Jakarta -
Suatu kenyataan yang tak bisa dipungkiri oleh siapapun, setiap kali musim hujan tiba, masyarakat seperti menonton film lama yang diputar ulang. Banjir datang, warga menderita, pejabat turun ke lokasi dengan wajah prihatin, lalu foto, membuat video untuk konten, berita tayang, janji solusi-solusi diumbar. Tapi tahun berikutnya, apa yang berubah? Tidak ada. Banjir tetap ada, penderitaan rakyat tetap sama, dan yang pasti pencitraan tetap jalan.
Banjir (terutama di Jabodetabek), sudah terjadi bertahun-tahun, tapi mengapa solusi permanen tak pernah ada? Ajaibnya, pejabat terus datang "seolah kaget" dengan fenomena banjir yang sebenarnya sudah mereka tahu akan terjadi. Sidak ke lokasi banjir hanyalah ritual wajib bagi pejabat. Setelah itu? Tidak ada kebijakan konkret, hanya berita yang menggambarkan "mereka pemimpin yang peduli". Padahal, rakyat butuh solusi komprehensif supaya tahun-tahun depan tidak kebanjiran lagi.
Bukan Sekadar Faktor Geografi
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Tidak bisa dipungkiri, secara geografis, Jakarta dan sekitarnya memang rentan banjir. Kota ini berada di dataran rendah dengan lebih dari 13 sungai dan mengalir dari hulu di Bogor dan sekitarnya. Saat hujan deras turun di kawasan Puncak dan Depok, air dengan cepat mengalir ke hilir, memperparah potensi banjir di Jakarta, Bekasi, dan Tangerang.
Jakarta sebagian berada di permukaan laut, terutama di bagian utara. Sungai-sungai yang ada seringkali tidak mampu menampung limpahan air hujan dari wilayah hulu, menyebabkan luapan ke pemukiman warga. Ini masih diperparah dengan perilaku masyarakat yang mengakibatkan pendangkalan sungai. Hujan deras di wilayah Bogor, Depok, dan sekitarnya yang mengalirkan air hujan ke Jakarta dan juga Bekasi menjadi salah satu penyebab utama terjadinya banjir. Jika terjadi hujan lokal dengan curah hujan yang tinggi dengan intensitas yang lama, banjir rob di wilayah Jakarta Utara yang semakin tinggi, maka "lengkaplah" sudah penderitaan masyarakat Jakarta dan Bekasi.
Namun, masalahnya bukan sekadar faktor geografis. Kota-kota besar lain di dunia juga menghadapi risiko serupa; tengoklah Jepang, Belanda, mereka mampu mengatasinya. Jadi, mengapa banjir di Jakarta dan juga Bekasi dan wilayah sekitarnya tetap terjadi berulang kali?
Penyebab utama banjir di Jakarta, Bekasi, dan sekitarnya adalah terjadinya pendangkalan dan penyempitan sungai akibat sedimentasi dan pembangunan di bantaran sungai yang mengakibatkan kapasitas aliran air berkurang. Deforestasi di hulu, pembangunan vila dan bangunan tempat wisata di kawasan Puncak mengurangi kemampuan tanah menyerap air hujan, meningkatkan aliran air permukaan yang menuju ke hilir. Urbanisasi dan alih fungsi lahan, perubahan lahan hijau menjadi area terbangun lagi-lagi mengurangi resapan air, meningkatkan volume air yang langsung masuk ke sistem drainase. Drainase yang tidak memadai dan juga tidak dirawat menjadikan air hujan tersumbat dan mengakibatkan genangan air.
Variabel penyebab banjir yang tak kalah penting untuk kita bahas adalah masalah sampah dan limbah industri. Sudah mafhum bahwa perilaku masyarakat membuang sampah ke sungai. Jakarta saja menghasilkan 7,500 ton sampah per hari, dengan sebagian besar tidak terkelola dengan baik. Belum lagi limbah industri yang membuang sisa produksi langsung ke sungai, atau ditumpuk tanpa pengolahan yang memadai. Selain beracun juga menyebabkan endapan lumpur dan sedimentasi.
Tentu kita mengapresiasi kebijakan berani Gubernur DKI Soetiyoso kala itu yang membangun Banjir Kanal Timur (BKT) dengan panjang sekitar 23,5 kilometer dan lebar kanal bervariasi antara 75 - 100 m, yang dirancang untuk mengalirkan kelebihan air dari sungai-sungai seperti Cipinang, Sunter, Buaran, Jati Kramat, Cakung langsung ke laut, dengan tujuan mengurangi resiko banjir di wilayah tersebut.
Tentu masyarakat Jakarta berharap, ketika BKT selesai dibangun Jakarta Timur dan Utara akan terbebas dari banjir. Tapi, apakah kenyataannya demikian? Nyatanya, setiap musim hujan, kita masih melihat kawasan Jakarta, Bekasi, dan sekitarnya tetap terendam. Hal ini karena BKT hanya limpasan air dari sungai besar, tetapi tidak mengatasi genangan akibat buruknya tata kelola lingkungan, sampah-sampah yang menyumbat drainase kurangnya area resapan air yang membuat banjir makin parah. Artinya, BKT bukanlah solusi segala-galanya. Ia menjadi bagian dari sistem pengendalian banjir yang seharusnya diperkuat dengan langkah-langkah lain.
Rencana Komprehensif
Tentu pemerintah telah memiliki rencana komprehensif untuk menangani banjir melalui strategi jangka pendek, jangka menengah, dan jangka panjang. Jangka pendek misalnya, pemerintah melalui Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) dan TNI Angkatan Udara melakukan teknologi modifikasi cuaca untuk mengurangi intensitas hujan yang masuk di wilayah Jakarta dan sekitarnya.
Selain itu juga ada rencana pembangunan polder di wilayah rawan banjir untuk mengendalikan dan mengelola air permukaan, sehingga dapat mencegah genangan berlebihan, serta pembangunan tanggul pengaman rob di area Kamal Muara, Muara Baru, Kalibaru, Martadinata, dan Muara Angke untuk mencegah banjir akibat kenaikan air laut.untuk jangka menengah.
Pemerintah juga sudah menyiapkan program optimalisasi sistem drainase, pembangunan waduk dan kolam di wilayah hulu untuk menampung air hujan sebelum mengalir ke wilayah hilir, serta normalisasi dan naturalisasi sungai untuk meningkatkan kapasitas tampung dan memperbaiki ekosistem sungai.
Sedangkan untuk jangka panjang pemerintah juga berencana membangun Tanggul Laut Raksasa sebagai bagian dari Proyek National Capital Integrated Coastal Development untuk secara jangka panjang melindungi Jakarta dari banjir rob dan kenaikan permukaan air laut.
Selain itu dalam jangka panjang pemerintah akan melakukan penataan tata ruang dan pengendalian alih fungsi lahan untuk memastikan area resapan air tetap terjaga dan pembangunan tidak terjadi di daerah rawan banjir. Dan, pengembangan infrastruktur hijau seperti taman kota, hutan kota, dan area resapan air.
Apakah program-program tersebut cukup untuk mengurangi atau bahkan mencegah banjir dalam jangka panjang? Lalu, bagaimana dengan masalah sampah dan limbah industri yang jumlahnya sangat besar dan secara nyata telah berkontribusi besar untuk menyebabkan terjadinya banjir dan mencemari lingkungan?
Diperlukan pendekatan baru dalam pengolahan sampah rumah tangga dan limbah Industri baik B3 maupun non B3. Pemerintah harus melibatkan pihak swasta dalam pengolahan sampah dan limbah industri, dengan penyerapan limbah secara besar-besaran, bukan hanya sebatas kajian-kajian dan jurnal ilmiah yang sulit diimplementasikan.
Solusi inovatif, ekonomis, dan ramah lingkungan yang kami usulkan adalah menjadikan sampah-sampah non organik dan limbah Industri untuk dijadikan bahan campuran beton (sebagai filler). Material ini dapat digunakan untuk mendukung perbaikan infrastruktur jalan di gang-gang dan kampung-kampung, tidak hanya di Jakarta tetapi juga di wilayah lain, memproduksi beton pracetak U-ditch dan gorong-gorong untuk perbaikan drainase, memproduksi paving block, kanstin, pagar untuk trotoar, dan taman-taman.
Inisiatif ini sejalan dengan kebijakan ekonomi sirkular mendukung pembangunan berkelanjutan yang lebih hemat biaya, ramah lingkungan, dan upaya dekarbonisasi di sektor konstruksi, menciptakan nilai tambah bagi masyarakat, dan yang tak kalah penting menciptakan lapangan kerja baru dalam pengolahan sampah dan limbah industri di seluruh wilayah negeri.
Abdullah Hasan, Ir, CPD konsultan pengolahan sampah dan limbah industri
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu