Jerman Bakal Lebih Banyak Tolak Pencari Suaka

3 hours ago 4

Jakarta -

Langkah ini menjadi bagian penting dari rencana kanselir baru Jerman, Friedrich Merz untuk merebut kembali kendali dari partai antiimigrasi Alternative fr Deutschland (AfD), yang menempati posisi kedua raihan suara dalam pemilu bulan Februari lalu, dan dalam jajak pendapat teranyar terus menunjukkan peningkatan jumlah dukungan secara signifikan.

Merz mengatakan kepada Welt TV, ia telah memberi tahu Presiden Prancis Emmanuel Macron dan Perdana Menteri Polandia Donald Tusk terlebih dahulu, dan lebih lanjut mengatakan, langkah-langkah "sementara" ini "diperlukan selama tingkat migrasi ilegal di Uni Eropa masih setinggi ini."

Jumlah polisi perbatasan diperbanyak

Pemerintah baru Jerman, yang mulai menjabat pada hari Selasa (07/05), telah mengambil langkah untuk menambah kekuatan petugas kepolisian di perbatasan. "Kami memerintahkan petugas untuk menolak migran tanpa dokumen, termasuk pencari suaka," demikian ditegaskan Menteri Dalam Negeri Alexander Dobrindt.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Namun pengecualian akan diberikan kepada "kelompok rentan" termasuk perempuan hamil dan anak-anak, tambahnya.

Untuk melaksanakan langkah ini, Dobrindt membatalkan keputusan dari tahun 2015 — pada puncak krisis migrasi Eropa — saat Jerman menerima lebih dari satu juta imigran, terutama dari Suriah dan Afganistan.

Harian Bild melaporkan, Dobrindt telah memerintahkan pengiriman tambahan 2.000 hingga 3.000 petugas polisi federal ke perbatasan Jerman, memperkuat 11.000 petugas yang sudah ditempatkan di sana.

Media Der Spiegel melaporkan, polisi harus bekerja dalam shift hingga 12 jam per hari untuk menegakkan aturan baru ini.

Kepala Kepolisian Jerman Andreas Rosskopf, kepada surat kabar Rheinische Post mengatakan, "penguatan... telah dimulai" sesuai dengan instruksi pemerintah baru.

Rasa kemanusiaan harus ditegakkan

Dobrindt mengatakan lebih lanjut, tujuan kebijakan ini adalah untuk menjamin "rasa kemanusiaan dan ketertiban" dalam migrasi, dan bahwa ketertiban harus "diberi bobot dan kekuatan lebih besar daripada yang terlihat di masa lalu."

Langkah pemerintah baru ini membuat beberapa negara tetangga kecewa, dengan Swiss menyatakan bahwa mereka "menyesalkan" bahwa langkah-langkah ini diambil "tanpa konsultasi".

Berbicara bersama Merz dalam konferensi pers di Warsawa, Perdana Menteri Polandia Donald Tusk mendesak Jerman untuk "memusatkan perhatian pada perbatasan eksternal Uni Eropa" dan menjaga zona Schengen.

Merz menekankan, Jerman akan menerapkan politik migrasi yang lebih ketat, namun pengendalian ini akan dilakukan "dengan cara yang tidak akan menimbulkan masalah bagi negara tetangga", dan menambahkan, Jerman ingin "menyelesaikan masalah ini bersama" negara-negara Uni Eropa lainnya.

Di dalam negeri, Merz berargumen bahwa tindakan tegas diperlukan untuk meredakan kekhawatiran pemilih dan menghentikan kebangkitan AfD.

AfD mencatat rekor dengan meraih lebih dari 20 persen suara dalam pemilu lalu, dan menempati posisi kedua setelah aliansi konservatif Partai Kristen Demokrat (CDU), Partai Kristen Sosialis (CSU), yang dipimpin Merz, dan sejak itu terus naik dalam jajak pendapat, bahkan kadang menempati posisi pertama.

Perjanjian aliansi yang picu kontroversi

Perjanjian koalisi antara CDU/CSU dan Partai Sosial Demokrat (SPD) menyatakan, semua orang yang tiba di perbatasan Jerman tanpa dokumen akan ditolak masuk, termasuk mereka yang mengajukan suaka.

Poin terakhir ini memicu kontroversi, karena sebagian anggota SPD khawatir, kebijakan tersebut mungkin tidak sesuai dengan hukum Uni Eropa.

Perjanjian itu juga menyebutkan, pemeriksaan perbatasan yang ditingkatkan akan tetap diberlakukan hingga "perlindungan efektif terhadap perbatasan eksternal UE tercapai."

Di tengah serangkaian serangan kekerasan menjelang pemilu Februari, yang sebagian besar pelakunya adalah imigran pencari suaka, Merz menjadikan penindakan terhadap migrasi ilegal sebagai tema utama kampanyenya.

Pada satu kesempatan, ia bahkan mengandalkan dukungan AfD di parlemen untuk meloloskan mosi yang menuntut pengetatan imigrasi — sebuah langkah yang secara luas dianggap melanggar "tembok api" (prinsip nonkerja sama) terhadap partai tersebut.

Minggu lalu, badan intelijen dalam negeri Jerman, BfV, menyatakan AfD sebagai organisasi ekstrem kanan.

Penetapan itu didasarkan pada laporan internal BfV setebal 1100 halaman, yang diserahkan kepada kementerian dalam negeri namun tidak dipublikasikan.

Media der Spiegel melaporkan, laporan tersebut mengutip pernyataan dari ratusan anggota AfD di berbagai tingkatan, yang menunjukkan bahwa partai ini melakukan "agitasi terus-menerus" terhadap migran, pengungsi, dan muslim.

Laporan itu juga menyoroti penggunaan slogan "remigrasi" oleh tokoh-tokoh AfD — sebuah istilah yang merujuk pada deportasi massal terhadap warga asing.

Langkah BfV itu memicu seruan baru untuk melarang partai tersebut, serta memicu reaksi keras dari AfD, yang telah mengajukan gugatan hukum terhadap penetapan itu pada hari Senin (05/05).

Editor: Agus Setiawan

(ita/ita)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial