Begini Ramalan Ekonomi Indonesia di 2025, Sesuai Harapan Prabowo?

3 weeks ago 34

Jakarta -

HSBC Global Private Banking (HSBC GPB) memperkirakan rata-rata pertumbuhan ekonomi tahun ini di enam besar negara di ASEAN, termasuk Indonesia, bisa mencapai 4,8%. Angka ini lebih tinggi dari rata-rata pertumbuhan ekonomi di kawasan ASEAN yaitu 4,4% dan rata-rata pertumbuhan global sebesar 2,7%.

Chief Investment Officer (CIO) Southeast Asia and ASEAN for Private Banking and Wealth Management HSBC, James Cheo, mengatakan pertumbuhan ini didorong oleh konsumsi dan investasi dalam negeri yang kuat. Sekitar 60% dari total ekonomi ASEAN berasal dari konsumsi masyarakat.

Secara khusus, James memperkirakan ekonomi Indonesia pada 2025 ini akan dibantu oleh investasi pemerintah dalam pembangunan infrastruktur, diversifikasi ekspor, dan konsumsi domestik yang kuat.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Ekonomi Indonesia kemungkinan akan mengalami investasi yang signifikan di bidang infrastruktur dan permintaan domestik yang sehat," kata James dalam acara 'Media Briefing HSBC: Indonesia & Asia (Investment & Economic) Outlook 2025, Kamis (8/1/2025).

Lebih lanjut menurutnya kondisi manufaktur di Indonesia yang tercermin dari Purchasing Manager Index (PMI) juga menunjukkan tanda-tanda awal pemulihan. Sehingga dapat mendorong pertumbuhan ekonomi ke depan.

"Yang menggembirakan, inflasi diperkirakan akan tetap di bawah level tengah target Bank Indonesia sebesar 2,5%, dan kebijakan fiskal yang cermat akan memberikan fondasi yang stabil untuk pertumbuhan," jelasnya.

Kemudian ia juga memproyeksikan defisit fiskal pemerintah tetap di bawah 3% dari PDB. Sehingga pemerintah dimungkinkan untuk mempertahankan anggaran belanja infrastruktur dan kesejahteraan sosial.

Sementara untuk nilai tukar rupiah terhadap dolar akan terus mengalami tekanan sepanjang tahun, dan akan tetap berkisar di Rp 16.000an. Meski begitu menurutnya nilai rupiah tidak akan mengalami perubahan yang signifikan hingga akhir tahun.

"Meskipun nilai tukar rupiah terhadap US dolar akan menghadapi tekanan, karena US dolar yang semakin kuat. Kami tetap optimis dengan rupiah karena daya tarik imbal hasilnya. Kami memperkirakan nilai tukar USD-IDR akan mencapai Rp 16.300 pada akhir tahun," papar James.

HSBC turut memprediksi Bank Indonesia akan melakukan tiga kali penurunan suku bunga acuan di tahun 2025. Angkanya adalah 35 basis poin di kuartal pertama dan 50 basis poin di kuartal kedua.

"Dengan demikian, suku bunga acuan akan turun menjadi 5,25% pada bulan Juni dari 6% saat ini. Penurunan suku bunga BI di awal tahun ini memperkuat rekomendasi kami untuk berinvestasi lebih banyak pada obligasi rupiah dan obligasi berkualitas tinggi yang diterbitkan oleh BUMN," jelasnya.

Sementara itu Chief Economist HSBC untuk India and Indonesia, Pranjul Bhandari, mengatakan sejauh ini angka pertumbuhan ekonomi Indonesia masih lebih tinggi dari rata-rata pertumbuhan ekonomi kawasan ASEAN. Hal ini terlihat dari pertumbuhan ekonomi dalam negeri pada kuartal III 2024 yang masih berada di kisaran 4,9%.

"Angka PDB terakhir yang kita peroleh adalah 4,9% pada kuartal September. Jadi ada sedikit peningkatan, yang menurut saya cukup berarti di saat pertumbuhan di banyak negara lain lebih rendah," ucapnya.

Namun dari tingkat pertumbuhan ekonomi Indonesia saat ini, menurutnya target Presiden Prabowo Subianto untuk mencapai 8% akan sulit dicapai dalam waktu dekat.

"Jadi, terkait angka pertumbuhan 8%, saya sudah membahasnya panjang lebar. Saya berpikir bahwa angka tersebut adalah target yang menantang. Dalam beberapa hal, saya rasa idenya adalah untuk bergerak ke arah tersebut, daripada secara spesifik mengejar angka itu," kata Pranjul.

Untuk mencapai target tersebut, menurutnya pemerintah saat ini harus lebih menggenjot program-program yang dapat memberikan komoditas Indonesia nilai tambah seperti hilirisasi. Selain itu industri dalam negeri juga perlu digenjot lagi, terutama untuk produk-produk ekspor unggulan RI.

"Saya rasa kebijakan fiskal dan stimulus moneter saja tidak cukup untuk mendorong pertumbuhan ke tingkat tersebut. Reformasi struktural akan sangat diperlukan, terutama untuk meningkatkan rantai nilai manufaktur dan memperluas hilirisasi," terang Pranjul.

"Indonesia telah berhasil beralih dari hanya menjadi eksportir bahan mentah menjadi menambah nilai dengan memproduksi produk logam dan menjualnya. Namun, Indonesia sekarang perlu naik ke tingkat rantai nilai yang lebih tinggi, seperti baterai kendaraan listrik (EV), kendaraan listrik (EV), dan juga berbagai barang konsumen, seperti alas kaki, furnitur, mainan, dan produk lainnya yang sebenarnya sudah dijual ke AS dalam skala besar. Tetapi ini perlu ditingkatkan lebih lanjut," jelasnya lagi.

(fdl/fdl)

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial