Jakarta -
Pagi-pagi Mila dan suami sudah antre di butik Logam Mulia (LM) Antam Pulogadung. Sudah dua hari berturut-turut mereka mencoba beli emas di beberapa lokasi butik, tapi stok selalu habis. Di hari ketiga, akhirnya mereka mendapat giliran setelah antre di nomor 200. Padahal, mereka sudah datang sejak pukul 8 pagi, sebelum toko buka.
Mila bilang dirinya sangat getol ingin beli emas lantaran harga logam mulia itu diperkirakan akan segera naik, bahkan bisa menyentuh Rp 2 jutaan per gram. Untuk itu dirinya berusaha untuk membeli emas sebelum harga semakin mahal.
"Dengar-dengar sih memang akan naik lagi. Bisa sampai Rp 2 jutaan ya. Ini saja harganya sudah lumayan sampai Rp 1,8 jutaan. Padahal kemarin pas pertama mau beli masih Rp 1,7 jutaan lah," katanya beberapa waktu lalu.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hari ini 17 April 2025, harga emas batangan di butik Antam sudah tembus Rp 1.975.000 per gram. Harga di Pegadaian bahkan sudah jebol Rp 2 juta per gram. Kenaikan harga yang signifikan ini tak cuma menggembirakan bagi yang sudah lama investasi emas, tapi juga menciptakan fenomena baru di kalangan masyarakat: euforia investasi yang berbasis pada rasa takut ketinggalan tren (FOMO). Kisah Mila dan suami hanya contoh kecil apa yang terjadi di masyarakat.
Pernahkah Anda merasa terlewatkan ketika melihat orang-orang membeli emas, dan hati kecil bertanya, "Apakah saya juga harus beli sekarang?" maka hati-hati jadi bagian yang disebut FOMO. Sebenarnya, tak ada yang salah dengan menjadi FOMO, asalkan punya perencanaan finansial yang matang dan rasional.
Sayangnya, fenomena orang berbondong-bondong beli emas saat harga sedang merangkak naik malah mencerminkan FOMO tanpa pertimbangan matang, cuma takut ketinggalan tren. Padahal, investasi seharusnya didasarkan pada perencanaan dan pemahaman, bukan sekadar mengikuti arus.
Tingginya harga emas Antam membawa banyak orang yang sebelumnya tidak tertarik dengan investasi ini untuk mulai bertindak. Namun, apakah membeli emas pada titik harga tertinggi ini adalah keputusan yang bijak, atau kah justru merupakan bentuk kepanikan yang mengarah pada keputusan finansial yang tergesa-gesa?
Seiring dengan meningkatnya harga emas, kita melihat masyarakat yang sebelumnya tidak peduli dengan instrumen investasi mulai berbondong-bondong membeli emas, khususnya logam batangan. Keinginan untuk punya aset yang dianggap aman di tengah ketidakpastian ekonomi jadi makin kuat. Namun perlu dipahami, keinginan membeli emas yang bukan karena pemahaman dan tujuan investasi yang jelas bisa saja membuat perencanaan keuangan berantakan, apalagi jika itu didorong faktor sosial dan ketakutan ketinggalan kesempatan.
Fenomena ini bisa kita lihat dari data penjualan emas Antam yang mencatatkan rekor tertinggi sepanjang sejarah. Dalam laporannya, Antam mencatat penjualan emas tertinggi dalam sejarah perusahaan dengan volume mencapai 43.776 kg (1.407.431 troy oz) di 2024. Angka itu meningkat 68% dibandingkan 2023.
Pada dasarnya, fenomena FOMO menunjukkan bagaimana masyarakat kita masih mengandalkan emosi dan keinginan untuk mengikuti arus, ketimbang melakukan analisis rasional terhadap kebutuhan dan kemampuan finansial pribadi. Apa yang terjadi adalah fenomena yang lebih besar dari sekadar kenaikan harga emas itu sendiri. Mungkin ini adalah cerminan dari mentalitas masyarakat yang cenderung reaktif terhadap tren, dan bukan proaktif dalam perencanaan keuangan.
Saat harga emas naik, banyak orang merasa mereka harus ikut membeli untuk "aman", meskipun mereka tidak tahu pasti kapan harga akan turun atau berapa lama kenaikan ini akan bertahan. Sebagai contoh, menjelang Lebaran 2024, penjualan perhiasan emas meningkat drastis. Di Bandung, Toko Emas ABC bahkan mencatatkan peningkatan penjualan hingga dua kali lipat dibandingkan tahun sebelumnya.
Pembeli berbondong-bondong membeli perhiasan emas, bukan semata-mata karena kebutuhan, tetapi karena adanya dorongan sosial untuk memiliki "barang berharga" di tengah momentum perayaan Lebaran. Padahal, harga emas sudah berada pada level yang cukup tinggi. Namun, masyarakat lebih dipengaruhi oleh tradisi dan keinginan untuk "berjaga-jaga" jika harga emas semakin naik.
Logam mulia memang dikenal sebagai investasi jangka panjang yang relatif stabil, tetapi pada titik tertentu, harga yang tinggi dapat membawa potensi kerugian jika kita tidak memahami waktu yang tepat untuk membeli atau menjualnya. Investasi emas tanpa pemahaman yang mendalam justru bisa menjadi jebakan finansial.
Sementara itu, tingkat literasi keuangan di Indonesia masih tergolong rendah. Berdasarkan hasil Survei Nasional Literasi dan Inklusi Keuangan (SNLIK) dari OJK, per 2024 indeks literasi keuangan penduduk Indonesia sebesar 65,43%, sementara indeks inklusi keuangan 75,02%. SNLIK tahun 2024 juga mengukur tingkat literasi dan inklusi keuangan syariah. Hasil yang diperoleh menunjukkan indeks literasi keuangan syariah penduduk Indonesia sebesar 39,11%. Adapun, indeks inklusi keuangan syariah sebesar 12,88%.
Mungkin diperlukan gambaran jika membeli emas dalam waktu yang tidak tepat dan perencanaan yang tidak jelas. Sebagai contoh, katakanlah Budi punya uang Rp 10 juta untuk beli emas Antam saat harganya sedang tinggi-tingginya: Rp 1.900.000 per gram.
Lalu 1-2 bulan kemudian, Budi ada keperluan sangat mendadak dan butuh dana Rp 10 juta. Tanpa pikir panjang, Budi langsung menjual emas yang sebelumnya ia beli. Sayangnya, nilai emas yang dijual Budi ternyata di bawah Rp 10 juta, katakanlah 9 juta sekian karena harga buyback masih lebih rendah dari harga jual. Artinya, investasi Budi bukannya naik malah turun.
Kesalahan Budi bukan karena membeli emas, tetapi karena membelinya tanpa rencana, tanpa pertimbangan waktu, dan tanpa tujuan keuangan yang jelas. Emas memang instrumen yang relatif aman dalam jangka panjang, tetapi bukan berarti bebas risiko jika dibeli secara impulsif.
Karena itu, pada kenyataannya, banyak yang membeli emas hanya karena "semua orang" melakukannya, tanpa memahami mengapa mereka harus berinvestasi di sana dan bagaimana emas dapat berkontribusi pada tujuan keuangan mereka.
Jika melihat lebih jauh, fenomena ini juga memperlihatkan ketidakpastian ekonomi yang melanda masyarakat. Apalagi saat informasi tentang perang tarif yang dipicu Amerika Serikat (AS) dan menimbulkan dampak psikologis yang negatif ke perekonomian dalam negeri. Mungkin banyak orang-orang yang merasa terancam kondisi finansialnya jika tak segera diamankan. Di sinilah emas, dengan citra sebagai pelindung nilai yang stabil, jadi solusi sementara yang tampaknya paling aman dan mudah dijangkau.
Namun, meskipun emas adalah investasi yang stabil dalam jangka panjang, membeli dengan harga yang tinggi pada titik puncak bisa berisiko. Seperti halnya dengan instrumen investasi lainnya, harga emas pun memiliki siklusnya. Oleh karena itu, sangat penting untuk memahami kapan waktu yang tepat untuk membeli dan menjual.
Hal ini seperti yang diungkapkan Pengamat pasar modal sekaligus Direktur PT Laba Forexindo Berjangka, Ibrahim Assuaibi. Ia berpendapat saat ini harga emas sudah terlalu mahal untuk dibeli. Terutama jika pembelian dimaksudkan untuk mengejar keuntungan dari perkiraan atau spekulasi kenaikan harga emas ke depan.
"Kalau menurut saya sih ini sudah terlalu tinggi. Sudah terlalu mahal sebenarnya untuk melakukan pembelian," kata Ibrahim.
Meski begitu, ia tidak memungkiri jika saat ini masih banyak masyarakat khususnya para investor yang akan 'memaksa' untuk beli emas meski harga sudah sangat tinggi. Sebab menurutnya di tengah ketidakpastian ekonomi global saat ini, pilihan masyarakat untuk mengamankan aset mereka jadi sangat terbatas, yakni emas atau uang tunai khususnya dolar.
"Kebanyakan kenapa mereka lakukan, ada ketakutan bahwa kalau seandainya dunia terjadi resesi kemudian surat berharga tidak berlaku, ya mereka cuma hanya dua yang bisa jadi pegangan. Pertama dalam logam dunia yang kedua dolar," terangnya.
Fenomena FOMO dalam investasi emas ini juga mengingatkan kita akan pentingnya pengelolaan emosi dalam berinvestasi. Banyak orang yang merasa "harus memiliki" emas karena takut kehilangan kesempatan, padahal investasi yang baik adalah investasi yang didasarkan pada perencanaan yang matang dan analisis yang objektif. Emas memang bisa menjadi pilihan yang aman dalam masa ketidakpastian, tetapi hanya jika dibeli dengan tujuan yang jelas dan pemahaman yang baik tentang pasar.
Ini adalah saat yang tepat bagi masyarakat untuk belajar lebih banyak tentang literasi keuangan dan memahami berbagai instrumen investasi yang ada. Tidak hanya emas, tetapi juga saham, obligasi, atau instrumen lainnya yang bisa memberikan keuntungan jangka panjang. Jangan biarkan ketakutan dan kecemasan jangka pendek mengendalikan keputusan finansial.
(fdl/fdl)