Jakarta -
Secara umum peningkatan tax ratio (rasio pajak) dapat dilakukan melalui dua jalan, yaitu menaikkan tarif pajak dan reformasi sistem administrasi perpajakan. Jalan reformasi administrasi perpajakan dianggap lebih berdampak besar ketimbang menaikkan tarif pajak. Mengingat peningkatan tarif pajak tidak akan signifikan meningkatkan rasio pajak tanpa dibarengi dengan peningkatan kepatuhan para wajib pajak. Maka, kuncinya bagaimana meningkatkan kepatuhan para wajib pajak melalui reformasi administrasi perpajakan.
Kepatuhan para wajib pajak sejauh ini masih menjadi tantangan di Indonesia. World Bank telah melaporkan tax gap—selisih antara pendapatan pajak yang benar-benar diperoleh dan yang seharusnya diperoleh—Indonesia hanya mencapai 6,4% dari PDB atau setara dengan Rp 1.500 Triliun. Padahal potensi rasio pajak Indonesia bisa mencapai 17% apabila pemerintah melaksanakan langkah optimalisasi penerimaan dengan baik.
Upaya menggenjot tingkat kepatuhan wajib pajak kerap dilakukan pemerintah pada era Reformasi. Seiring perkembangan teknologi digital, upaya tersebut pun dijalankan dengan memanfaatkan teknologi digital dalam memberikan pelayanan dan pengawasan kepada wajib pajak. Salah satu tonggak paling ambisiusnya adalah peluncuran sistem coretax. Sistem coretax atau Sistem Inti Administrasi Perpajakan (SIAP) yang mulai diterapkan sejak 1 Januari 2025 itu mengintegrasikan berbagai proses bisnis yang terkait dengan urusan penyetoran dan pelaporan pajak oleh wajib pajak.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Penerapan sistem coretax itu diharapkan otoritas perpajakan dapat melakukan identifikasi dan memetakan perilaku ekonomi wajib pajak sehingga memudahkan pengawasan, meningkatnya rasio pajak, dan berujung pada meningkatnya penerimaan pajak. Namun, harapan itu belum sepenuhnya menjadi kenyataan. Dua bulan setelah penerapannya, coretax malah dianggap sebagai salah satu sebab anjloknya penerimaan pajak sebanyak 30,2% per Februari 2025 secara tahunan (year on year).
Tidak di ruang hampa
Mengapa teknologi secanggih coretax belum mampu menggenjot pendapatan pajak sejak diberlakukan? Jawaban sederhananya: karena teknologi tidak bekerja dalam ruang hampa. Ia hidup di dalam ekosistem politik dan birokrasi yang sering kali tak sejalan dengan semangat reformasi. Dalam konteks Indonesia, coretax seperti mesin canggih yang dipasang di kendaraan birokrasi tua yang mesinnya belum di-upgrade. Kita memacu teknologi, tetapi lupa memperkuat fondasi kelembagaan yang menopangnya.
Sejarah sistem perpajakan kita sarat tarik-menarik antara kepentingan ekonomi dan politik. Pasca Orde Baru, reformasi fiskal dibangun di atas semangat membatasi defisit anggaran dan memperkuat kemandirian fiskal melalui pajak. Namun sejak Reformasi, dinamika politik anggaran berubah. Pajak tak lagi sekadar instrumen fiskal, tetapi menjadi bagian dari politik populisme fiskal. Pemerintah, terutama menjelang pemilu, lebih sering menggunakan insentif dan pembebasan pajak, ketimbang mendorong perluasan basis pajak.
Maka tidak heran jika, di APBN 2024 pemerintah menetapkan belanja perpajakan sebesar Rp 374,5 triliun, tertinggi dalam lima tahun terakhir, justru setelah periode pandemi Covid-19 berakhir. Padahal, rasio pajak Indonesia pada 2023 hanya 10,21 persen, jauh lebih rendah dibandingkan dengan rasio pajak sebelum Reformasi 1998 yang rata-rata di atas 14 persen.
Coretax lahir dalam ruang dan situasi seperti itu. Sistem ini memang canggih: mampu mengintegrasikan data lintas sektor, memperkuat compliance risk management, serta mengefisienkan proses administrasi pajak. Namun, seperti pisau bedah, hasilnya bergantung pada siapa yang menggunakannya. Ketika ekosistem politik dan birokrasi tidak mendukung, coretax justru bisa menjadi instrumen mahal yang tak berdampak nyata.
Ditambah lagi bagaimana politik anggaran di Indonesia masih sangat elitis dan sentralistik. Dalam praktiknya, pembahasan anggaran cenderung tertutup dan berbasis transaksi kekuasaan. Pajak sebagai instrumen utama pembangunan justru tak mendapat dukungan politik yang kuat. Elite politik lebih senang mendebat alokasi belanja ketimbang membahas cara meningkatkan penerimaan secara berkeadilan.
Situasi ini membuat upaya reformasi perpajakan, termasuk sistem coretax, tidak mendapatkan dukungan kebijakan yang konsisten. Kementerian Keuangan dan Direktorat Jenderal Pajak seolah berjalan sendiri dalam proyek besar ini. Sementara itu, politisi di parlemen dan elite daerah sering kali pasif atau bahkan resistif, terutama saat reformasi menyentuh kelompok ekonomi tertentu yang memiliki pengaruh di lingkaran kekuasaan.
Selain itu, tantangan integritas dan kapasitas sumber daya manusia perpajakan juga masih mengemuka. Kasus-kasus pegawai pajak dengan gaya hidup mewah yang mencuat di publik memperlemah legitimasi moral lembaga pajak. Dalam kondisi ini, sebesar apa pun investasi pada teknologi tidak akan efektif jika tidak disertai transformasi kultur kelembagaan.
Apa yang bisa dilakukan?
Untuk itulah, sebagai bangsa yang roda pembangunan ekonominya sebagian besar ditopang dari pajak, kita harus melakukan berbagai langkah penting memperbaikinya. Pertama, pemerintah perlu menjadikan reformasi perpajakan sebagai agenda politik nasional yang tidak hanya ditopang oleh Kementerian Keuangan, tapi juga oleh presiden, parlemen, dan kepala daerah. Diperlukan konsensus nasional bahwa tanpa reformasi pajak yang berkeadilan dan kredibel, kita akan terus terjebak dalam jebakan pendapatan menengah.
Kedua, percepatan integrasi data lintas lembaga menjadi kunci. Koneksi antara coretax dengan sistem OSS, perbankan, fintech, dan sektor informal perlu diperkuat untuk membangun peta wajib pajak yang akurat dan menyeluruh.
Ketiga, penguatan SDM perpajakan mutlak dilakukan. Bukan hanya dalam hal literasi teknologi, tapi juga dalam aspek integritas, keberanian menindak pelanggaran, dan perlindungan hukum terhadap pegawai yang menjalankan tugasnya dengan benar.
Keempat, strategi komunikasi publik harus berubah. Pajak tidak bisa lagi dipresentasikan dalam bahasa teknokratis yang rumit dan kering. Ia harus dipahami sebagai kontribusi terhadap keadilan sosial dan pembangunan nasional, sebab sekitar 80 persen sumber penerimaan negara berasal dari pajak. Selain itu, membangun budaya sadar pajak tidak cukup dengan kampanye seremonial belaka, tapi butuh pendekatan partisipatif dan berbasis kepercayaan.
Dalam jangka panjang, kita tidak bisa berharap pada teknologi semata. Kita butuh keberanian politik untuk membenahi fondasi sistem adminstrasi perpajakan kita. Tanpa itu, coretax akan menjadi monumen digital yang sunyi: mahal, canggih, tapi gagal menjawab persoalan mendasar.
Ade Wiharso peneliti Inmind Intitute
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini