Singularitas Manusia-Mesin, Kecemasan di Zaman Emas?

4 days ago 16

Jakarta -

Bersamaan visi Indonesia Emas 2045, ada prediksi global yang juga bakal tercapai. Pencapaian ini oleh kaum teknolog utopis, diihat sebagai perubahan tanpa titik balik. Definisi relasi berubah total. Relasi manusia dengan mesin, relasi manusia dengan manusia. Juga relasi manusia dengan alam. Mesin bukan lagi artefak eksternal.

Keberadaannya makin menubuh pada manusia. Semesta kemanusiaan juga bergeser, tak lagi berpusat pada dirinya. Ini lantaran mesin yang makin memiliki otoritas pada peradaban. Seluruhnya mempengaruhi relasinya dengan alam. Mesin jadi unsur penting penafsir dan penentu.

Tentu saja yang dimaksud dengan mesin, adalah mesin bekecerdasan, yang singular sebagai tubuh manusia. Era keemasan teknologi yang didorong ilmu pengetahuan, mencapai puncaknya. Namun di seberangnya, teknolog distopis bakal menyebut keadaan di atas sebagai era berakhirnya manusia. The end of human. Kedudukan manusia sebagai pusat peradaban, berakhir. Bahkan terdepak relevansinya. Tak ada keadaan yang lebih mencemaskan, dari zaman ini.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pencapaian yang mengubah wajah dunia itu, terinspirasi oleh prediksi Ray Kurzweil: ilmuwan komputer Amerika, pelopor teknologi pengenalan pola, yang mengungkapkan soal penggabungan manusia dengan teknologi yang diciptakannya. Kurzweil yang saat ini berusia 76 tahun, merupakan peneliti utama dan perancang artificial intelligence (AI) di Google. Sedangkan prediksinya termuat dalam buku yang diterbitkannya pada 2005, "The Singularity is Near".
Pada buku itu dikemukakannya tahap bergabungnya manusia dengan teknologi berbasis AI. Ini bakal jadi arah evolusi baru. Evolusi yang bakal menghadirkan entitas baru: manusia dengan kecerdasan sejuta kali lipat di tahun 2045.

Keberhasilan rekayasa nanobot pada antarmuka otak, yang memasukkan mesin bekecerdasan tanpa upaya pembedahan ke dalam pembuluh mikro manusia jadi pemungkinnya. Zoe Corbyn, 2024, dalam tulisannya: "AI Scientist Ray Kurzweil: 'We are Going to Expand Intelligence a Millionfold by 2045", memperjelas prediksi itu.

Tulisan hasil wawancara itu menyebut, komputer bakal mencapai kecerdasan tingkat manusia di tahun 2029. Disusul pencapaian berikutnya: manusia yang bergabung dengan komputer, seraya jadi manusia super di tahun 2045. Saat itulah singularitas tercapai.

Dan tahun 2025, saat Kurzweil menerbitkan buku dengan judul yang tak terlalu berbeda, "The Singularity Is Nearer: When We Merge With AI", Ia menyatakan sebagian prediksinya telah terwujud. Dalam ekosistem teknologi yang tersedia--kemajuan pengembangan AI, hadirnya komputer kuantum, juga aneka penelitian lainnya--prediksi-prediksi Kurzweil diterima luas. Yang semula dianggap tak masuk akal, tak tampak lagi sebagai gagasan ganjil.

Perbincangan soal AI --saat buku pertama ditulis-- belum terlalu mengemuka. Walaupun istilah AI telah terlontar sejak tahun 50-an, namun hanya beredar di kalangan tertentu, gagasan AI yang singular dengan manusia, dianggap khayalan belaka.

Lagi pula, prediksi Ray Kurzweil soal singularitas ini bisa menjadi kebolehjadian alternatif. Ketika konsep kesadaran manusia belum terkuak --alih-alih dapat diproduksi tiruannya, hakikatnya pun belum terumuskan dalam satu kata para ilmuwan-- singularitas menawarkan jalan keluar. Tak perlu berambisi menciptakan mesin yang dengan kesadaran manusia. Juga membangun manusia yang mampu melakukan penghitungan satu triliun per detik.

Adanya singularitas menghasilkan mesin berkesadaran penuh sebagai manusia bekecerdasan super. Kesadarannya bersumber manusia, dan kecerdasan supernya berasal dari mesin.
Konsep manusia bekecerdasan super di atas, juga pernah dikemukakan Kurzweil pada tahun 1999. Darren Orf, 2024, menuliskannya dalam "A Scientist Says Humans Will Reach the Singularity Within 21 Years".

Disebutkan bahwa di tahun 1999 Kurzweil mengemukakan: Artificial General Intelligence (AGI) bakal tercapai di tahun 2029. Dan ternyata, kurang dari 30 tahun sejak prediksi itu --walaupun menurut banyak ahli diperlukan waktu, sedikitnya 100 tahun-hari ini, manusia yang memanfaatkan teknologi untuk melakukan satu triliun perhitungan per detik telah tercapai. Memang bukan menggunakan kecerdasan alamiahnya, melainkan manusia yang memanfaatkan mesin bekecerdasan. Karenanya soal singularitas, juga soal waktu.

Di tengah terwujudnya berbagai prediksi Kurzweil, beberapa ilmuwan masih teguh meletakkan singularitas sebagai keadaan hipotetis di masa depan. Kebolehjadian: boleh jadi bakal terwujud, boleh jadi tak bakal terwujud. Ini di antaranya dikemukakan Henry Ndou, 2023, dalam "The Singularity: Why it Will Not Happen and Why it Can Happen". Ndou yang menyebut dirinya sebagai penggemar matematika dan statistik, menguraikan singularitas bakal terwujud jika teknologi melaju sangat cepat, melampaui pertumbuhan kecerdasan manusia. Laju teknologi yang bersifat eksponensial.

Pandangan Ndou didasarkan teorema Bayes: peluang terjadinya peristiwa, dapat diperkirakan berdasar peristiwa lain yang terkait dengan peristiwa itu, telah terjadi. Singularitas boleh jadi terwujud di masa depan, jika peristiwa lain yang terkait dengannya telah terjadi. Juga teknologi-teknologi pemungkin lain yang terkait telah tersedia. Dalam skenario Ndou, ketersediaan teknologi-teknologi pemungkin lain beserta kemajuannya terjadi di waktu yang hampir bersamaan. Bekerja dengan saling menguatkan. Kemajuan komputer, memudahkan teknik pemetaan genom.

Kumpulan materi genetik yang telah terpetakan memajukan teknologi di bidang kedokteran melakukan rekayasa genetika. Termasuk untuk pengobatan kanker. Data keberhasilan pengobatan kanker, dapat dimanfaatkan untuk kemajuan diagnosa berbasis AI. Diagnosa yang membedakan sel yang terobati, dari sel yang menunjukkan keganasan. Teknologi pengenalan kanker secara dini, berkembang. Demikian seterusnya.

Adapun peristiwa terkait yang harusnya terjadi untuk membolehjadikan singularitas itu, meliputi: pertama, komputer yang lulus Turing test. Turing test bertujuan menentukan: apakah komputer saat memberikan respon dapat meyakinkan pengujinya sebagai manusia, bukan sebagai komputer. Saat respon tak terbedakan --respon komputer, dikenal sebagai respon manusia-- komputer lulus. Lulusnya mesin bekecerdasan ini penting.

Saat mesin singular dengan manusia, namun ketika responnya masih dikenali sebagai mesin, khayaknya akan menggangap sekedar sebagai mesin yang ditempelkan pada manusia. Singularitas gagal. Karenanya unsur mesin harus dieleminasi.

Namun soal kecerdasan, tak sekedar lulus Turing test. Bagian terpenting yang harus terus berkembang, berbahan naluri. Mungkin seperti ini yang dimaksud Ndou: saat bayi baru lahir, kecerdasannya belum utuh. Namun agar hidupnya bertahan, bayi harus terhubung dengan lingkungannya. Nalurilah yang bekerja.

Dalam konteks mesin bekecerdasan, naluri tak pernah dimiliki. Sebab datanya tak pernah diberikan dan dipelajari oleh machine learning, dalam membentuk algoritma tindakan. Tak tentu hingga kapan, mesin dapat melengkapi dirinya dengan naluri. Maka kebolehjadian yang harus dijawab lebih dulu adalah: mungkinkah antarmuka naluri alamiah manusia dengan kecerdasan mesin dapat terwujud?

Selanjutnya peristiwa kedua, komputasi kuantum. Ini adalah bidang komputer yang berkembang pesat, dengan memanfaatkan prinsip-prinsip mekanika kuantum. Implikasi pengembangannya, komputasi -pemrosesan data, penghitungan dan penyelesaian masalah-dapat dilakukan lebih cepat di tingkat yang kompleks. Jauh lebih kompleks dari komputer umumnya, saat ini.

Lewat komputasi jenis ini kecerdasan super yang memenuhi keperluan singularitas, teruwujud. Dan itu diikuti peristiwa ketiga, pengunggahan pikiran. Ini dikenal sebagai proses hipotetis menyalin atau mentransfer pikiran: ingatan dan kesadaran pada material buatan. Prosesnya melibatkan pengumpulan dan pemindahan pengalaman kesadaran individu.

Persoalannya, kesadaran belum disepakati para ahli. Bahkan ada yang menganggapnya sebagai ilusi. Karenanya membahas pengunggahan pikiran, termasuk kesadaran, alih-alih keberhasilannya, apa ukuran pelaksanaannya?

Perisitwa keempat, kepekaan AI. Pengembangan mesin bekecerdasan sejati, dengan pengalaman subjektif dan kesadaran, punya implikasi sosial. Jika pengunggahan pikiran serta atributnya dimungkinkan, dimungkinkan pula dimilikinya naluri oleh mesin bekecerdasan.

Membangun kepekaan AI, boleh jadi akibat dua peristiwa itu. Namun ketika alasan teknis, sosial maupun etis tak membolehjadikannya --terjadinya peristiwa kesatu, ketiga dan akhirnya keempat-- juga tertutup. Konsep kepekaan AI, tak tercapai.

Seluruhnya itu menyiratkan, kebolehjadian yang dikemukakan Ndou ada di titik semula. Jika peristiwa yang terkait terjadi, singularitas tinggal soal waktu. Namun jika tak terjadi, singularitas tak terwujud. Ini sesuai analogi butterfly effect, kepakan sayap kupu-kupu yang memicu perubahan total.

Ketika kepakan itu terjadi, terpicu perubahan menular yang tak bisa dihentikan. Namun saat Sang Kupu-Kupu enggan mengepakkan sayapnya, tak terjadi perubahan apapun. Harapan zaman emas teknolog utopis, hanya hipotesis. Dan kecemasan teknolog distopis pun dapat ditepis. Namun apakah tanpa singularitas, berarti dunia bakal lebih baik?


Firman Kurniawan S. Pemerhati Budaya-Komunikasi Digital dan Pendiri LITEROS.org.

(rdp/rdp)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial