Panjang Lebar Nasihat MK ke Warga yang Minta Dibolehkan Tak Beragama

3 weeks ago 13

Jakarta -

Warga bernama Raymond Kamil dan Indra Syahputra mengajukan gugatan terhadap sejumlah pasal dalam beberapa undang-undang yang intinya meminta Mahkamah Konstitusi (MK) memperbolehkan warga tidak beragama. Hakim MK pun memberikan nasihat panjang lebar ke pemohon.

Gugatan Raymond dan Indra itu terdaftar dengan nomor perkara 146/PUU-XXII/2024. Sidang pendahuluannya sudah digelar di gedung MK pada Senin (21/10/2024).

Kedua pemohon merasa hak konstitusionalnya dirugikan dengan sejumlah aturan yang menurut mereka mengharuskan warga negara untuk beragama atau menganut agama. Mereka menyatakan dirinya tidak beragama dan merasa mengalami diskriminasi akibat pasal-pasal yang digugat.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Berikut petitum yang dibacakan dalam persidangan:

1. Mengabulkan seluruh Permohonan Pengujian Materiil Undang-Undang terhadap UUD 1945 yang diajukan Para Pemohon.

2. Menyatakan Pasal 22 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang tidak dimaknai 'secara positif dan negatif' atau menyatakan Pasal 22 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang tidak dimaknai 'secara positif dan negatif'. Yang maksudnya setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan/atau kepercayaannya itu atau tidak beribadah, dan bebas untuk tidak memeluk agama dan/atau kepercayaan, dan negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya dan/atau kepercayaannya itu, dan negara menjamin kemerdekaan setiap orang untuk tidak memeluk agama dan/atau kepercayaan'.

3. Menyatakan Pasal 61 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang kata agama tidak dimaknai sebagai 'beragama tertentu atau tidak beragama tertentu, kepercayaan tertentu atau kepercayaan tidak tertentu, yaitu setiap penduduk berhak memilih untuk mengosongkannya atau mengisinya secara definitif atau tidak definitif termasuk, tetapi tidak terbatas beragama, atau tidak beragama, atau Islam, atau Kristen, atau Katolik, atau Buddha, atau Hindu, atau Konghucu, atau kepercayaan Tuhan ... terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan sejenisnya, atau Islam Bahai, atau Islam Syiah 12 Imam, atau Syiah Ahlussunnah wal Jamaah, atau Buddha Mahayana, atau Buddha Tantrayana, dan sejenisnya, atau Saintologi, atau Deisme, atau Agnostik, atau Panteisme, dan sejenisnya, atau Parmalim, atau Sabto Dharma, atau Sundawiwitan, dan sejenisnya'. Atau menyatakan Pasal 61 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, sebagaimana terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang kolom agama tidak dihapuskan dan dianggap tidak ada.

4. Menyatakan Pasal 64 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan, sebagaimana terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang kata agama tidak dimaknai 'sebagai beragama tertentu atau tidak beragama tertentu, kepercayaan tertentu, atau kepercayaan tidak tertentu, yaitu setiap penduduk berhak memilih untuk mengosongkannya atau mengisinya secara definitif atau tidak definitif, termasuk tetapi tidak terbatas beragama atau tidak beragama, atau Islam, atau Kristen, atau Katolik, atau Buddha, atau Hindu, atau Konghucu, atau kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan sejenisnya, atau Islam Bahai, atau Islam Syiah 12 Imam, atau Islam Ahlussunnah Wal Jamaah, atau Buddha Mahayana, atau Buddha Tantrayana, atau Bunda ... Buddha Suci dan sejenisnya, atau Saintologi, atau Deisme, atau Agnostik, atau Panteisme, dan sejenisnya atau Malim, atau Saptadharma, atau Sundawiwitan, dan sejenisnya'. Atau menyatakan Pasal 64 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana terakhir diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang kolom agama tidak dihapuskan dan dianggap tidak ada.

5. Menyatakan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat. Atau menyatakan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tidak bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang dimaknai 'hanya mengikat penduduk yang memeluk agama dan kepercayaan tertentu dan tidak mengikat penduduk yang tidak memeluk agama dan kepercayaan tertentu'.

6. Menyatakan Pasal 12 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang tidak dimaknai 'sebagai pilihan atau kebebasan untuk mengikuti atau tidak mengikuti pendidikan agama'.

7. Menyatakan Pasal 37 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang tidak dimaknai 'sebagai pilihan atau kebebasan untuk mengikuti atau tidak mengikuti pendidikan agama'.

8. Pasal 37 ayat (2) Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang tidak dimaknai 'sebagai pilihan atau kebebasan untuk mengikuti atau tidak mengikuti pendidikan agama'.

9. Menyatakan Pasal 302 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.

10. Memerintahkan pemuatan putusan pada Berita Negara Republik Indonesia.

Atau dalam hal Mahkamah berpendapat lain, mohon putusan yang seadil-adilnya (ex aequo et bono).

Alasan Penggugat

Dalam persidangan itu, pemohon melalui kuasa hukumnya, Teguh Sugiharto, turut menjelaskan alasan mengajukan gugatan. Teguh mengatakan hak konstitusional kliennya dirugikan dengan sejumlah aturan yang menurut mereka mengharuskan warga negara untuk beragama atau menganut agama tertentu. Mereka merasa ada ketidakpastian perlindungan bagi warga gara-gara keharusan itu.

"Hak konstitusional para pemohon yang tidak memeluk agama dan kepercayaan dirugikan dengan berlakunya undang-undang yang menjadi objek permohonan dan kerugian bersifat aktual dan/atau menurut penalaran yang wajar dapat terjadi dan memiliki hubungan sebab-akibat yang nyata," demikian ujar pemohon seperti dilihat dari risalah persidangan, Rabu (23/10/2024).

Dia mengatakan aturan yang ada membuat aparat pemerintah memahami kebebasan beragama secara terbatas, yakni pada pilihan agama di kolom KTP. Menurut pemohon, kebebasan beragama harusnya juga dimaknai dengan tidak beragama atau tidak memeluk agama apa pun.

Pemohon mengatakan sistem administrasi kependudukan hanya memberikan tujuh pilihan isian pada kolom agama di KTP dan kartu keluarga. Pemohon menganggap pengosongan kolom agama pada KTP malah menyebabkan diskriminasi.

"Banyak bukti diskriminasi karena tercantumnya agama oleh penganut agama lainnya, maka menurut penalaran yang wajar, diisi apa pun juga, menjadi penyebab diskriminasi. Karena sebelumnya tanda setrip menjadi penyebab diskriminasi, maka diisi apa pun juga, dapat menjadi sebab diskriminasi, apalagi diisi tidak beragama," ujarnya.

Teguh mengatakan kliennya merasa orang yang tidak beragama terpaksa berbohong agar dilayani dalam urusan adminduk. Kondisi tersebut dianggap oleh pemohon dapat menyebabkan data adminduk tidak akurat.

Pemohon juga merasa kehilangan hak untuk melangsungkan perkawinan secara sah karena tidak memeluk agama. Pemohon menyebut UU Perkawinan hanya mengatur pernikahan bagi penganut agama.

"Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Karena Para Pemohon tidak memeluk agama dan kepercayaan, maka hilang pula hak melangsungkan perkawinan yang sah yang digantungkan secara bersyarat pada pelaksanaan ritual agama, ritual perkawinan menurut ketentuan agama," ujarnya.

Simak selengkapnya di halaman selanjutnya.

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial