Jakarta -
Awal Maret, Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi mengeluarkan (lagi) aturan No 63/M/KEP/2025 tentang pembinaan dan pengembangan profesi dan karier dosen. Ditilik dari aturan-aturan sejenis sebelumnya, secara persyaratan tidak ada perubahan signifikan. Fokus aturan baru ini pada linimasa proses promosi ke lektor kepala dan profesor.
Bersamaan waktunya, saya menerima email dari kolega Jepang yang mengabarkan akan pindah lagi ke universitas lain sebagai profesor. Di dua universitas sebelumnya, posisinya masih associate professor atau lektor kepala. Dia melamar ke tempat baru untuk mengisi kekosongan posisi profesor, dan lolos. Sejatinya, dia sudah pantas sebagai profesor sejak lama.
Beberapa waktu sebelumnya, kolega diaspora Singapura datang ke Surabaya sebagai dosen tamu dan pembicara seminar. Poster dan layar seminar menyematkan kata profesor di namanya. Panitianya mungkin tidak tahu bahwa menurut laman resmi kampus sang diaspora, posisinya masih associate professor. Di banyak negara, seorang associate professor jamak dipanggil profesor, meskipun belum profesor penuh. Tapi di Indonesia, seorang lektor kepala hampir tidak pernah dipanggil profesor.
Promosi profesor di negara lainSecara kompetensi dan reputasi internasional, kolega Singapura ini juga sangat layak sebagai profesor. Kolega Jepang sampai harus pindah institusi beberapa kali untuk mendapatkannya. Saat berdiskusi dengan kolega Malaysia juga terungkap bahwa promosi profesor di Malaysia sama sulitnya. Di banyak negara termasuk Malaysia, keprofesoran diatur dan ditetapkan oleh tiap kampus, sehingga profesor kampus A tidak otomatis profesor di kampus B.
Kampus negeri senior yang ingin menduduki posisi terhormat di ranking dunia menerapkan persyaratan promosi yang ketat dibandingkan kampus swasta junior. Keketatan ini membuat profesornya setara dengan profesor negara lain, sehingga mudah berkolaborasi dalam riset dan publikasi. Faktanya, kampus-kampus Malaysia memang menduduki posisi lebih tinggi dari kampus-kampus Indonesia, baik versi Times Higher Education (THE) maupun Quacquarelli Symonds (QS) World University Rankings.
Azman dkk. (2016) mengkaji, meski setiap kampus Malaysia memiliki aturan berbeda, umumnya selain skor tridarma perguruan tinggi yang mirip Indonesia, ada penilaian tambahan seperti keaktifan sebagai pembicara seminar, perolehan dana riset, dan indeks-h tertentu. Ada kampus yang menetapkan indeks-h minimal 7, ada yang 15. Bahkan di kampus dengan minimal indeks-h 15, angkanya dinaikkan ketika dipimpin oleh rektor yang memiliki indeks-h 100.
Usia pensiun profesor di tiga negara ini juga di bawah profesor Indonesia yang 70 tahun. Di Malaysia 60 tahun, di Singapura 63, di Jepang 65. Masing-masing kampus dimungkinkan sedikit memodifikasi batas usia pensiun dari ketetapan negara. Model pensiun lebih dini ini bisa dianggap merugikan bagi profesor senior yang masih sanggup bekerja, namun memiliki kelebihan berupa proses regenerasi yang lebih baik. Pensiun lebih dini memberikan kesempatan lebih cepat pada profesor muda untuk menggantikan posisi melalui promosi, apalagi jika si senior tidak produktif.
Promosi profesor di Indonesia
Di Indonesia, keprofesoran diatur terpusat. Positifnya, persyaratannya seragam, membuat keprofesoran dosen melekat di kampus manapun di Indonesia. Negatifnya, prosesnya panjang dan berbelit, terlebih bagi dosen perguruan tinggi swasta (PTS), karena melewati Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi (LLDIKTI). Ironisnya, jamak anggapan masyarakat, promosi profesor di PTS lebih mudah, jadi seolah kualitasnya lebih rendah.
Lambat-laun pemerintah mengurai keruwetan ini, sehingga terjadi 'hujan profesor' --meningkat 31% dalam 1-2 tahun. Dari sekitar 8.000-an pada 2022/2023, kini telah 10.584 (laman Science and Technology Index/SINTA). Meski tambahan 2500 profesor ini menaikkan rasio profesor dari keseluruhan dosen dari 2,6% menjadi 3,2%, angka ini masih sangat kecil dibandingkan jumlah penduduk, dan jauh di bawah rasio di negara-negara tetangga.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kuantitas profesor memang penting, dan sudah diakomodasi melalui aturan-aturan yang berfokus pada efektivitas proses. Sementara terkait kualitas, tidak banyak berubah dalam 10 tahun terakhir. Jika dibandingkan negara lain, syarat promosi profesor di Indonesia sangat ringan, yaitu cukup memiliki satu publikasi di jurnal internasional bereputasi. Tapi syarat ringan ini masih dianggap mempersulit, sehingga acap ada yang 'bermain' demi memiliki publikasi dimaksud.
Sebelum 2014, kewajiban publikasi bahkan bisa dipenuhi hanya dengan jurnal nasional terakreditasi. Bahkan di aturan yang lebih tua, dosen bergelar S1 dan tidak pernah publikasi pun bisa menjadi profesor. Jika melihat perkembangan zaman dan menengok negara tetangga, perubahan persyaratan profesor cenderung hanya menggeliat, bukan bangun lalu berjalan dan berlari. Dengan persyaratan begini, kualitas profesor Indonesia tidak setara dengan profesor di negara lain yang mensyaratkan belasan atau puluhan artikel bereputasi dan indeks-h tinggi.
Setiap profesor menerima tunjangan profesi dan kehormatan. Namun cukup banyak yang menjadikan momen turunnya surat keputusan sebagai titik akhir, bukan titik awal untuk makin aktif dan meluaskan jejaring. Profesor memiliki kesempatan lebih luas untuk berkolaborasi internasional, karena setidaknya, bisa menyematkan gelar profesor saat berinteraksi, agar 'sedikit dilirik' oleh calon mitra untuk menerima atau menawarkan kerjasama.
Mengawali kolaborasi dengan kolega internasional tidak mudah, apalagi karena titik awalnya tidak setara, namun ini justru bisa menjadi langkah bagi profesor Indonesia menuju kesetaraan dengan profesor luar. Dengan berkolaborasi, profesor Indonesia bisa menjadi 'murid' dari 'profesor asli'. Sebab, sebagaimana Porter Gale tulis, "Your network is your net worth." Tanpa kemauan memulai kolaborasi internasional, maka profesor Indonesia hanya 'profesor-profesoran' dengan net worth tetap rendah.
Christina Eviutami Mediastika dosen Universitas Ciputra Surabaya, Senior Faculty Fellow di Center for Global Soundscapes Purdue University
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini