Saat Kelompok Sunni-Syiah Berbagi Masjid dan Memupuk Kerukunan di Pakistan

2 days ago 9

Jakarta -

Ketegangan antara pengikut aliran Islam yang berbeda kerap terjadi di negara-negara berpenduduk mayoritas muslim. Di Pakistan, misalnya, bentrokan keras belakangan meningkat antara kelompok Sunni dan Syiah. Namun, di sebuah desa di sebelah utara Pakistan, kedua komunitas tersebut justru hidup berdampingan dengan damai.

Desa itu bernama Pira. Ia terletak di Provinsi Khyber Pakhtunkwha.

Bila berkesempatan menyambanginya, salah satu hal yang pertama kita temui di sana adalah masjid dengan menara baja dan pengeras suara tinggi di atapnya.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tak hanya bersejarah, masjid ini juga merupakan simbol persatuan, karena ia digunakan bersama oleh para penduduk desa, entah yang aliran Sunni ataupun Syiah.

Ketika azan berkumandang, kelompok aliran yang satu bakal bergegas masuk ke masjid. Kira-kira 15 menit kemudian, setelah melafalkan salat, mereka keluar kembali. Giliran kelompok aliran lainnya beribadah di sana.

Tentu saja, kaum Sunni dan Syiah berdoa dengan cara mereka sendiri sesuai dengan tradisi masing-masing. Azannya pun berbeda, tergantung siapa di antara mereka yang mengumandangkannya.

Ada kesepakatan tidak tertulis bahwa azan pagi, siang, dan sore dikumandangkan oleh komunitas Syiah, sedangkan azan sore dan malam dilantunkan komunitas Sunni.

Garis.BBC

BBC News Indonesia hadir di WhatsApp.

Jadilah yang pertama mendapatkan berita, investigasi dan liputan mendalam dari BBC News Indonesia, langsung di WhatsApp Anda.

Garis.BBC

Namun, selama Ramadan, kaum Sunni berbuka puasa beberapa menit lebih awal daripada kaum Syiah. Karena itu, mereka mengumandangkan azan sore secara terpisah selama bulan suci ini.

Di waktu salat mana pun, bila ada anggota kelompok pertama yang telat datang ke masjid, ia akan bergabung dengan kelompok kedua lalu salat dengan caranya sendiri bersama orang-orang lain yang berbeda aliran.

Memang, ada masjid-masjid lain di Pira, tetapi masjid yang digunakan bersama kelompok Sunni dan Syiah ini adalah yang terbesar.

Sebuah masjid di Desa Pira, sebelah utara Pakistan, telah menjadi simbol persatuan, tempat penganut Sunni dan Syiah bersatu dalam iman dan kerukunan.BBCSebuah masjid di Desa Pira, sebelah utara Pakistan, telah menjadi simbol persatuan, tempat penganut Sunni dan Syiah bersatu dalam iman dan kerukunan.

Kerukunan antara dua kelompok ini telah terjalin lama.

Tadinya, sekitar 100 tahun yang lalu, sebagian besar penduduk Pira adalah penganut Sunni Sufi. Mereka dipercaya sebagai keturunan dari orang yang mendirikan desa tersebut pada abad ke-17.

Menurut Sibtain Bukhari, seorang sejarawan lokal, sebagian penduduk secara bertahap lalu memeluk Syiah, sementara yang lainnya memilih tetap meyakini Sunni.

Meski berbeda aliran, kedua kelompok itu terus menggunakan masjid yang ada secara bersama-sama.

Baca juga:

Pada akhir 1980-an, seorang tetua Syiah setempat mengusulkan pembangunan ulang masjid tersebut.

Molvi Gulab Shah, ulama Sunni, lantas memberikan persetujuannya asalkan tempat ibadah itu bisa tetap digunakan bersama oleh kedua kelompok.

Para tetua Syiah lalu membayar ongkos pembangunan ulang, sehingga bangunan masjid tersebut itu secara formal kini menjadi milik mereka.

Namun, pada praktiknya, hal itu tidak banyak berpengaruh. Syed Mazhar Ali Abbas, seorang pengkhotbah Syiah di masjid tersebut, menekankan bahwa kaum Sunni memiliki hak yang sama untuk menggunakannya.

Ilustrasi muslim beribadah bersama di masjid.BBCIlustrasi muslim beribadah bersama di masjid.

Masjid tersebut bisa dikatakan adalah jantung dari komunitas Desa Pira yang sepenuhnya bersatu.

Penduduk Pira saat ini berjumlah kira-kira 5.000, yang dibagi rata antara pengikut Sunni dan Syiah, dan kedua kelompok itu sama-sama membayar listrik dan biaya operasional masjid lainnya.

Mereka hidup berdampingan dengan damai dan bahagia.

Tak hanya masjid, kedua kelompok itu juga saling berbagi wilayah kuburan.

Tak jarang, pengikut aliran yang satu menikahi pengikut aliran yang lain.

Baca juga:

Muhammad Siddiq, misalnya, adalah seorang Sunni yang menikahi perempuan Syiah. Ia mengakui butuh waktu lama sebelum mertuanya merestui.

Namun, itu bukan karena ia seorang Sunni. Ia bilang masalahnya adalah ia menikah atas dasar cinta, bukan lewat perjodohan seperti yang lazim terjadi di Pakistan.

Ia kini telah menikah selama hampir 18 tahun dan, menurutnya, ia dan istrinya terus menjalankan keyakinan mereka dengan cara masing-masing.

Seorang penduduk desa lainnya, Amjad Hussain Shah, mengatakan bahwa di beberapa rumah tangga, orang tuanya adalah pengikut Syiah sementara anak-anaknya adalah pengikut Sunni. Bisa juga terjadi sebaliknya.

"Orang-orang di sini memahami bahwa keyakinan agama adalah masalah pribadi," katanya.

Seorang laki-laki dan perempuan berjalan bersama sembari membawa tas belanja.BBCDi Desa Pira, kelompok Sunni dan Syiah hidup rukun. Tak jarang, pengikut aliran yang satu menikahi pengikut aliran yang lain.

Bentuk integrasi lainnya bisa dilihat di sejumlah hari raya keagamaan.

Saat Idul Adha, pengikut Syiah dan Sunni terkadang membeli satu hewan kurban bersama-sama untuk memperingati kesiapan Nabi Ibrahim untuk mengorbankan putranya Ismail.

Ketika kelompok Sunni merayakan Maulid Nabi Muhammad, para pengikut Syiah kerap ikut serta, kata Syed Sajjad Hussain Kazmi, seorang pengkhotbah Sunni.

Sebaliknya, kaum Sunni juga hadir dalam acara-acara kelompok Syiah saat Muharam untuk memperingati kesyahidan Imam Husein, cucu Nabi.

Dengan cara ini, penduduk desa dapat saling berbagi suka dan duka.

Baca juga:

Pada hari BBC berkunjung ke Pira, para tetua desa sedang memberikan suara untuk memilih ketua komite zakat lokal, yang bertugas mengumpulkan dan mendistribusikan sumbangan amal.

Selama beberapa tahun terakhir, posisi tersebut dipegang oleh seorang Sunni, tetapi kali ini seorang kandidat Syiah yang keluar jadi pemenang.

Mazhar Ali, yang merupakan pengkhotbah Syiah, mengatakan keluarganya mendukung kandidat Sunni yang kemudian kalah dalam pemilihan.

"Kami tidak pernah mendukung atau menentang siapa pun dalam pemilihan berdasarkan agama. Kami selalu memilih orang yang kami yakini dapat melayani masyarakat dengan baik," katanya.

Ilustrasi muslim beribadah bersama di masjid.Getty ImagesIlustrasi muslim beribadah bersama di masjid.

Suatu waktu, kira-kira 20 tahun lalu, ada upaya untuk memecah belah warga. Ini tidak terjadi di Desa Pira secara khusus, tapi di area lebih luas yang mencakup 11 desa.

Di Pira, warganya memang terbagi rata antara pengikut Syiah dan Sunni. Namun, kelompok Sunni mendominasi desa-desa lainnya yang ada di area itu.

Saat itu, Syed Munir Hussain Shah yang merupakan pengikut Syiah mencalonkan diri untuk mewakili seluruh desa tersebut di dewan lokal.

Salah satu lawannya berusaha menyerang dengan menyebarkan kebencian terhadap Syiah.

"Mereka mendatangkan seseorang dari Karachi yang dikenal di seluruh negeri karena retorikanya yang anti-Syiah. Dia menyampaikan pidato di depan massa, mendesak orang-orang untuk tidak memilih kandidat Syiah," kata Munir Shah.

Strategi itu tidak berhasil. Orang-orang toh tetap memilih Munir Shah.

"Kebanyakan orang mengatakan mereka tidak sedang memilih seorang pengkhotbah masjid, tetapi seorang wakil yang kompeten untuk memperjuangkan isu-isu mereka, terlepas dari sekte mereka," katanya.

Ia percaya bahwa kuatnya persatuan sosial lahir dari masjid dengan menara baja dan pengeras suara tinggi itu, yang selama kira-kira seabad telah digunakan dan dirawat bersama oleh kelompok Sunni dan Syiah.

(haf/haf)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial