Menutup Ramadan, Menyambut Lebaran: Sebuah Refleksi

3 days ago 10

Jakarta -

Ramadan sebentar lagi meninggalkan kita. Ramadan selalu menjadi bulan yang penuh makna bagi umat Islam di seluruh dunia, terutama di Indonesia, di mana nuansa spiritual dan sosial begitu kental terasa. Sebagai bulan yang di dalamnya terdapat perintah berpuasa, Ramadan bukan hanya sekadar menahan lapar dan dahaga, tetapi juga mengajarkan disiplin, pengendalian diri, serta empati terhadap sesama.

Para ulama sejak dahulu telah membahas esensi puasa dengan berbagai perspektif. Imam Al-Ghazali dalam karyanya Ihya Ulumuddin menjelaskan bahwa puasa memiliki tiga tingkatan: puasa awam yang hanya menahan diri dari makan dan minum, puasa khusus yang juga menahan anggota tubuh dari perbuatan dosa, dan puasa khusus al-khusus yang mencapai tingkatan spiritual tertinggi dengan sepenuhnya mengendalikan hati dan pikiran dari segala yang menjauhkan diri dari Allah.

Sementara itu, Ibnu Qayyim Al-Jauziyah menyoroti hikmah puasa sebagai bentuk penyucian jiwa dan metode efektif untuk memperkuat keimanan seseorang. Dalam tafsir modern, Ramadan dipandang sebagai momentum introspeksi diri, di mana seseorang belajar untuk tidak hanya menahan diri dari hal-hal yang bersifat jasmani tetapi juga dari sifat-sifat buruk seperti amarah, iri hati, dan kesombongan.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Tradisi Unik Menjelang Lebaran

Namun, di tengah makna mendalam yang terkandung dalam Ramadan, fenomena sosial menjelang Idul Fitri di Indonesia sering menunjukkan dimensi lain dari cara masyarakat memahami bulan suci ini. Tradisi mudik, misalnya, menjadi momen yang sangat dinanti-nanti. Jutaan orang bergerak dari kota ke desa untuk kembali ke kampung halaman, sebuah fenomena unik yang mencerminkan betapa kuatnya ikatan kekeluargaan dan nilai silaturahmi dalam budaya Indonesia.

Tradisi ini juga menjadi cerminan dari makna puasa yang mengajarkan kebersamaan dan kebahagiaan dalam berbagi. Namun, di sisi lain, fenomena mudik juga menghadirkan tantangan sosial dan ekonomi, seperti lonjakan harga tiket transportasi, kepadatan lalu lintas, hingga meningkatnya angka kecelakaan. Ini menunjukkan bahwa sekalipun mudik merupakan tradisi yang bernilai tinggi, tetap diperlukan perencanaan yang baik agar esensi Ramadan tetap terjaga tanpa terganggu oleh hiruk-pikuk perjalanan.

Selain mudik, menjelang Idul Fitri masyarakat Indonesia juga memiliki kebiasaan unik lainnya, seperti membeli pakaian baru, membersihkan rumah, dan menyiapkan berbagai hidangan khas Lebaran. Secara historis, kebiasaan membeli baju baru sering dikaitkan dengan ajaran Islam yang menganjurkan umatnya untuk tampil bersih dan rapi saat hari raya. Namun, dalam praktiknya, fenomena ini sering berubah menjadi ajang konsumsi yang berlebihan.

Mall dan marketplace dipenuhi oleh diskon besar-besaran, mendorong masyarakat untuk berbelanja lebih dari yang mereka butuhkan. Fenomena ini berbanding terbalik dengan esensi Ramadan yang mengajarkan kesederhanaan dan pengendalian diri. Di sinilah letak paradoks yang menarik: di satu sisi, Ramadan mengajarkan kita untuk hidup sederhana, tetapi di sisi lain, menjelang Idul Fitri justru terjadi peningkatan konsumsi yang sangat besar.

Ini menjadi refleksi bagi kita semua, apakah benar kita telah memahami pesan utama dari Ramadan ataukah kita justru terjebak dalam euforia budaya yang lebih mengedepankan aspek material dibandingkan spiritual.

Pergeseran Silaturahmi

Pada era digital saat ini, Ramadan dan Idul Fitri mengalami perubahan yang cukup signifikan dalam praktik sosialnya. Jika dahulu silaturahmi dilakukan secara langsung dengan datang ke rumah sanak saudara, kini media sosial dan aplikasi pesan instan menggantikan sebagian besar interaksi tersebut. Ucapan selamat Idul Fitri yang dulunya disampaikan secara lisan atau melalui kartu ucapan, kini cukup dikirimkan melalui WhatsApp atau di-posting di media sosial.

Meskipun hal ini mempermudah komunikasi, tetapi ada kekhawatiran bahwa esensi silaturahmi yang sejati menjadi semakin terkikis. Interaksi yang sebelumnya hangat dan penuh makna kini terasa lebih formal dan cenderung dangkal. Teknologi yang seharusnya menjadi alat untuk mendekatkan, justru dalam beberapa aspek menjauhkan, terutama bagi generasi muda yang lebih terbiasa berkomunikasi secara virtual daripada secara langsung.

Selain itu, pengaruh digitalisasi juga terasa dalam cara umat Islam menjalankan ibadah selama Ramadan. Banyak orang lebih memilih untuk mengikuti ceramah keagamaan melalui YouTube atau Instagram Live daripada menghadiri majelis ilmu secara langsung. Aplikasi pengingat waktu salat, aplikasi donasi online, hingga platform streaming kajian Islam semakin memudahkan umat Islam dalam beribadah.

Namun, di sisi lain, fenomena ini juga melahirkan tantangan tersendiri, di mana banyak orang lebih sibuk menampilkan ibadah mereka di media sosial daripada benar-benar meresapi maknanya. Tren berbagi momen tadarus, salat tarawih, atau kegiatan sosial Ramadan di Instagram dan TikTok sering tidak lagi berfokus pada esensi ibadah, melainkan lebih pada pencitraan. Hal ini menjadi refleksi bagi kita semua: apakah kita benar-benar beribadah karena Allah atau karena ingin mendapatkan pengakuan dari manusia?

Ramadan sejatinya adalah bulan yang mengajarkan keseimbangan antara aspek spiritual dan sosial. Islam tidak melarang umatnya untuk merayakan kemenangan setelah sebulan penuh berpuasa, tetapi juga mengajarkan agar kebahagiaan itu tidak membuat kita lupa terhadap nilai-nilai yang telah kita pelajari selama Ramadan.

Tetap Berlanjut Pasca Idul Fitri

Hikmah utama dari puasa adalah membangun kedekatan dengan Allah dan memperbaiki hubungan dengan sesama. Oleh karena itu, saat kita memasuki pengujung Ramadan dan bersiap menyambut Idul Fitri, kita perlu merenungkan apakah kita telah menjalani Ramadan dengan penuh kesadaran ataukah hanya menjalankannya sebagai ritual tahunan tanpa makna yang mendalam.

Di tengah kemajuan teknologi yang semakin mendominasi kehidupan, penting bagi kita untuk tetap menjaga esensi ibadah dan memanfaatkan teknologi dengan bijak, bukan sebagai pengganti interaksi sosial yang sejati, melainkan sebagai alat untuk memperkaya pengalaman spiritual kita.

Refleksi Ramadan seharusnya tidak hanya berakhir pada bulan suci ini, tetapi menjadi titik tolak bagi perbaikan diri yang berkelanjutan. Jika Ramadan mengajarkan kita untuk bersabar, maka kesabaran itu harus terus kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari. Jika Ramadan mengajarkan kita untuk berbagi, maka semangat kepedulian itu tidak boleh padam setelah Idul Fitri berlalu. Jika Ramadan mengajarkan kita untuk menahan diri, maka kendali atas hawa nafsu harus tetap menjadi bagian dari karakter kita.

Inilah makna sebenarnya dari kemenangan yang dirayakan dalam Idul Fitri: bukan sekadar kemenangan menahan lapar dan dahaga, tetapi kemenangan atas diri sendiri dalam menjadi manusia yang lebih baik, lebih sadar, dan lebih bertakwa.

Muhammad Ali Murtadlo dosen Fakultas Syariah IAIN Ponorogo

(mmu/mmu)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial