Arti Kemenangan Partai Buruh di Australia Bagi Warga Indonesia

5 hours ago 3

Sudah hampir sepekan hasil pemilu Australia diumumkan, dengan hasil yang masih sama: Partai Buruh menang telak dan Anthony Albanese mempertahankan kursi perdana menteri.

Penghitungan suara masih dilakukan di sejumlah daerah pemilihan (dapil) atau, istilahnya di Australia, 'electorate'.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Seiring dengan lebih banyak hasil yang masuk, semakin menarik juga untuk diamati karena ada sejumlah hasil yang mengejutkan.

Peter Dutton, pemimpin oposisi Australia, kehilangan kursinya di parlemen, menyebabkan krisis kepemimpinan dalam Partai Liberal.

Kejutan lainnya baru terjadi Rabu kemarin (07/05), ketika pemimpin Partai Hijau atau 'Greens', yakni Adam Bandt, kehilangan kursinya karena kalah di dapil Melbourne.

Padahal Partai Hijau, yang mengklaim lebih mengedepankan isu-isu lingkungan dan keadilan sosial, adalah salah satu partai yang populer bagi warga Australia yang tak ingin pemerintahnya dikuasai dua partai besar, yakni Partai Buruh dan Partai Liberal.

Apa artinya bagi warga Indonesia?

Sangat menarik untuk melihat dinamika politik dan demokrasi Australia, sebagai salah satu negara tetangga terdekat Indonesia yang bisa jadi sering tidak kita perhatikan.

Padahal hasil pemilu dan iklim politik di Australia secara tidak langsung berdampak bagi warga Indonesia yang semakin berminat untuk belajar, juga bekerja di Australia lewat program 'Work and Holiday Visa' (WHV).

Partai Buruh, yang dipastikan membentuk kelompok mayoritas di parlemen Australia, akan lebih mudah meloloskan kebijakan dan peraturan yang dibuatnya tanpa terlalu banyak tekanan dari pihak oposisi.

Itu artinya, kita harus melihat lebih jauh apa kebijakan-kebijakan yang ditawarkan oleh Partai Buruh.

Anthony Albanese perlu mewujudkan janji-janjinya, seperti meningkatkan pelayanan kesehatan dengan menyediakan lebih banyak kesempatan bagi warga Australia untuk mendapatkan akses 'bulk billing', di mana biaya kunjungan ke dokter umum dibayar belakangan oleh negara dan tidak ditanggung sepenuhnya oleh pasien.

Ia juga berjanji mempermudah mereka yang akan membeli rumah untuk pertama kalinya, dengan cukup membayar uang muka 5 persen dari harga rumah.

Selain itu, masih ada sederet janji lainnya-janjinya yang lebih fokus untuk meringankan biaya hidup yang semakin mahal di Australia.

Tapi dalam anggaran yang diajukan bulan Maret lalu, terungkap juga kalau pemerintahan di bawah Partai Buruh akan memangkas jumlah pendatang, memangkas jumlah siswa internasional dengan menaikkan biaya 'student visa', hingga peraturan yang lebih ketat bagi warga asing yang ingin membeli properti.

Tak ada suara yang terbuang

Meski Indonesia dan Australia sama-sama negara demokrasi, tapi baik sistem pemerintahannya dan praktik pemilunya berbeda.

Terlibat secara aktif dalam demokrasi adalah hal yang diwajibkan di Australia, sehingga mereka yang tidak memilih bisa terkena denda.

Kebijakan partai dan para pemimpinnya lebih menjadi fokus dalam kampanye mereka, dan kampanye, sementara bagaimana mereka bisa menjawab masalah warga menjadi nilai jualnya.

Di jalan raya, tak ada kesemrawutan spanduk dan foto politisi lengkap dengan gelar akademik dan nama orangtua atau anak-anaknya.

Meski spanduk partai dan kandidat independen masih diperbolehkan untuk dipajang di hari pemilihan, setidaknya tidak ada laporan soal "serangan fajar" dalam bentuk uang atau bantuan sosial.

"Democracy sausage" yaitu, roti isi sosis, menjadi salah satu ikon demokrasi di Australia, meski tidak semua gratis mendapatkannya

Biasanya roti sosis yang disiapkan oleh sukarelawan ini dijual untuk kepentingan amal, yang hasil penjualannya didonasikan untuk sekolah atau gedung tempat pemungutan suara berlangsung.

Tapi yang paling menarik adalah kertas suara, karena pemilih bukan mencoblos satu pilihan saja, melainkan menuliskan nomor sesuai urutan preferensinya atau istilahnya 'prefential voting'.

Cara penghitungan 'preferential voting' sedikit kompleks dan butuh waktu untuk memahaminya.

Tapi dengan cara ini, Australia memastikan suara warganya tidak terbuang, selain karena kandidat harus punya lebih dari 50 persen pemilih jika ingin memenangi pertarungan politik.

Cara ini juga memberikan kesempatan kepada partai-partai kecil dan kandidat independen untuk unggul dalam perolehan suara, jika mereka mendapat urutan pertama atau kedua dalam preferensi pemilih.

Untuk gambaran mudahnya kita menggunakan skenario Prabowo Subianto, Anies Baswedan, dan Ganjar Pranowo, yang seandainya, bersaing memperebutkan daerah pemilihan Melbourne untuk duduk di parlemen Australia.

Maka kita wajib menuliskan nomer 1, 2, dan 3 di samping nama mereka, sesuai urutan preferensi, bukan hanya memilih salah satu di antaranya.

Dengan mengikuti hasil Pilpres 2025, yakni Ganjar Pranowo yang mendapatkan suara paling sedikit, maka suara untuk Ganjar akan didistribusikan ke Prabowo dan Anies, tergantung siapa yang menjadi preferensi selanjutnya dari para pemilih.

Demikian seterusnya, hingga kemenangan Prabowo bisa jadi karena "swing" atau pengalihan suara dari Anies dan Ganjar.

'Trumpisme' mewarnai pemilu Australia

Kembali ke hasil pemilu Australia, setidaknya ada dua teori mengapa Partai Liberal bisa kalah telak dalam pemilu Australia tahun ini.

Pertama, sejumlah warga di dapil Dickson, yang jadi daerah pemilihan Peter Dutton, menjelaskan alasan mereka tidak lagi mendukung sosok yang sudah mewakili mereka selama 24 tahun.

Kampanye Partai Liberal yang buruk adalah salah satunya, yang juga sudah diakui sendiri oleh Peter Dutton sesaat sebelum pemilu digelar.

Menurut warga di dapil Dickson, ide-ide dan kebijakan yang ditawarkan pemimpin Partai Liberal tersebut sebenarnya bagus, tapi mereka ingin "sesuatu yang berbeda" setelah aspirasi mereka diwakili orang yang sama selama lebih dari dua dekade.

Tapi yang paling menonjol adalah teori kedua, yakni Peter Dutton identik dengan Donald Trump dalam sejumlah kebijakannya.

Di kalangan pengkritiknya, Dutton mendapat sebutan "Temu Trump", yang merujuk versi murah dari Donald Trump setelah slogan andalannya "Let's get Australia back on track" dianggap mirip dengan "Make America Great Again" milik Trump.

Dalam kampanye-nya, Dutton dicap anti-migran setelah berencana memangkas jumlah migrasi hingga demi menyelamatkan warga Australia dari krisis lapangan kerja dan kepemilikan rumah.

Ia juga akan memangkas layanan publik, termasuk jumlah pegawai sipil, yang dianggapnya sebagai pemborosan.

Kebijakan ini dianggap mirip dengan efisiensi yang dilakukan Trump dengan membentuk Department of Government Efficiency, yang tak jelas dipimpin siapa, meski Elon Musk dipastikan sebagai 'person in charge'.

Jika Anda mengenal Voice of America (VOA), yang siaran dan kontennya juga tersedia dalam bahasa Indonesia, dan kini menyadari sudah lama tak mendengar atau melihat VOA Indonesia di jejaring sosial, ini tak lepas karena pengaruh DOGE, seperti dikatakan Ami Bera, representatif US Congressional.

Gaya Trump lainnya yang juga dituduh ditiru oleh Dutton adalah saat ia menyebut anak-anak sekolah di Australia telah didoktrin dengan "woke agenda" dalam kurikulum mereka, juga ketika Dutton lebih memilih tenaga nuklir untuk sumber energi terbarukan.

Hasil pemilu di Australia kemarin menunjukkan, sama seperti Kanada, Australia tak ingin memiliki sosok yang menyerupai Donald Trump sebagai pemimpinnya.

Tetapi sejumlah kritik juga menyertai kemenangan Partai Buruh.

Salah satunya yang menganggap kemenangan Partai Buruh dan Anthony Albanese bukan sebuah kemenangan murni, namun "terbantu" warga yang menolak Dutton dan Trump.

Namun, Partai Buruh yakin fokusnya untuk memerangi biaya hidup yang mahal dan mengembalikan layanan kesehatan yang mendasar adalah alasan warga Australia kembali mempercayakan partainya untuk memimpin.

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial