Polemik Serius Pagar Laut Misterius

1 month ago 35
Portal Buletin News Tepat Terbaru

Jakarta -

Pemasangan pagar laut sepanjang lebih dari 30 kilometer di pesisir Tangerang telah memunculkan polemik serius. Dampaknya bukan hanya kerusakan ekologis, tetapi juga ancaman terhadap keberlanjutan hidup masyarakat nelayan yang bergantung pada laut.

Pemagaran laut di pesisir Tangerang tersebut juga merupakan tindakan melanggar hukum dan prinsip pengelolaan sumber daya pesisir yang berkelanjutan. Kasus ini tidak hanya mencerminkan masalah pelanggaran hukum, tetapi juga kegagalan kolektif dalam menjaga kedaulatan kelautan Indonesia.

Hukum dan Kelalaian dalam Pengelolaan Pesisir

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Pemagaran laut di pesisir Tangerang melanggar UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil. Pasal 35 undang-undang tersebut secara eksplisit melarang aktivitas yang merusak ekosistem pesisir. Selain itu, tindakan ini juga diduga melanggar Peraturan Pemerintah No. 21 Tahun 2021 tentang Penataan Ruang, yang mensyaratkan pembangunan di zona pesisir harus memiliki izin resmi.

Ketiadaan izin yang diduga kuat dalam kasus ini menunjukkan lemahnya pengawasan, sekaligus kurangnya keseriusan pemerintah dalam melindungi ekosistem laut sebagai aset vital bangsa. Lebih dari itu, pagar laut ini menjadi ancaman nyata bagi nelayan tradisional. Pembatasan akses mereka ke sumber daya laut tidak hanya melanggar hak asasi manusia, tetapi juga mengancam keberlanjutan ekonomi lokal.

Situasi ini menimbulkan pertanyaan besar: bagaimana negara dapat mengklaim kedaulatan laut jika tidak mampu melindungi hak masyarakat yang hidup dari laut?

Perspektif Kedaulatan dan Pengelolaan Sumber Daya

Kasus pagar laut ini relevan dengan teori yang dikemukakan oleh John Ruggie dalam Constructing the Maritime State (1993). Ruggie berpendapat bahwa kedaulatan bukan sekadar penguasaan fisik atas wilayah, tetapi juga mencakup kemampuan negara untuk melindungi dan mengelola sumber daya alam demi kesejahteraan rakyat.

Apabila ada pembiaran sehingga pelanggaran ini terjadi, maka negara akan gagal menjalankan fungsi kedaulatannya. Tidak adanya pengawasan dan ketegasan hukum dalam pembangunan pagar laut adalah bukti nyata bahwa upaya perlindungan kedaulatan kelautan masih jauh dari optimal.

Teori ini diperkuat oleh pandangan Elinor Ostrom dalam Governing the Commons (1990). Ostrom menekankan bahwa pengelolaan sumber daya alam, termasuk laut, harus melibatkan masyarakat lokal untuk mencegah kerusakan akibat eksploitasi sepihak.

Pagar laut yang membatasi akses nelayan tradisional menjadi bentuk privatisasi terselubung yang tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga mencederai prinsip keadilan dalam pemanfaatan sumber daya.

Dampak Ekologis yang Mengkhawatirkan

Kerusakan ekosistem yang ditimbulkan pagar laut ini tidak dapat diabaikan. Mangrove dan terumbu karang yang hancur adalah habitat penting bagi berbagai spesies laut dan berfungsi sebagai penopang ekosistem. Mangrove, misalnya, berperan sebagai pelindung alami dari abrasi dan penyerap karbon. Kehancurannya memperburuk ancaman krisis iklim yang dampaknya paling dirasakan oleh masyarakat pesisir.

Selain itu, hilangnya fungsi ekosistem ini berdampak langsung pada hasil tangkapan nelayan. Banyak nelayan yang kini harus melaut lebih jauh, menghabiskan lebih banyak bahan bakar, dan sering pulang tanpa hasil memadai. Kondisi ini tidak hanya meningkatkan beban ekonomi mereka, tetapi juga memperparah kemiskinan struktural yang selama ini menghantui masyarakat pesisir.

Penegakan Hukum dan Tanggung Jawab Pemerintah

Pasal 73 UU No. 27 Tahun 2007 dan Pasal 98 serta Pasal 109 UU No. 32 Tahun 2009 memberikan landasan hukum yang kuat untuk menindak pelaku pelanggaran ini. Ancaman pidana hingga 10 tahun penjara dan denda miliaran rupiah sudah sepatutnya ditegakkan untuk memberikan efek jera. Namun, penegakan hukum yang tegas harus diiringi dengan upaya evaluasi kebijakan tata ruang dan pengelolaan wilayah pesisir.

Pemerintah harus memastikan bahwa setiap proyek pembangunan di zona pesisir memenuhi persyaratan hukum dan tidak merugikan ekosistem maupun masyarakat lokal. Pengawasan yang lemah hanya akan memperbesar peluang pelanggaran dan merugikan banyak pihak.

Mengembalikan Laut sebagai Aset Strategis

Sebagai negara maritim, laut adalah jantung dari kedaulatan Indonesia. Namun, kasus pagar laut ini menunjukkan betapa lemahnya kita dalam menjaga aset strategis tersebut.

Laut bukan hanya wilayah fisik, tetapi juga sumber kehidupan yang harus dikelola dengan bijaksana. Mengutip pandangan Ruggie dan Ostrom, kedaulatan yang sejati terletak pada kemampuan negara dan masyarakat untuk melindungi dan memanfaatkan sumber daya secara berkelanjutan.

Keberlanjutan tidak akan terwujud jika pemerintah terus mengabaikan dampak ekologis dan sosial dari aktivitas destruktif seperti ini. Laut adalah warisan bersama yang harus dijaga, bukan hanya untuk generasi sekarang, tetapi juga untuk masa depan.

Noor Azhari Direktur Eksekutif Merah Putih Stratejik Institut (MPSI)

(mmu/mmu)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial