Jakarta -
Tidak sedikit penderita GERD (Gastroesophageal reflux disease) yang memiliki kekhawatiran bahwa menjalankan puasa berpotensi menaikkan asam lambung. Hal tersebut dikarenakan ketika perut kosong, asam lambung bergejolak dan bisa mempengaruhi lambung dan area sekitarnya. Gejala GERD memang menimbulkan rasa tidak nyaman bagi penderitanya. Terlebih saat berpuasa, ketidaknyamanan tersebut tentu akan mengganggu kelancaran aktivitas berpuasa dan ibadah-ibadah lainnya.
Tetapi, tidak demikian yang diyakini oleh seorang Ade Rai. Ikon olahraga binaraga Tanah Air ini sempat mengemukakan sudut pandang menarik tentang puasa. Dalam sebuah wawancara, Ade mengajukan premis yang memantik kesadaran kita tentang pesan dibalik aktivitas puasa. Menurutnya, berpengaruh atau tidaknya puasa seseorang terhadap naiknya asam lambung lebih sebagai dampak dari pola pikir yang tertanam oleh orang yang menjalankan puasa itu sendiri.
Poin yang ingin disampaikan Ade Rai, bahwasannya ada interkoneksi antara kesadaran (jiwa), pikiran, dan kesiapan tubuh untuk merespons apa yang terbentuk dalam pikiran. Bagi orang yang memandang puasa sebagai amalan yang memberatkan, besar kemungkinan ia akan mengalami gangguan fisik seperti asam lambung saat melaksanakan puasa. Sebaliknya, bagi orang yang memiliki motivasi kuat berpuasa, tergerak hatinya untuk menjalankan puasa karena ada "manfaat" yang ingin diraih, ia cenderung tidak akan mengalami gangguan-gangguan fisik yang menghambat laku puasanya itu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pendapat Ade Rai didukung oleh hasil riset peneliti neurosains Universitas Cambridge, Camilla Nord. Temuan Nord dituangkan dalam buku yang rilis pada 2023, The Balanced Brain: The Science of Mental Health. Nord mengemukakan, sejatinya tidak ada garis pemisah yang tegas antara dimensi "fisik" dan dimensi "psikis" yang mengilhami perilaku manusia. Bagi Nord, otak (pikiran) dan tubuh fisik memiliki hubungan timbal balik yang satu sama lain saling mempengaruhi. Semua yang terjadi di diri manusia secara simultan bersifat fisik dan psikologis sekaligus.
Benang merah yang dapat ditarik dari perspektif Ade Rai maupun Camilla Nord, bahwa persepsi yang benar tentang suatu perbuatan amatlah penting untuk dimiliki. Persepsi yang benar akan menumbuhkan sikap mental positif terhadap apa yang sedang dilakukan --nilai atau value seperti apa yang ingin dicapai melalui perbuatan tersebut. Dalam konteks ibadah puasa, terutama pada bulan Ramadan, kewajiban menjalankan puasa sesungguhnya merupakan bagian dari karunia dan rahmat Tuhan kepada hamba-Nya. Perintah yang sudah selayaknya disambut dengan suka cita dan penuh kerelaan.
Al-Quran menyinggung sikap mental positif orang beriman ketika menyikapi perintah-perintah Tuhan, sebagaimana termaktub dalam Surat Yunus ayat 58: Katakanlah (Nabi Muhammad), 'Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya itu, hendaklah mereka bergembira. Itu lebih baik daripada apa yang mereka kumpulkan.'
Berkenaan dengan kandungan Surat Yunus ayat 58, Wahbah Az-Zuhaili menyitir dalam tafsirnya Al-Wasith, pendapat Ibnu Athiyah (w. 1147 M) tentang makna karunia dan rahmat yang dimaksud dalam surat tersebut. Karunia adalah petunjuk Tuhan kepada agama-Nya dan pertolongan untuk mengikuti syariat-Nya. Adapun rahmat adalah ampunan dan balasan surga yang diberikan Tuhan kepada hamba-Nya yang berlaku jujur dalam iman dan Islam.
Puasa Ramadan merupakan salah satu rukun Islam. Syariat puasa diberlakukan bukan sebatas sebagai ritual jasmani menahan lapar dan dahaga. Puasa, meminjam ungkapan Rumi dalam syairnya, laksana api yang membakar segala penghalang (hijab) antara manusia dengan Tuhannya. Semakin sedikit penghalang memisahkan jarak, semakin intim dan privat kedekatan hamba dengan Sang Pencipta.
Persepsi yang benar tentang puasa dan keutamaan Ramadan merupakan modal utama untuk menanamkan sikap mental positif menghadapi bulan yang penuh berkah ini. Jika kesiapan psikis dan fisik tidak dibangun sedari awal, boleh jadi keberterimaan diri terhadap Ramadan tak ubahnya seperti melewati hari-hari biasa pada bulan lainnya. Mentalitas positif akan melahirkan pola pikir bertumbuh yang mendorong seorang Muslim berupaya optimal untuk meraup peluang-peluang kebaikan selama Ramadan.
Bulan Pendidikan
Ramadan sering disebut juga sebagai bulan pendidikan atau syahrut tarbiyah. Istilah tersebut merujuk pada tujuan puasa yang dilakukan selama Ramadan, yaitu membentuk karakter insan bertakwa (QS. Al-Baqarah: 183). Hari-hari Ramadan ibarat tangga yang mengantarkan insan beriman naik setahap demi setahap menuju kesadaran beragama yang lebih baik dari sebelumnya.
Madrasah Ramadan melatih kita untuk memiliki pola pikir dan pola perilaku yang terus bertumbuh, semakin berkualitas dari waktu ke waktu, karena Ramadan itu sendiri bukanlah titik pemberhentian terakhir. Orang yang berpuasa adalah para salik yang sedang meniti jalan tirakat, di mana Ramadan adalah satu dari sekian banyak wasilah tirakat yang dikaruniakan Tuhan. Seorang salik yang terhenti di tengah perjalanan, maka ia telah gagal sebelum mencapai tujuan. Kegagalan merupakan tanda bahwa sang salik sejatinya tidak mengenal betul jalan yang ia tempuh.
Ibnu Rajab dalam Lathaiful Ma'arif mengutip riwayat yang menggambarkan situasi batin para sahabat Nabi Muhammad dalam menyikapi bulan Ramadan. Para sahabat berdoa selama enam bulan agar mereka dipertemukan dengan Ramadan, dan berdoa selama enam bulan berikutnya agar segala amal mereka sepanjang bulan Ramadan diterima oleh-Nya.
Etos spiritual yang diperlihatkan para sahabat Nabi SAW tentu didasari oleh kedalaman pemahaman mereka terhadap tujuan perjalanan dan jalan yang harus dilalui. Tidak mudah memang untuk meniru etos kerohanian seperti itu. Namun setidaknya, kita memiliki contoh konkret praktik baik bagaimana menumbuhkan mentalitas pola pikir bertumbuh melalui momentum madrasah Ramadan.
Apriyadi Wardoyo ASN di Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu