Ilustrasi : Hunian layak (salim hanzaz/istockphoto)
Rabu, 16 April 2025
Sudah 25 tahun Kosiman tinggal di kolong tol Rawa Bebek. Selama itu pula, Kosiman harus bergelut dengan segala kekumuhan dan risiko kebakaran yang terus mengintai setiap hari. Segala hal buruk itu harus Kosiman hadapi lantaran dia tidak mampu menyewa rumah yang lebih layak untuk ditempati.
“Pernah nyari (kontrakan) juga, tapi kan mahal. Kalau di sini kan enak, gratis. Paling cuma beli pikulan (air bersih),” ungkap lelaki berusia 61 tahun ini kepada reporter detikX beberapa pekan lalu.
Kosiman menyadari tempat tinggalnya yang sekarang ini tidak cukup layak. Namun, apa boleh dikata, penghasilannya sebagai pengemudi bajaj, yang hanya Rp 50-100 ribu per hari, hanya cukup untuk biaya makan anak dan istri.
Pernah sekali, Kosiman mendengar kabar dari seorang kawan ada kontrakan yang seharga Rp 250 ribu per bulan. Namun, ketika Kosiman datang untuk melihat, lokasinya berada dalam gang sempit.
“Nggak bisa naro bajaj. Istri kan juga mulung, gerobaknya itu kan juga butuh tempat. Warga juga menolak kan karena kumuh,” kata Kosiman.
Beberapa kali petugas dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta ingin merelokasi warga Kampung Rawa Bebek, termasuk Kosiman, ke Rumah Susun Rorotan, tetapi sampai hari ini rencana itu belum terlaksana. Kebanyakan warga Kampung Rawa Bebek juga menolak relokasi lantaran lokasinya terlalu jauh dari tempat mata pencaharian mereka.
Waktu itu, kata Kosiman, Pemprov DKI Jakarta hanya menawari mereka pindah, tapi tidak memberikan solusi apa-apa terkait penghasilan mereka. Warga Kampung Bebek sempat bernegosiasi agar direlokasi ke Kampung Susun Kerapu, yang tidak jauh dari tempat tinggal mereka. Namun hasil negosiasi ini tidak ada kabar sampai sekarang.
“Karena rusunawa itu kan kita harus bayar. Memang awalnya kan gratis enam bulan, tapi kan habis itu harus bayar. Kalau kita nggak ada penghasilan, nanti bayarnya gimana?” kata warga Jalan Rawa Bebek Utara, Penjaringan, Jakarta Utara, ini.
Ropi, warga Kampung Rawa Bebek lainnya, mengatakan hal serupa. Banyak dari warga Kampung Rawa Bebek, kata Ropi, yang sudah berupaya mencari rumah tinggal di tempat lain lantaran beberapa kali harus menghadapi pembongkaran yang dilakukan Pemprov DKI Jakarta.
Namun pencarian tempat tinggal layak bagi warga Kampung Rawa Bebek—yang kebanyakan bekerja sebagai pemulung—tidak mudah. Harga sewa rumah layak di Jakarta sudah amat tinggi. Ditambah, kebanyakan warga di kampung lainnya juga menolak para pemulung tinggal di kampung mereka lantaran dianggap kumuh dan bau.
Diskriminasi yang demikian itu juga yang membuat Ropi dan warga Kampung Rawa Bebek lainnya khawatir ketika Pemprov DKI Jakarta menawari mereka tinggal di rusunawa. Mereka cemas warga rusun nantinya juga akan menolak keberadaan mereka.
“Kalau pemerintah mau kita kasih kerjaan lain, misalnya supaya warga yang tinggal di rusun juga nggak resah sama kita, ya kita mau saja,” kata lelaki berusia 51 tahun ini.
Pencarian hunian layak di Jakarta, khususnya bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), memang bukan hal mudah. Selain harga sewa dan beli yang sudah terlampau tinggi, ketersediaan hunian layak di Jakarta memang amat terbatas.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2024 menunjukkan persentase rumah tangga yang memiliki akses terhadap rumah layak di Jakarta hanya sekitar 39 persen, terendah ketiga, setelah Papua dan Bangka Belitung.
Direktur Eksekutif Rujak Center for Urban Studies Elisa Sutanudjaja mengatakan angka itu bisa jauh lebih rendah jika BPS memasukkan aspek-aspek lain terkait hunian layak yang dirumuskan International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights (ICESCR), seperti keamanan tenurial, ketersediaan layanan dasar, keterjangkauan harga, kelayakan, aksesibilitas, kesesuaian lokasi, dan kesesuaian dengan budaya. Keamanan tenurial juga terkait rasa aman dari tindak diskriminasi.
Sementara itu, kriteria BPS dalam merumuskan hunian layak hanya berkutat pada aspek-aspek fisik, seperti kecukupan luas 7,2 meter persegi, akses terhadap air minum layak, akses terhadap sanitasi layak, dan ketahanan bangunan.
“Kalau ukurannya dengan aspek-aspek fundamental ICESCR, mungkin rusunawa belum bisa disebut layak. Karena di rusunawa itu kan penghuninya harus ‘suci’. Misalnya ada anaknya yang kena kasus hukum atau narkoba, itu langsung diusir,” terang Elisa melalui telepon.
Ahli tata kota Marco Kusumawijaya mengatakan, dengan kondisi yang sekarang ini, memiliki hunian layak bagi MBR di Jakarta terkesan hanya mimpi. Apalagi solusi yang diberikan pemerintah dalam upaya pemenuhan hak hunian layak ini masih terus berkutat pada solusi-solusi jadul.
Pemprov DKI Jakarta terus membangun rusunawa maupun rusun hak milik setiap tahun tetapi membiarkan mekanisme harga tanah ditentukan oleh pasar. Dengan demikian, kendati nantinya rusun semakin banyak, harga untuk sewa maupun pembeliannya akan semakin tidak terjangkau.
Dalam hal ini, menurut Marco, pemerintah dan Pemprov DKI Jakarta seharusnya menetapkan hunian sebagai hak asasi manusia (HAM). Dengan begitu, harga tanah dan rumah nantinya dapat diatur langsung pemerintah dan tidak lagi menjadi komoditas yang harganya cenderung melonjak gila-gilaan seperti sekarang ini.
Setelah itu, barulah Pemprov DKI Jakarta bisa membangun perumahan-perumahan sosial yang bisa ditempati warganya. Perumahan sosial tidak dapat dijual kepada pihak lain kecuali melalui badan yang dibentuk pemerintah dengan harga yang sudah ditetapkan.
“Seperti contoh di Singapura, itu ada badan yang namanya Housing Development Board, yang mengatur mekanisme harga jual atau sewa perumahan-perumahan sosial,” ungkap Marco.
Sekretaris Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman DKI Jakarta Meli Budiastuti mengakui upaya pemenuhan hak tempat tinggal yang layak memang masih terkendala keterbatasan lahan dan tingginya harga tanah di Jakarta. Situasi ini terus memberatkan anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD) dalam memberikan porsi anggaran untuk pembangunan rusunawa atau hunian layak lainnya.
Di samping itu, Pemprov DKI Jakarta terus terbebani oleh biaya penyediaan sumber daya manusia untuk pengelolaan dan pemeliharaan hunian pascapembangunan.
“Tingginya harga tanah ini juga menjadi penentu dalam penetapan harga jual bagi MBR yang akan berdampak pada tingginya harga jual per unit dari hunian vertikal dalam bentuk rumah susun,” kata Meli melalui pesan singkat.
Kendati demikian, saat ini Pemprov DKI Jakarta tengah merancang strategi baru dalam upaya pemenuhan hak hunian layak bagi MBR. Pemprov DKI Jakarta akan membangun hunian dengan model mixed-use dengan bangunan-bangunan lain yang sudah terbangun saat ini, seperti kantor kecamatan ataupun pasar.
Kajian untuk menentukan alternatif lokasi pembangunan hunian ini juga sudah mulai dikerjakan. Lokasi yang akan dipilih nantinya harus memiliki potensi strategis dan dinilai ‘seksi’ untuk mendukung kebutuhan masyarakat sekaligus mendongkrak nilai kawasan.
Sejumlah rapat koordinasi juga telah digelar untuk mematangkan perencanaan ini. Dalam tahap awal, prioritas pelaksanaan akan menggunakan aset milik Pemprov DKI Jakarta meskipun, kata Meli, bakal diperlukan waktu lebih lama untuk memproses penghapusan aset dalam pelaksanaan pembangunan hunian vertikal tersebut.
Dengan demikian, diharapkan kendala tingginya harga dan keterbatasan lahan untuk pemenuhan hunian layak di Jakarta dapat terselesaikan.
“Pola pendanaan juga tengah dibahas. Mengingat keterbatasan anggaran internal DKI Jakarta, diharapkan peran aktif dari pihak swasta untuk mendukung pendanaan dan pelaksanaan pembangunan hunian vertikal tersebut,” pungkas Meli.
Reporter: Fajar Yusuf Rasdianto
Penulis: Fajar Yusuf Rasdianto
Editor: Dieqy Hasbi Widhana
Desainer: Fuad Hasim