Teror dan Provokasi: Saat Demokrasi Diancam dari Dua Arah

3 days ago 11

Jakarta -

Dua peristiwa dalam waktu berdekatan belakangan ini mengganggu nalar sehat dalam kehidupan demokrasi kita. Pertama, teror kepala babi yang dikirim ke kantor redaksi Tempo--sebuah simbol kebencian yang menyasar kemerdekaan pers. Kedua, provokasi terbuka di media sosial terhadap Presiden Republik Indonesia, termasuk seruan pembunuhan yang mengaitkan iring-iringan kendaraan presiden dengan tragedi JFK.

Keduanya bukan sekadar kontroversi viral atau ungkapan kemarahan sesaat. Ini adalah bentuk baru dari politik intimidasi, yang menggunakan kekerasan simbolik dan digital untuk mengguncang institusi demokrasi. Teror terhadap media mengancam pilar kebebasan berekspresi. Narasi kekerasan terhadap kepala negara mengguncang legitimasi pemerintahan yang sah.

Kita tidak sedang menghadapi kritik yang tajam atau oposisi biasa. Kita sedang menghadapi aktor-aktor ekstrem di luar sistem demokrasi, yang beroperasi dengan memanfaatkan ruang digital dan keresahan publik. Mereka tidak berpartisipasi dalam sistem politik formal, tetapi tumbuh subur dari instabilitas, kebencian, dan polarisasi.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Di media sosial, mereka hadir dalam bentuk troll dan akun anonim yang menyebar provokasi terukur. Seruan "bunuh presiden" yang dibungkus humor, meme, atau referensi budaya pop bukan sekadar satire. Itu bagian dari simulasi kekerasan politik yang dirancang untuk viral, membentuk opini, dan memancing reaksi keras dari negara.

Sementara itu, kelompok ekstrem menggunakan kekacauan ini sebagai pintu masuk untuk melemahkan sistem. Mereka mungkin tidak sedang ingin menggantikan pemerintahan. Tapi mereka jelas ingin merusaknya dari dalam, dengan mendorong masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap media, negara, dan demokrasi itu sendiri.

Jika dua tindakan ini--teror terhadap media dan seruan kekerasan terhadap presiden--tidak segera diungkap dan ditindak secara serius, maka kita membuka pintu bagi preseden berbahaya: bahwa kekerasan dapat dibenarkan dalam diskusi publik. Bahwa provokasi ekstrem adalah ekspresi sah. Dan bahwa teror adalah bagian dari strategi politik.

Penegakan hukum menjadi keharusan. Tapi lebih dari itu, kita membutuhkan ketegasan moral sebagai bangsa: menolak segala bentuk intimidasi dan ekstremisme, baik yang bersifat simbolik maupun digital. Demokrasi hanya akan bertahan jika kita menjaga ruangnya tetap sehat, bebas dari teror dan kebencian.

Menjaga demokrasi bukan semata tugas negara. Ini tanggung jawab kolektif kita semua. Karena kalau kita membiarkan ekstremisme berkembang di pinggiran demokrasi, maka pelan-pelan demokrasi itu sendiri akan runtuh-bukan karena kekuasaan otoriter, tapi karena kebisuan kita atas kekerasan yang dibiarkan.

Teror kepala babi ke Tempo dan seruan 'bunuh presiden' di media sosial bukan hanya provokasi, tapi bentuk nyata dari ekstremisme politik, termasuk di ruang digital. Keduanya harus segera diungkap dan ditindak, karena jika dibiarkan akan menjadi preseden buruk yang melemahkan pilar demokrasi kita.


Khairul Fahmi. Analis Hankam dan Co-Founder ISESS.

Simak juga Video Puan soal UU TNI: Kami Kedepankan Supremasi Sipil-Hak Demokrasi

(rdp/rdp)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial