Jakarta -
Pengacara terdakwa kasus korupsi pengelolaan timah Mochtar Riza Pahlevi membawa-bawa istilah negara Konoha dalam persidangan. Dia menyebut-nyebut Konoha, nama desa dalam komik atau manga Naruto, yang kerap dijadikan istilah pengganti Indonesia di medsos, saat bertanya ke ahli yang dihadirkan jaksa penuntut umum.
"Saya pun juga mau bikin ilustrasi, konon di suatu negara, Negara Konoha. Itu punya provinsi namanya Provinsi Kedubagelen, itu provinsi dihuni oleh banyak penambang liar, penambang ilegal banyak sekali, hampir semua provinsi," kata kuasa hukum Mochtar Riza Pahlevi di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Rabu (6/11/2024).
Mochtar merupakan mantan Direktur Utama PT Timah Tbk. Kuasa hukumnya bertanya ke Ahli Hukum Administrasi Negara Bidang Hukum Lingkungan Hidup, Kartono, yang dihadirkan jaksa.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dia memberikan ilustrasi ada perusahaan milik negara yang datang ke Provinsi Kedubagelen untuk melakukan penambangan. Dia membawa-bawa nama 'Mulyono' sebagai Kepala Negara Konoha terkait praktik penambangan ilegal di provinsi tersebut.
"Jadi satu provinsi itu hampir semua itu penambang liar ya kan, kemudian tiba-tiba datanglah perusahaan milik negara, ingin juga nambang di situ. Geger lah di situ, geger, konflik, yang penambang liarnya konflik sama perusahaan milik negara, yang perusahaan milik negara juga bingung juga mau diapain ini penambang liar. Syukur alhamdulillah datang Bapak Kepala Negara, Pak Haji Mulyono datang ke Provinsi Kedubagelen tadi itu. Banyak laporan kepada beliau, termasuk juga dari para bawahan, dari para penggawa, para pembantunya, ini ilegal, ilegal. Bapak Presiden, Pak Kepala Negara tadi itu kemudian bicara," ujarnya.
Ketua majelis hakim Rianto Adam Pontoh mengambil alih persidangan dan menanyakan apa pertanyaan dari kuasa hukum Riza Pahlevi ke Kartono. Kuasa hukum Riza menanyakan apakah pembinaan yang dilakukan perusahaan untuk membina penambang ilegal adalah salah, padahal diperintah oleh Kepala Negara Konoha tersebut.
"Sekarang pertanyaannya apa?" ujar ketua majelis hakim Rianto Adam Pontoh.
"Pertanyaannya begini, Pak, nah Bapak Presiden itu bilang, Pak Kepala Negara tadi itu bilang, coba bikin yang ilegal tadi itu juga masyarakat saya, rakyat saya, coba dibikinlah itu menjadi legal. Maka kemudian perusahaannya negara tadi itu bikin aturan, membikin cara, agar itu dibina dengan baik. Pertanyaan saya adalah apa iya, Bapak Kepala Negara kemudian tidak tahu kalau itu penambangan ilegal? Terus kemudian bagaimana status penambangan ilegal tadi itu dan para penambang ilegal itu ketika Bapak Presiden telah menyuruh kepada perusahaan negara tadi itu, untuk bikin pembinaan kepada para penambang-penambang liar tadi itu? Apa ya salah perusahaan tadi itu membikin kebijakan agar semua teratur rapi di Provinsi Kedubagelen tadi itu? Itu aja Pak Ahli pertanyaan saya," tutur kuasa hukum Riza Pahlevi.
Kartono kemudian memberikan penjelasan. Dia mengatakan program kemitraan antara penambang legal dengan penambang ilegal dapat dilakukan dan tak melanggar hukum pada ilustrasi Negara Konoha tersebut.
"Jadi apa yang digambarkan itu tadi intinya kan mengatakan bahwa ada satu pihak yang mempunyai izin, kemudian pihak-pihak yang lain tidak mempunyai izin dan melakukan penambangan. Jadi sebenernya jika terjadi semacam itu bisa dilakukan kemitraan antara yang ilegal dengan yang punya izin. Kira-kira seperti itu, Yang Mulia," kata Kartono.
"Jadi program kerja kemitraan itu bukan suatu yang melanggar hukum menurut Saudara? Kemitraan?" tanya hakim.
"Dalam konteks-konteks ini, Yang Mulia, jadi kemitraan itu tetap penambangannya diberikan kepada yang memberi izin, bukan yang ilegal," jawab Kartono.
"Berarti bermitra itu tidak salah?" tanya hakim.
"Bermitra tidak salah, Yang Mulia," jawab Kartono.
Kuasa hukum Riza menyampaikan terima kasih atas penjelasan Kartono tersebut. Kartono menegaskan pada kemitraan yang dia jelaskan, penambangan tetap dilakukan oleh penambang legal bukan diberikan ke penambang ilegal.
"Jadi terima kasih, menjadi terang buat kita, kemitraan tidak salah gitu. Karena memang takut betul itu perusahaan negara itu tadi, Pak, kalau nggak boleh kemitraan gimana, wong ini perintahnya Kepala Negara Pak Haji Mulyono, Presiden Republik Konoha. Jadi itu yang saya tanyakan, terima kasih atas penjelasan panjenengan. Matur suwun, makasih, Pak," kata kuasa hukum Riza Pahlevi.
"Jadi pada intinya izin itu kan diberikan dengan tujuan tertentu Yang Mulia, dan itu terkait dengan syarat-syarat tertentu tadi. Karena yang mempunyai syarat yang mempunyai ijin ini, dia yang berhak untuk melakukan penambangan, yang ilegal bisa dirangkul begitu. Jadi penambangan tetap dilakukan oleh yang punya izin karena dia juga yang punya ilmunya untuk melakukan kaidah penambangan yang baik," ujar Kartono.
Duduk sebagai terdakwa dalam sidang ini adalah terdakwa crazy rich Pantai Indah Kapuk (PIK) Helena Lim, Mochtar Riza Pahlevi Tabrani selaku mantan Direktur Utama PT Timah Tbk 2016-2021, Emil Ermindra selaku mantan Direktur Keuangan PT Timah Tbk periode 2016-2020, dan MB Gunawan selaku Direktur Utama PT Stanindo Inti Perkasa.
Berdasarkan surat dakwaan jaksa penuntut umum (JPU), kerugian keuangan negara akibat pengelolaan timah dalam kasus ini disebut jaksa mencapai Rp 300 triliun. Perhitungan itu didasarkan pada Laporan hasil audit penghitungan kerugian keuangan negara di kasus timah yang tertuang dalam nomor PE.04.03/S-522/D5/03/2024 tertanggal 28 Mei.
"Telah mengakibatkan keuangan keuangan Negara sebesar Rp 300.003.263.938.131,14 atau setidaknya sebesar jumlah tersebut berdasarkan Laporan Hasil Audit Penghitungan Kerugian Keuangan Negara Perkara Dugaan Tindak Pidana Korupsi Tata Niaga Komoditas Timah di Wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) di PT Timah, Tbk Tahun 2015 sampai dengan Tahun 2022 Nomor PE.04.03/S-522/D5/03/2024," ungkap jaksa saat membacakan dakwaan Helena Lim di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Rabu (21/8).
(mib/haf)