Foto : Salah satu bak penampungan air milik warga di desa Sukatani, Kecamatan Pacet, Cianjur. Air dialirkan dengan pipa dari mata air yang ada di Gunung Gede Pangrango dan ditampung di bak yang tersebar di seluruh desa dan ladang-ladang warga. Ahmad Thovan Sugandi/detikX
Selasa, 4 Februari 2025
Warga di tiga desa, yakni Sukatani, Sindangjaya, dan Cipendawa, di Kabupaten Cianjur, Jawa Barat, menolak rencana eksplorasi panas bumi. Mereka yang tinggal di wilayah Gunung Gede Pangrango itu khawatir proses eksplorasi akan berdampak pada hilangnya sumber-sumber kehidupan mereka.
Sayangnya, kekhawatiran warga itu tak pernah dianggap serius oleh para pemangku kepentingan. Tak lama setelah gempa dengan magnitudo 5,6 melanda Cianjur pada 21 November 2022, saat banyak warga menjadi korban dan dalam suasana duka, sekelompok orang datang ke kawasan tersebut mengaku akan melakukan riset terkait patahan dan aktivitas kegempaan.
Namun belakangan diketahui sekelompok orang itu sedang melakukan survei untuk persiapan penambangan panas bumi. Kejadian itu memperkuat kecurigaan warga, proyek tersebut dinilai tidak transparan dan hanya akan membawa kerugian bagi desa mereka.
Perjuangan warga melawan proyek panas bumi ini bukan tanpa risiko. Intimidasi datang dari berbagai pihak, termasuk pihak-pihak yang mendukung proyek. Salah satu bentuk intimidasi yang terjadi, seorang warga bernama Cece Jaelani menerima surat panggilan dari kepolisian. Dia dituduh menghasut karena memimpin demonstrasi pada Agustus 2024 di depan kantor Desa Cipendawa. Demonstrasi itu memprotes kurangnya transparansi sosialisasi proyek dan dampaknya terhadap warga.
“Setelah aksi itu, saya menerima surat panggilan dari Polsek Pacet. Tidak hanya itu, dua hari sebelum surat itu tiba, ada orang-orang asing yang tidak dikenal berkeliling di sekitar rumah saya. Mereka bukan warga desa, dan hanya berkeliaran tanpa alasan yang jelas,” ujar Cece kepada detikX saat dijumpai di kediamannya Desember tahun lalu.
Tak berhenti di sana, Cece juga mendapat telepon dari nomor tak dikenal, sering kali menggunakan fitur privat sehingga identitas penelepon tidak diketahui. Telepon gelap itu datang hampir setiap hari selama dua minggu lebih. Kondisi tersebut membuat Cece dan keluarga merasa tidak nyaman.
Beberapa warga, tutur Cece, bahkan pernah dibawa ke tempat tertentu oleh sekelompok orang untuk diminta menandatangani persetujuan proyek geotermal. “Mereka disamperin, dibawa, lalu dipaksa menyetujui proyek. Ada yang menolak, tapi tekanan seperti ini membuat banyak warga merasa tidak berdaya,” tuturnya.
Untuk membujuk warga, pemerintah dan perusahaan sering merujuk keberhasilan PLTP Kamojang sebagai pembenaran untuk melanjutkan proyek ini. Namun, bagi Cece, perbandingan ini tidak masuk akal. Kamojang dibangun pada masa kolonial Belanda, jauh sebelum masyarakat memiliki kesadaran untuk mempertahankan hak atas lingkungan.
"Mereka selalu bilang Kamojang sukses, tapi itu zaman dulu, ketika rakyat tidak punya pilihan untuk menolak. Situasinya berbeda dengan sekarang," jelasnya.
Selama ini warga mengelola kebutuhan mereka sendiri, mulai pertanian hingga distribusi air. Setidaknya ada dua aliran air utama dari Gunung Gede yang dimanfaatkan warga. Sayangnya, titik eksplorasi panas bumi direncanakan berada persis di antara dua aliran sumber air tersebut. Jarak titik eksplorasi ke aliran air di sisi kanan-kirinya kurang lebih tak sampai 200 meter. Padahal selama ini dua aliran air itu digunakan untuk pertanian dan pemenuhan kebutuhan sehari-hari, termasuk konsumsi.
“Air itu ditampung dulu dari hutan, dibuat beberapa bak sebelum sampai ke rumah-rumah warga. Kalau sumber ini terganggu, habis sudah kehidupan kami,” ucap Cece.
Cece khawatir pengambilan air dari dalam tanah, seperti yang direncanakan perusahaan, akan berdampak pada aliran air yang selama ini digunakan oleh warga. Sebab, mayoritas warga bekerja sebagai petani. Hilangnya sumber air berarti hilangnya mata pencaharian. Cece menilai perusahaan tidak akan mungkin menyediakan lapangan kerja yang cukup untuk menggantikan pekerjaan ribuan petani.
"Kalau pertanian hilang, apa yang akan kami lakukan? Jangankan soal pertanian, manusianya saja mungkin tidak bisa bertahan hidup kalau air juga tidak ada," katanya.
Sunaryo Sugiharto, salah satu pentolan warga Cipendawa, juga bertekad tak akan terbuai oleh janji-janji perusahaan. Baginya, kerusakan ekosistem tidak sebanding dengan janji-janji kompensasi.
Namun suara protes dan pendapat Sunaryo ke pemangku kebijakan juga tak pernah didengar. Alih-alih dipedulikan, dalam dokumen laporan perkembangan proyek yang disampaikan perusahaan ke pemerintah kabupaten, nama Sunaryo tercantum dan dilabeli spesifik sebagai salah satu hambatan dalam proyek tersebut.
"Apa artinya masjid atau tanah makam dibanding kerusakan alam yang tidak bisa diperbaiki? Kami tidak mau suap, kompensasi, atau calo. Kami ingin Gunung Gede Pangrango tetap utuh," ucap pria 60 tahun ini saat detikX jumpai di kediamannya saat malam Natal Desember tahun lalu.
Aryo, begitu ia akrab dipanggil, bersama keluarga dan belasan kucingnya tinggal di rumah yang tak jauh dari pintu gerbang Kampung Pasir Cina. Jika melihat peta perencanaan eksplorasi dari perusahaan, rumah Aryo bisa jadi salah satu area yang pertama kali terdampak oleh pembukaan jalan untuk jalur masuk alat berat ke Gunung Gede. Namun hal itu bukan menjadi alasan utamanya melakukan penolakan. Ia menyayangkan dampak kerusakan lingkungan yang akan terjadi jika proyek geotermal terus dipaksakan.
Di lain sisi, Asisten Dua Pemkab Cianjur Budi Rahayu Toyib menyampaikan, berdasarkan penuturan perusahaan, pihaknya meyakini proses penambangan panas bumi tidak akan berdampak buruk terhadap air warga.
Menurutnya, perusahaan dan pemerintah pusat berusaha meyakinkan dengan memberi contoh penambangan panas bumi yang sudah berlangsung di beberapa lokasi. Mereka mengklaim pertambangan itu tak memiliki dampak buruk terhadap lingkungan.
"Tidak ada efek yang buruk buat lingkungannya," ucap Budi.
Terkait adanya gejolak dan penolakan dari warga, Budi tak membantah. Namun, terkait itu, Pemkab Cianjur menyerahkan sepenuhnya kepada perusahaan untuk melakukan sosialisasi lanjutan dengan didampingi aparat desa.
Sementara itu, Sekretaris Desa Cipendawa, Dedi, mengatakan pihaknya selama ini hanya memperoleh informasi terkait manfaat yang dijanjikan dari proyek tersebut. Adapun dampak dan risiko ekologisnya, Dedi mengaku belum pernah mendengarnya, baik dari pemerintah di atasnya maupun perusahaan. Untuk itu, Dedi mengaku tak khawatir terhadap proyeksi dampak ekologis yang dapat terjadi.
"Perusahaan hanya sosialisasi manfaat seperti itu," ucap Dedi kepada detikX saat dijumpai di kantornya.
Dedi membantah pemerintah desa memperoleh keuntungan pribadi dari hasil memuluskan proyek perusahaan dan menekan warga untuk segera menerima penambangan panas bumi. Dedi mengklaim bersikap netral dalam konflik warga dengan perusahaan tersebut. Ia juga mengklaim tak keberatan jika ada warga yang menolak.
Walaupun demikian, ia mengaku kesal adanya demonstrasi warga yang sempat terjadi di kantornya. Bahkan aparat penegak hukum sempat menyarankan Dedi untuk melaporkan para warga yang melakukan demonstrasi di depan kantor kelurahan.
"Saya bisa membikin laporan (polisi untuk) mereka. Kalau saya komunikasi dengan Pak Kanit (polsek setempat), (polisi memberi tahu saya) sebenarnya Pak Sekdes bisa bikin laporan merasa tidak enak,” ujarnya.
Selain di Cipendawa, detikX juga bertemu dengan perangkat Desa Sukatani dan Sindangjaya. Mereka juga mengaku belum mendapatkan penjelasan secara utuh terkait dampak ekologis geotermal. Namun, berbeda dengan Cipendawa, para perangkat desa di dua desa lainnya mengaku tetap waswas terhadap dampak ekologis yang dapat terjadi, terutama menyangkut air. Di sisi lain, karena proyek ini merupakan bagian dari program pemerintah pusat, para perangkat desa Sukatani dan Sindangjaya mengklaim tak bisa berbuat banyak selain mendukung.
Terkait persoalan ini, detikX telah menjangkau pihak perusahaan maupun pemerintah pusat. Sejak Desember lalu, detikX telah mengirimkan surat permintaan wawancara kepada Direktur Jenderal Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi Kementerian ESDM Eniya Listiani Dewi. Sebelumnya, wawancara akan dilaksanakan pada 7 Januari di kantornya di daerah Cikini, Jakarta Pusat. Namun pada hari-H, yang bersangkutan secara mendadak dan sepihak membatalkan wawancara dengan alasan: diperintah oleh atasan untuk tidak menerima wawancara atau menjawab pertanyaan dari media.
Adapun pihak perusahaan, pada Desember lalu, detikX juga telah mengirimkan surat permintaan wawancara kepada Direktur Utama PT Daya Mas Geopatra Pangrango (DMGP) di Jakarta. Namun, menurut perwakilan perusahaan, permintaan wawancara tersebut ditolak. Selain itu, detikX juga menghubungi dan mengirimkan surat permintaan wawancara sekaligus konfirmasi kepada Kepala Teknik Panas Bumi (KTPB) PT Daya Mas Geopatra Pangrango atas nama Yunis. Sayangnya, yang bersangkutan menolak diwawancarai dengan alasan sedang sibuk mengejar target kerja perusahaan.
Risiko Hilangnya Sumber Kehidupan
Pada 3 Mei 2024, Kepala Balai Besar Taman Nasional Gunung Gede Pangrango menerbitkan surat: Pertimbangan Teknis Untuk Permohonan Perizinan Berusaha Pemanfaatan Jasa Lingkungan Panas Bumi (PB-PJLPB) Tahap Eksplorasi oleh PT DMGP di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Disebutkan ada sekitar 5,46 hektare wilayah taman nasional yang akan menjadi lokasi eksplorasi. Surat tersebut ditandatangani oleh Ketua TNGP saat itu, Sapto Aji Prabowo.
Terbitnya pertimbangan teknis itu menyiratkan Kementerian Lingkungan Hidup melalui TNGP sebetulnya mengakui proses eksplorasi panas bumi memiliki risiko dan dampak buruk secara ekologis. Menurut Kepala TNGP saat ini, Adi Nurhadi, dalam dokumen itu dijelaskan, daerah eksplorasi merupakan wilayah atau lintasan bagi beberapa satwa yang dilindungi. Salah satu satwa yang dimaksud adalah elang Jawa, yang terancam punah. Untuk itu, pihak taman nasional meminta perusahaan mempertimbangkan beberapa hal.
“Itu secara umum menyampaikan apa yang harus (perusahaan lakukan), warning-lah, warning kalau mereka beraktivitas pemanfaatan panas bumi yang di dalamnya nanti tentunya ada pembangunan, kemudian ada pemanfaatan air, di dalam aktivitasnya akan menimbulkan polusi suara, polusi udara, polusi air, itu kami menyampaikan di pertimbangan teknis kami, apa yang harus si pemohon siapkan,” kata Adi kepada detikX pada Desember lalu.
Ada enam dampak ekologis yang diproyeksikan dapat terjadi dan perusahaan diminta secara ketat melakukan mitigasi serta mengatasi dampak tersebut. Pertama, dampak polusi suara. TNGP secara resmi juga mewanti-wanti perusahaan untuk tidak melebihi batas ambang kebisingan saat mengoperasikan alat maupun mesin. Kedua, dampak kualitas udara. Perusahaan diharuskan menjaga kualitas udara di lokasi dan sekitarnya serta melakukan pemantauan kualitas udara secara berkala sehingga tidak melebihi baku mutu.
Ketiga, dampak entitas ekologis. Penambangan panas bumi dapat mengakibatkan hilangnya hutan. Untuk itu, perusahaan diminta meningkatkan kualitas entitas ekologi dengan cara melakukan restorasi kawasan di sekitar lokasi. Keempat, dampak timbulnya sampah dan limbah B3. Perusahaan diharuskan mengelola timbunan sampah dan limbah B3 dengan mengacu pada peraturan berlaku.
Kelima, dampak tata guna lahan. Perusahaan diminta melaksanakan restorasi kawasan di lokasi dan sekitarnya sebagai salah satu bentuk kewajiban pemegang izin. Keenam, dampak sumber daya air. Limbah air yang dihasilkan harus diolah sampai ambang batas aman dan tidak dialirkan ke sungai sekitar.
Namun apakah benar semua proyeksi dampak lingkungan mudah ditangani atau dicegah?
Penelitian oleh Peter Bayer dkk dalam jurnal Renewable and Sustainable Energy Reviews (2013) menyebut aktivitas ekstraksi fluida panas bumi dapat memengaruhi akuifer dangkal, menyebabkan kekeringan atau menurunkan kualitas air tanah di kawasan. Bahkan upaya injeksi air kembali ke reservoir atau untuk pendinginan juga dapat mengurangi pasokan air lokal. Selain itu, pembuangan fluida panas bumi yang mengandung zat kimia, seperti logam berat, boron, arsenik, dan silika, dapat mencemari air tanah atau badan air di sekitar lokasi.
Hal itu juga dibenarkan oleh peneliti sekaligus dosen di Teknik Lingkungan Universitas Indonesia Doktor Firdaus Ali, meskipun panas bumi dianggap lebih ramah lingkungan dibanding bahan bakar fosil, proses ekstraksi panas bumi tidak sepenuhnya bebas dampak ekologis.
Firdaus menjelaskan sistem pembagian air antara air tanah dangkal dan dalam menjadi lebih kompleks di kawasan hulu dibandingkan denga daerah hilir seperti Jakarta. Dengan kondisi itu, mustahil melakukan eksploitasi air tanah dalam di Gunung Gede tanpa memengaruhi neraca air tanah dangkal. Hal ini menguatkan kekhawatiran dan keluhan warga, terutama terkait ancaman penurunan volume mata air yang berdampak pada aktivitas pertanian dan kebutuhan sehari-hari.
“Ekstraksi panas bumi memengaruhi neraca air tanah, terutama di daerah hulu seperti Gunung Gede. Di daerah ini, batas antara air tanah dangkal dan dalam sangat tipis, sehingga eksploitasi dapat langsung memengaruhi ketersediaan air bagi masyarakat sekitar,” ucap mantan Staf Khusus Menteri PUPR Bidang Manajemen Sumber Daya Air tersebut.
Masyarakat Gunung Gede selama ini bergantung pada mata-mata air alami untuk kebutuhan domestik dan irigasi. Sementara itu, penambangan panas bumi juga memerlukan pasokan air tanah untuk menghasilkan uap yang menggerakkan turbin. Meskipun perusahaan berjanji untuk menyuntikkan kembali air ke dalam tanah, Firdaus menilai hal itu tidak cukup.
“Penginjeksian kembali tidak serta-merta memastikan neraca air tanah kembali normal. Air yang diambil dan diinjeksikan cenderung tidak mencukupi untuk menggantikan air yang hilang,” jelasnya kepada detikX.
Kondisi ini diperparah oleh topografi kawasan pegunungan yang memiliki kemiringan tinggi. Air hujan yang seharusnya meresap ke tanah dengan cepat mengalir ke daerah yang lebih rendah. Terlebih jika nantinya hutan sebagai penahan serta penyimpan air justru dibabat untuk membangun fasilitas penambangan.
Menurut Firdaus, perusahaan multinasional yang menjalankan proyek panas bumi di negara maju umumnya memiliki kewajiban melakukan mitigasi dampak sosial maupun ekologis. Mereka menyediakan jaringan air bersih bagi masyarakat dan memulihkan irigasi menggunakan air dari sumber lain. Namun, di Indonesia, praktik ini masih jauh dari ideal.
“Perusahaan cenderung mengurangi biaya operasional dengan mengabaikan kewajiban sosial, kecuali jika ada protes besar dari masyarakat,” katanya.
Firdaus juga mengkritik pendekatan pragmatis yang sering dilakukan di tingkat lokal. “Ketua atau lurah biasanya hanya diberi uang kerahiman untuk meredam protes. Padahal ini menyangkut kehidupan masyarakat yang bergantung pada sumber daya alam sekitar," sambung Firdaus.
Judul: Spanduk penolakan penambangan panas bumi yang dipasang oleh warga di sepanjang Jalan Pasir Cina, Cipendawa. Sepanjang jalan ini ada sekitar puluhan hingga ratusan poster maupun spanduk penolakan yang terpasang.
Foto : Ahmad Thovan Sugandi/detikX
Di sisi lain, keberadaan Gunung Gede tidak hanya penting bagi masyarakat di lereng gunung, tetapi juga bagi kawasan metropolitan, seperti Bogor, Depok, dan bahkan Jakarta. Firdaus menegaskan Gunung Gede merupakan salah satu daerah tangkapan air utama bagi Sungai Cisadane dan Ciliwung.
“Eksploitasi panas bumi di Gunung Gede sudah pasti memengaruhi neraca air, yang berdampak pada suplai air bagi wilayah-wilayah di hilir,” jelasnya.
Ketua Yayasan Masyarakat Gunung Indonesia Pepep Didin Wahyudin mengatakan Gunung Gede Pangrango adalah rumah bagi flora dan fauna yang unik, termasuk elang Jawa yang langka. Eksplorasi panas bumi di zona inti taman nasional ini dikhawatirkan akan menghancurkan habitat alami mereka. Terlebih proses eksplorasi pasti membutuhkan pembukaan lahan, pembangunan infrastruktur berat seperti jalan, dan pengeboran tanah. Dampaknya adalah degradasi hutan primer yang sulit dipulihkan, bahkan setelah reboisasi.
“Di Kamojang (situs penambangan panas bumi dan pembangkit listrik tenaga panas bumi pertama di Indonesia) saja, kita sama-sama tahu degradasi kawasan itu kan terlihat jelas sekali. Di beberapa tambang panas bumi atau galian bor panas bumi itu biodiversitasnya jadi menurun gitu,” ungkap Pepep kepada detikX.
“Di Kamojang itu airnya jadi hilang, itu pertama. Yang kedua, hutannya itu jadi nggak primer lagi. Jadi susah sekali kalau penanaman (pohon kembali) di wilayah-wilayah yang ada panas buminya,” tambahnya.
Proyek panas bumi ini tidak hanya membawa ancaman ekologi, tetapi juga isu tata kelola kawasan. Menurut Pepep, pemerintah sering kali mengubah status kawasan konservasi demi memuluskan proyek strategis nasional (PSN). Dalam kasus serupa di Kamojang, status cagar alam diubah menjadi taman wisata alam agar eksplorasi panas bumi dapat dilakukan. Kini hal serupa dikhawatirkan juga terjadi di Taman Nasional Gunung Gede Pangrango. Pemerintah dapat sewaktu-waktu mengubah zona inti menjadi zona pemanfaatan.
“Akal-akalan KLHK sama ESDM itu biasanya mereka akan ubah status kawasan, jadi seperti kasus yang di Kamojang. Kamojang itu kan statusnya cagar alam, cagar alam sama panas bumi juga nggak bisa. Tetapi, karena kepentingan panas bumi itu, statusnya diubah dari cagar alam jadi taman wisata alam.”
Di sejumlah daerah, riset-riset lapangan membuktikan adanya dampak buruk keberadaan penambangan panas bumi terhadap kualitas air dan udara. Salah satunya adalah penelitian yang dilakukan oleh Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) di Poco Leok, Nusa Tenggara Timur. Poco Leok adalah kawasan yang direncanakan pemerintah sebagai sumber energi panas bumi (geotermal) atau proyek pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP). Daerah Poco Leok juga dekat dengan tapak existing PLTP Ulumbu, yang hanya berjarak 3-5 kilometer.
Metode penelitian yang digunakan adalah dengan mengambil sampel dari sungai-sungai utama di sana: Wae Ngongo, Wae Leming, Wae Munting, Wae Betong, dan Wae Kokor–Ulumbu. Penelitian yang dilakukan pada Mei 2024 ini mengungkapkan tingkat keasaman air (pH) di seluruh lokasi sungai berada jauh di bawah standar baku mutu. Dengan nilai pH rata-rata 3,4-3,5, air di Poco Leok bersifat sangat asam, yang tidak hanya mengancam kesehatan masyarakat, tetapi juga mempercepat pelepasan logam berat, seperti besi dan mangan, ke dalam air. Di Wae Kokor, misalnya, kadar besi mencapai 3,649 mg/L—melebihi batas aman hampir sepuluh kali lipat.
Selain itu, di Desa Bakal, Kabupaten Banjarnegara, Jawa Tengah, kualitas air menjadi isu yang makin mengkhawatirkan seiring dengan beroperasinya PLTP di kawasan tersebut. Desa ini, yang berada di sekitar sumur pengeboran panas bumi, menjadi saksi bisu dari perubahan signifikan kualitas air yang digunakan oleh penduduk setempat untuk berbagai kebutuhan—mulai air minum hingga irigasi pertanian.
Sungai dan sumber air yang ada di sekitar desa, yang selama ini diandalkan warga, kini menunjukkan tanda-tanda pencemaran yang cukup serius. Penelitian yang dilakukan Jatam pada Februari 2024 mengungkapkan, air di Bakal sudah tidak memenuhi standar kualitas air yang ditetapkan oleh pemerintah. Berdasarkan hasil analisis terhadap 39 parameter kualitas air, tercatat lebih dari 15 parameter yang mengalami pelampauan dari batas yang ditentukan, baik dalam aspek fisika, kimia, maupun biologi.
Salah satu parameter yang menonjol adalah konsentrasi zat padat terlarut atau total dissolved solids (TDS) yang meskipun masih berada dalam batas aman, dapat berdampak rasa air yang menjadi kurang enak bagi konsumen. Lebih dari itu, nilai pH yang ditemukan cenderung asam di hampir semua titik pengamatan—dengan beberapa lokasi tercatat mencapai angka 3,18—jauh di bawah standar, yang seharusnya berada antara 6 dan 9.
Hal itu menandakan adanya potensi gangguan pada keseimbangan ekosistem perairan, dengan meningkatkan mobilitas logam berat seperti besi (Fe) dan mangan (Mn) berbahaya bagi kesehatan manusia. Konsentrasi logam ini tidak hanya mencemari air, tetapi juga menimbulkan risiko kesehatan jangka panjang. Boron, yang kerap berasal dari aktivitas panas bumi, juga terdeteksi melebihi ambang batas di dua lokasi, Sumber Pawuhan dan Sungai Ngandam
Reporter: Ahmad Thovan Sugandi
Penulis: Ahmad Thovan Sugandi
Editor: Dieqy Hasbi Widhana
Desainer: Fuad Hasim