Menjaga Perguruan Tinggi dari Godaan Konsesi Tambang

1 month ago 36

Jakarta -

Pemberian izin konsesi tambang bagi perguruan tinggi seperti diwacanakan dalam draf RUU Minerba merupakan kekeliruan dalam mendudukkan peran perguruan tinggi sebagai tempat persemaian nalar kritis dan penjaga peradaban. Selain merawat akal sehat dan spirit intelektualitas untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, perguruan tinggi tak ubahnya seperti perisai dalam merawat kelestarian lingkungan hidup, flora dan fauna serta keanekaragaman hayati. Kebijakan pembangunan ekstraktif yang diwacanakan oleh legislatif sangat membahayakan dan dapat menjerumuskan universitas ke dalam kubangan dosa ekologi yang memperburuk kerusakan alam.

Universitas hendaknya menjadi lokomotif dalam menjawab serta mengatasi tantangan zaman dan isu-isu keberlanjutan. Tantangan ini hendaknya dapat dijawab dengan pengembangan model universitas yang berkelanjutan, melalui pengembangan dan inovasi kurikulum yang berbasis pada Education for Sustainable Development (ESD) yang dilaksanakan secara kongkret melalui kegiatan tridharma perguruan tinggi.

Sebuah riset yang dilakukan oleh R. Ciegis dan Dalia Gineitiene (2009) menegaskan peran universitas dalam mempromosikan keberlanjutan, termasuk konsep ESD dan environmental education (EE) sangat penting untuk dicermati di tengah godaan konsesi tambang. Ia menekankan pada tantangan yang dihadapi oleh universitas dalam menerapkan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan, bagaimana universitas dapat mengintegrasikan keberlanjutan ke dalam aktivitas pendidikan, penelitian, dan pengabdian masyarakat.

Role Model Menarik

Akreditasi universitas yang dilakukan di Indonesia masih disibukkan dengan hal-hal yang bersifat administrasi, bukan pada peningkatan kualitas akademik, tanpa berpijak pada hal-hal yang substansi dan fundamental. Sebagian besar standar yang dituangkan dalam instrumen dokumen data administrasi akreditasi perguruan tinggi belum menyentuh isu mendasar yang dihadapi oleh masyarakat dan planet kita.

Problem terkait kurangnya penilaian berbasis hasil juga menjadi masalah serius dalam akreditasi perguruan tinggi. Akreditasi hanya sebatas memotret dan melakukan penilaian input (seperti jumlah dosen dan fasilitas) dan proses, sementara output atau hasil seperti kualitas lulusan, penelitian yang berdampak pada lingkungan, dan kontribusi sosial kemanusiaan sering kali luput dari penilaian.

Di sisi lain, belenggu kerja administrasi dosen kian menyumbat nalar kritis dosen serta mahasiswa; mereka yang kritis terhadap institusi dianggap menjadi ancaman kolektif. Kolaborasi lintas disiplin yang bersifat emansipatoris menjadi langka, dikursus-diskursus alternatif yang berusaha menjawab isu sosial, lingkungan serta kemanusiaan kian senyap karena mandeknya kebebasan akademik di perguruan tinggi. Dengan demikian standarisasi melalui akreditasi perguruan tinggi belum mampu menjawab permasalahan-permasalahan yang kontekstual dan mendesak seperti isu keberlanjutan (perubahan iklim dan pemanasan global).

Danongdafu Forest Park yang ada di Hualien County, Taiwan merupakan salah satu role model menarik untuk pengelolaan community-based ecotourism yang diinisiasi oleh biro kehutanan bersama dengan masyarakat adat bahkan menjadi laboratorium riset bagi National Dong Hwa University Taiwan yang fokus pada studi pariwisata berkelanjutan, environmental science, dan indigenous studies.

Danongdafu Forest Park seluas 12,5 km telah menjadi habitat 20 spesies dahulu adalah lahan perkebunan khususnya tebu yang kurang produktif untuk ekonomi karena masa transisi Taiwan menuju negara yang leading di sektor teknologi. Danongdafu mulai dialihfungsikan menjadi hutan pada 2002 kemudian area ini diresmikan sebagai taman rekreasi pada 2010. Area ini memiliki fasilitas rekreasi seperti jalur sepeda terpanjang di Taiwan, kolam, dan jalur pejalan kaki, taman dan menjadi sektor unggulan pariwisata berkelanjutan Taiwan. Ini menjadi contoh bahwa pemerintah, komunitas, dan universitas mampu bersinergi dalam upaya membangun kelestarian lingkungan.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Mengusung Isu Keberlanjutan

Kesadaran ekologi hendaknya lahir dari rahim mimbar akademik yang bebas dan egaliter; dosen dan mahasiswa dapat menghayati pentingnya menjaga lingkungan dan menerapkan prinsip keberlanjutan di berbagai bidang tridharma perguruan tinggi seperti ekonomi, hukum, kesehatan, dan kebijakan publik. Riset dan inovasi perguruan tinggi penting diterapkan untuk memberikan solusi kekinian terhadap tantangan lingkungan, seperti teknologi energi terbarukan, manajemen limbah, dan konservasi biodiversitas.

Universitas dapat menjadi role model bagi masyarakat dalam manajemen limbah, konsumsi energi yang cerdas dan bijak, infrastruktur hijau dan berkelanjutan. Keterlibatan universitas dalam agenda SDG's juga sangat dinanti terutama dalam aksi nyata untuk merespons perubahan iklim, pendidikan yang berkualitas, dan kehidupan berkelanjutan. Menjadi kampus yang mengusung isu keberlanjutan adalah esensi sesungguhnya perguruan tinggi, bukan hanya sekadar jargon green campus dengan polesan artifisial di ruang-ruang publik.

Kampus harus berani mengambil sikap penolakan terhadap semua agenda yang menggadaikan kesehatan planet untuk masa depan generasi manusia termasuk bujuk rayu konsesi tambang. Membumikan kesadaran ekologi adalah sebuah pertaruhan di tengah rezim kapitalisasi perguruan tinggi yang dipaksa untuk menjalankan tridharma layaknya korporasi. Justru dengan menyemai kesadaran ekologi dapat memicu peningkatan kualitas hidup seluruh civitas akademika karena lingkungan hidup yang sehat dan hijau. Membangkitkan kesadaran ekologi mampu melahirkan individu yang memiliki kepedulian terhadap lingkungan, berperan aktif membuat perubahan positif, selalu melakukan advokasi ekologi dan senantiasa memberi dampak.

Selain itu juga, kesadaran ekologi dapat mendorong konsumsi sumber daya yang lebih efisien dan ramah lingkungan, dapat mengurangi biaya operasional, serta dapat menciptakan peluang ekonomi baru berbasis pada keberlanjutan, seperti sektor energi hijau atau ekowisata dan juga blue economy. Demikian, reputasi universitas sebagai penjaga ekologi adalah sebuah keniscayaan. Para akademisi harus berani mengambil sikap penolakan tegas terhadap wacana pemberian hak konsesi tambang bagi perguruan tinggi.

Konsesi tambang dapat melanggengkan praktik oligarki di kalangan kampus yang seharusnya netral serta menjadi kontrol terhadap kebijakan yang ugal-ugalan terhadap pengelolaan lingkungan. Indonesia memiliki kurang lebih 4.356 perguruan tinggi; mereka harus lantang menyuarakan penolakan tegas terhadap wacana konsesi tambang bagi universitas.

Meskipun sektor minerba telah memberikan kontribusi terhadap produk domestik bruto (PDB) Indonesia pada 2024 sebesar Rp 99,3 triliun pada September 2024, atau realisasi target 87% perekonomian nasional, tetap saja banyak yang harus dipertimbangkan bagi perguruan tinggi untuk turut serta terlibat dalam pengelolaan tambang. Fitrah kampus hendaknya fokus pada pengembangan ilmu pengetahuan yang memberi dampak pada lingkungan, sosial dan kemanusiaan bukan malah menambah persoalan lingkungan.

Pertanyaan yang muncul, seberapa besar keterlibatan universitas untuk mengatasi permasalahan lingkungan (misal PLTU Batang, Tambang Emas Gunung Tumpang Pitu Banyuwangi, Reklamasi Teluk Benoa, Ekplorasi Kawasan Pegunungan Kendeng, Pertambangan Timah Bangka Belitung, Pertambangan Nikel Pulau Obi) dan problem lingkungan lainnya? Pertanyaan tersebut akan menjadi pesakitan manakala kebijakan pemberian konsesi tambang benar-benar disahkan oleh pemerintah --di mana peran perguruan tinggi sebagai institusi yang bermartabat, demokratis, penggerak transformasi sosial dan lingkungan?

Andi Tri Haryono mahasiswa PhD Program Asia-Pacific Regional Studies, College Humanity and Social Science, National Dong Hwa University Taiwan; dosen di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Wahid Hasyim

(mmu/mmu)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial