara/detikcom

Motor suaminya pun pernah jadi korban. Joknya basah karena pipis kucing yang mengering di bawah sinar matahari. “Satu minggu baunya enggak hilang. Mau dimandiin motor juga percuma. Saya jadi stres sendiri, tiap hari harus siapin sapu dan air pel,” ucap Sumarni.

Sumarni sebetulnya bukan pembenci kucing. Ia bahkan pernah memelihara satu ekor saat anaknya masih kecil. Tapi yang ia alami sekarang sudah sangat menggangu kenyamanan. Ia khawatir kotoran kucing yang dibiarkan saja lama-lama akan berdampak pada kesehatan keluarganya. “Saya udah lapor ke Pak RT, tapi katanya belum ada solusi. Masa harus nunggu penyakit dulu baru bertindak?” kata Sumarni yang hendak memasang kamera pengawas untuk mengetahui sosok pembuang pasir di sebelah rumahnya.

Di balik wajah menggemaskan kucing-kucing yang tersebar di Jakarta, tersimpan sebuah masalah pelik yang terus membesar dari tahun ke tahun. Ledakan populasi kucing liar yang kian tak terkendali membuat masalah yang dialami Sumarni mudah ditemui. Guru Besar IPB University, Prof Ronny Rachman Noor, menegaskan bahwa fenomena ini tak bisa lagi dianggap enteng.

“Kucing merupakan salah satu hewan peliharaan yang menggemaskan dan menyenangkan. Namun, jika populasinya tidak terkendali dapat menjadi masalah kesehatan yang nyata bagi penduduk Jakarta,” tegas Prof Ronny, dikutip laman IPB University.

Di tahun 2024, berdasarkan data dari Dinas Pangan, Kelautan, dan Pertanian Provinsi DKI Jakarta, jumlah kucing liar yang berkeliaran di kota ini diperkirakan mencapai sekitar 860.000 ekor. Jika dihitung secara keseluruhan di seluruh wilayah Jakarta, angka tersebut bisa menembus lebih dari 1,5 juta ekor. Dan angka ini diperkirakan terus meningkat, mengingat tingkat reproduksi kucing yang sangat cepat.

Dalam setahun, seekor kucing betina bisa melahirkan hingga 3–4 kali, dengan jumlah anak per kelahiran bisa mencapai lebih dari tiga ekor. Jika dibiarkan, satu ekor kucing saja dalam waktu lima tahun bisa menghasilkan ribuan keturunan, apalagi dalam populasi yang tidak terkendali.

Overpopulasi kucing tak hanya memicu kekurangan makanan dan perawatan bagi hewan itu sendiri, tapi juga menimbulkan risiko kesehatan bagi manusia. Kucing liar rentan terkena penyakit seperti rabies, toksoplasmosis, dan infeksi saluran pernapasan.

Salah satu cara untuk mengendalikan over populasi kucing adalah dengan sterilisasi
Foto: Pradita Utama/detikcom 

Kotoran kucing juga menjadi sumber bahaya. Feses yang mengandung Toxoplasma gondii dapat menular ke manusia dan berdampak serius, terutama bagi ibu hamil dan anak-anak. Selain menimbulkan bau menyengat, kotoran yang dibiarkan bisa mencemari lingkungan dan memicu gangguan pernapasan atau infeksi lain akibat bakteri dan parasit.

“Masalah kucing liar di ibu kota negara ini tidak dapat lagi dianggap sebagai masalah ringan karena kucing liar dapat menjadi permasalahan penyebaran penyakit seperti rabies, toxoplasma, dan penyakit zoonosis lainnya, termasuk COVID-19 yang sangat serius bagi penduduk Jakarta,” lanjut Prof Ronny, pakar genetika ekologi dari IPB University.

Ia menjelaskan bahwa persoalan ini juga dipicu oleh program pengendalian populasi yang masih jauh dari kata efektif. Keterbatasan sumber daya manusia, anggaran, serta rendahnya kesadaran masyarakat dalam memelihara kucing dengan bertanggung jawab menjadi faktor utama.

“Sering kali akibat tidak dilakukannya sterilisasi, kucing peliharaan beranak-pinak tidak terkendali. Peningkatan jumlah kucing yang dimiliki ini sering kali tidak diikuti dengan kemampuan untuk memelihara dan memberi makan kucing, sehingga akhirnya banyak kucing dibuang dan berkembang menjadi kucing liar,” ujarnya.

Di satu sisi menurutnya, sterilisasi dianggap sebagai solusi paling masuk akal dan berkelanjutan. Tapi di sisi lain, prosedur ini masih belum terjangkau oleh semua kalangan. Biaya mensterilisasi satu ekor kucing betina bisa mencapai Rp 300 hingga Rp 400 ribu, sementara untuk kucing jantan berada di kisaran Rp 250 hingga Rp 350 ribu. Tak semua pemilik kucing bersedia atau mampu membayar biaya tersebut.

Kesadaran akan pentingnya pengendalian populasi juga dilakukan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Gubernur DKI Jakarta, Pramono Anung, meraih penghargaan dari Museum Rekor Indonesia (MURI) atas keberhasilannya mensterilkan 1000 ekor kucing jantan pada 21 dan 22 Febuari 2025. Penghargaan ini diserahkan langsung oleh perwakilan komunitas pecinta kucing, Sonny Kastara Dhaniswara, sebagai bentuk apresiasi atas inisiatif tersebut. Program ini digagas oleh Bang Kent, Kepala Badan Penanggulangan Bencana (BAGUNA) DPD PDI Perjuangan DKI Jakarta, yang juga dikenal sebagai pegiat kesejahteraan hewan. Pramono juga menargetkan untuk melakukan sterilisasi sebanyak 21 ribu ekor kucing di Jakarta tahun 2025.

Pramono Anung saat menerima Rekor MURI Pemecahan Steril 10.000 Ekor Kucing
Foto: Diskominfo DKI Jakarta 

Kini, Gubernur Pramono juga membawa ide yang tak kalah unik. Ia berwacana untuk membangun Pulau Kucing di Kepulauan Seribu, terinspirasi dari pulau-pulau seperti Tashirojima di Jepang. Pulau ini direncanakan menjadi tempat perlindungan bagi kucing-kucing liar yang sudah disteril dan tidak memiliki pemilik, sekaligus menjadi daya tarik wisata edukatif dan tempat riset kesejahteraan hewan.

“Pulau ini bukan tempat pembuangan, tapi sanctuary. Kita ingin Jakarta menjadi kota yang ramah terhadap hewan tanpa mengorbankan kebersihan dan kenyamanan warganya,” ungkap Pramono dalam konferensi pers awal tahun 2025. Meski baru pada tahap studi kelayakan, ide ini mendapat sambutan beragam. Beberapa komunitas animal rescue mendukung, sementara warga seperti Sumarni hanya berharap tindakan nyata segera hadir di depan rumahnya, bukan sekadar wacana di ruang konferensi.

Beberapa negara telah lebih dulu sukses menangani overpopulasi kucing liar dengan pendekatan sistematis. Salah satunya adalah Australia, negara yang sempat menyatakan kucing liar sebagai ancaman bagi spesies burung endemiknya. Pemerintah Australia meluncurkan program berbasis TNR (Trap-Neuter-Return) yang didukung undang-undang perlindungan lingkungan. Selain itu, terdapat “cat curfews” atau jam malam kucing di beberapa wilayah, yang mewajibkan pemilik mengurung kucingnya setelah matahari terbenam.

Sementara itu, Turki, terutama di kota Istanbul, menjadi contoh negara yang harmonis dengan kucing. Di kota ini, pemerintah menyediakan rumah-rumah kecil untuk kucing di taman dan trotoar, lengkap dengan makanan dan air. Namun, setiap kucing yang tinggal di area publik telah lebih dulu disteril dan diperiksa kesehatannya. Di balik estetika “cat-friendly city”, ada sistem steril yang ketat dan edukasi publik yang masif.

Penulis: Melisa Mailoa
Editor: Irwan Nugroho

[Widget:Baca Juga]

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial