Jakarta -
Mantan Plt Kepala Rutan KPK, Deden Rochendi, mengaku menyesal tak meminta jatah lebih banyak dari hasil pungutan liar (pungli) terhadap para tahanan. Dia mengaku baru tahu duit jumlah hasil pungli saat persidangan.
Hal itu disampaikan Deden dalam kapasitasnya sebagai saksi yang diperiksa untuk terdakwa Muhammad Ridwan, Mahdi Aris, Suharlan, Ricky Rachmawanto, Wardoyo, Muhammad Abduh dan Ramadhan Ubaidillah. Deden awalnya mengaku masih menerima jatah bulanan meski tak lagi menjabat sebagai Plt Karutan KPK di cabang Pomdam Jaya Guntur.
"Ini kan kemudian setelah Saudara tidak menjadi lagi Plt Karutan, Saudara masih menerima Rp 10 juta itu?" tanya jaksa di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Jumat (15/11/2024).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Iya, siap," jawab Deden.
Jaksa mengaku heran mengapa Deden masih menerima jatah padahal sudah tak menjabat di Rutan KPK. Deden menyebut uang itu sebagai uang tutup mulut dan tutup telinga.
"Ya nggak tahu Pak, yang jelas saya terima. Kalau masalah itu, kan gini Pak. Gini Pak Jaksa, setahu saya ya, yang berhak atau yang tidak, dicoret atau tidak dicoret itu Kamtib dengan korting. Oh orang ini si A dapat, ini nggak, itu Kamtib dan Korting," jawab Deden.
"Maksudnya begini loh, Hengki mau memasukkan Saudara itu masih terima Rp 10 juta itu alasannya apa?" tanya jaksa.
"Ya biar saya tutup mata tutup telinga," jawab Deden.
Deden mengaku total duit dari pungli Rutan KPK yang diterimanya mencapai Rp 399 juta. Dia mengaku sedang menyicil untuk mengembalikan uang tersebut.
Jaksa kemudian bertanya berapa total uang yang dikumpulkan korting dari para tahanan setiap bulannya. Deden mengaku awalnya tak tahu berapa jumlahnya.
Dia mengklaim baru tahu para korting diminta mengumpulkan sekitar Rp 72,5 juta setiap bulan untuk petugas Rutan KPK. Dia mengatakan hal itu baru diketahuinya saat persidangan.
"Kalau target setiap Rutan itu berapa yang harus disetorkan? mereka udah kita hadirkan yang dari korting Guntur mereka diminta sekitar Rp 72.500.000 setiap bulannya untuk semua petugas. Saudara tahu itu?" tanya jaksa.
"Saya tidak tahu dan tahunya pada saat di sidang ini Pak, ternyata segitu. Baru saat sidang ini Pak," jawab Deden.
"Baru tahu pada saat sidang ini?" tanya jaksa.
"Baru tahu, demi Allah," jawab Deden.
Deden mengklaim dirinya tak pernah protes dengan jatah bulanan Rp 10 juta yang dia terima saat menjadi Plt Karutan KPK. Dia mengaku tak pernah menanyakan jatah yang diterima petugas Rutan lainnya.
"Jatah Saudara dari Guntur berapa?" tanya jaksa.
"Tadi saya sampaikan sebelumnya, Rp 10 (juta) turun Pak, turun-turun dan saya nggak pernah protes, saya terima-terima aja," jawab Deden.
Deden kemudia menyampaikan penyesalannya. Dia curhat merasa 'dikolongin' usai mengetahui setoran bulanan dari para tahanan yang dikumpulkan korting mencapai Rp 60-70 juta.
"Saya nggak pernah nanya Pak, boleh nanti di-cross check. Saya nggak pernah nanya-nanya mereka dapat berapa-berapa, saya tahunya jumlah nominal yang dari masing-masing Rutan ya pada saat sidang ini. Ternyata, maaf, dalam hati berasa ternyata saya dikolongin itu aja sih Pak," kata Deden.
"Ternyata dikolongin?" tanya jaksa.
"Dikolongin saya ibaratnya Pak, ternyata segini, kalau tahu, mau gitu, saya minta gede Pak," jawab Deden.
"Ya maaf, saya tahunya di sidang ini. Waduh ternyata segini, tahu gitu saya nggak minta Rp 10 juta, minta Rp 20 juta atau Rp 40 juta. Tanggung Pak, itu aja. Maaf ini di luar ini, saya merasa dikolongin. Saya tahunya pada saat sidang ini," imbuh Deden.
Deden Disebut Sebagai Otak Pungli di Rutan
Mantan Koordinator Keamanan dan Ketertiban (Kamtib) Rutan KPK, Hengki, mengungkap Deden Rochendi lah otak pungli tersebut. Hal itu disampaikan Hengki saat menjadi saksi di persidangan yang sama.
Hengki mengaku mendapat informasi dari Kamtib senior bernama Sriyadi soal 'permainan' di Rutan KPK. Dia kemudian menerima informasi para tahanan tak bisa dihukum meski kedapatan menggunakan alat komunikasi.
"Ketika saya masuk di sana, saya sudah mendapatkan beberapa tahanan yang bermain alat komunikasi, ditambah lagi laporan dari Pak Sriyadi, Kamtib senior di sana, bahwa permainan ini, 'Pak Hengki, di sini ada permainan berupa alat komunikasi dan alat-alat masak'. Saya bilang 'Siapa pemainnya?'. Yang saya dengar Pak Deden kalau kata Pak Sriyadi. Kemudian, Pak, menginformasikan kepada saya, 'Cuma di sini, Pak Hengki, kita tidak bisa menghukum mereka karena terbentur dengan alasan TPP', 'Ya sudah, kita sidakin saja, Pak,' seperti itu," tutur Hengki.
Simak selengkapnya di halaman selanjutnya.