Jakarta -
Judul berita Penduduk 300 Juta, Tapi Pemain dari Belanda menyentak hati nurani saya untuk mengentak keyboard di laptop saya. Meski perut belum terisi nasi karena puasa, puasa menulis karena nurani terintimidasi no way!
Indonesia harus merespons sindiran itu dengan kerja nyata dan adu fakta. Pertama, apa salahnya pemain naturalisasi? Sudah menjadi hal biasa jual beli pemain antarklub elite sepakbola dunia. Rakyat kecil bisa geleng-geleng kepala, mengelus dada, dan menghela napas panjang ketika melihat kesenjangan penghasilan yang bak jurang yang menganga antara pemain luar negeri seperti Christiano Ronaldo dengan para pemain kita. Saat Indonesia memasuki #IndonesiaGelap dan #KaburAjaDulu karena kebutuhan primer yang tidak bisa menunggu, para pemain bintang bisa bermandi harta sambil menertawakan hari esok. Sementara itu kita di sini miris melihat para pemain veteran kita yang menghadapi kesulitan hidup pasca menggantung sepatu bola. Puasa karena terpaksa.
Emang sih jauh lebih membanggakan jika timnas Indonesia diisi oleh putra daerah dari berbagai provinsi di Indonesia lewat perekrutan dan pelatihan sejak dini dan profesional. Kita bisa belajar dari timnas Jepang dan Korea yang berhasil mengembangkan potensi putra daerah mereka masing-masing. Di setiap timnas masing-masing negara selalu ada pemain asing. Namun, kalau timnas Indonesia bisa menggenjot potensi putera daerah, itu jauh lebih indah.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kedua, klaim bahwa penduduk Indonesia 300 juta itu terlalu banyak. Saat mengetik "berapa jumlah penduduk Indonesia 2024", saya mendapat jawaban --terima kasih, AI--langsung: "Pada Juni 2024, jumlah penduduk Indonesia tercatat 282,48 juta jiwa, naik 1,75 juta jiwa dibandingkan Desember 2023, menurut data kependudukan Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri."
Hiperbola semacam ini memang sudah lumrah. Coba tanyakan pertanyaan ini kepada men of the street: "Berapa lama Belanda menjajah Indonesia?" boleh dipastikan mayoritas akan menjawab, "Tiga setengah abad" atau "Tiga ratus lima puluh tahun." Benarkah? Salah!
Saat saya tanya di Google, "Berapa lama Belanda menjajah Indonesia", AI --lagi-lagi-- memberikan jawaban cepat: "Belanda menjajah Indonesia selama 142 tahun, yaitu dari tahun 1800 hingga 1942. Pendapat ini berbeda dengan narasi yang menyebutkan bahwa Belanda menjajah Indonesia selama 350 tahun."
Ketika saya telusuri lebih jauh, ada buku yang membahas masalah ini dengan ilmiah dan detail. Menurut catatan sejarah, Cornelis de Houtman mendarat di Banten pada 1596, tetapi bukan untuk menjajah melainkan berdagang. Apalagi nama Indonesia baru digaungkan pada 1850 karena sebelumnya sebutan yang lebih populer adalah 'Nusantara' yang merujuk pada wilayah yang tiap daerahnya tidak bersifat mengikat. "Tapi kok sekarang ada IKN, dan bukan IKI?" bisa jadi ada celetukan demikian. Biarkan para pakar yang menjawabnya.
Jadi dari penelusuran saya, paling lama Indonesia dijajah 'hanya' sekitar 100 tahun saja, bahkan ada yang mengatakan 50 tahun saja. Itu pun sporadis, bukan seluruh wilayah Indonesia diduduki Belanda. Ada wilayah yang bebas dari kangkangan Belanda, misalnya Pulau Buton di Sulawesi Tenggara.
Ketiga, ketimbang over sensitive terhadap sindiran Dragan Talajic lalu over reacting, bukankah jauh lebih baik bagi kita semua untuk melakukan introspeksi? Saya jadi ingat apa yang Shin Tae-yong katakan saat latihan perdana TC Timnas Indonesia U-20 untuk Piala Asia U-20 2023. "Lihat, berpikir, dan bergerak," ujarnya saat itu. Menghadapi sindiran pelatih timnas Bahrain, kita bisa memodifikasi saran Shin Tay-yong: "Dengar sindiran itu, pikirkan cara menghadapinya dengan elegan, dan bergerak dengan profesional menuju Piala Dunia!"
Analisa SWOT yang mendalam jelas menolong. Kita jawab tantangan ini, "Masak di antara hampir 300 juta penduduk Indonesia tidak ada yang berbakat main bola?" Mari dengar apa yang Patrick Kluivert ajarkan: Football is a universal language, and I've always felt fluent. Jadi, ada pemain 'asing' atau tidak, karena sepak bola itu universal, kita pun bisa fasih dan mahir menggiring, menggocek dan meng-gol-kan bola.
Jika kita menjawab sindiran Dragan Talajic bahwa tidak ada yang jago main bola di Indonesia dengan jumlah penduduk hampir 300 juta dengan jawaban, "Pasti ada, bahkan banyak!" maka pertanyaan selanjutnya, apakah mereka kurang berminat untuk menjadi pemain bola. Jika jawabannya, "Ya," kita perlu mencari tahu lebih dalam, "Mengapa?" Bisa jadi karena sistem perekrutan dan jaminan masa depan jika mereka benar-benar terjun menjadi pemain timnas.
Jika masalahnya ada di dana, kita bisa belajar dari cabang bulu tangkis. Adanya uluran tangan para pengusaha kakap di Tanah Air yang menyediakan pusat pelatihan profesional memberi bahan bakar untuk mewujudkan impian kita. Bisa juga lewat pertanyaan 'nakal', "Pakai dana Danantara bisa nggak?" Jangan-jangan ada yang menyahut dengan celetukan nyelekit, "Bukankah dewan penasihatnya pun impor dari Thailand?"
PR berikutnya adalah munculnya pelatih Indonesia sehingga tidak perlu mengimpor pelatih asing lagi. Pelatih asing bisa kita rekrut untuk jangka waktu tertentu agar pelatih lokal bisa belajar lebih banyak, menyerap ilmunya, menambahi dengan kearifan lokal, dan membuktikan bahwa kita bisa.
Xavier Quentin Pranata kolumnis
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini