Kasak-Kusuk Kemunculan Indonesia Airlines

19 hours ago 3

Jakarta -

Minggu ini saya dikagetkan pemberitaan di beberapa media online soal akan beroperasinya maskapai penerbangan baru milik orang Indonesia yang bermukim di Singapura (katanya). Saya cukup terkejut karena di tengah perekonomian dunia dan Indonesia yang tertekan, masih ada yang mau investasi di maskapai penerbangan baru. Bisnis maskapai adalah bisnis cash flow. Artinya bohir harus punya banyak uang tunai.

Indonesia Airlines (IA) memang masih belum jelas asal muasalnya. Apakah terdaftar di Singapura atau di Indonesia, meski namanya Indonesia Airline. Sontak saya langsung berdiskusi dengan pejabat di Kementerian Perhubungan dan beberapa kawan senior di industri penerbangan untuk mencari tahu bentuk dan ujud IA.

Kesimpulan awal, kemungkinan memang CEO dan investornya (sebagian) orang Indonesia yang bermukim dan berbisnis di Singapura. Jadi dalam pikiran saya pasti maskapai tersebut terdaftar di Singapura (kode 9V) bukan di Indonesia (kode PK), tetapi di pemberitaan disampaikan akan beroperasi dari Bandara Soekarno Hatta. Jadi memang membingungkan, mengingat kalau menggunakan nama IA, harusnya secara kultural berdomisili di Indonesia.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Mengingat industri penerbangan Indonesia sedang "semaput", saya surprise dengan munculnya IA dan yang lebih surprise soal jati dirinya tadi. Sementara ada maskapai baru bernama BBN yang belum genap satu tahun usianya, sudah tidak beroperasi lagi saat ini. Tentu juga karena atmosfer bisnis usaha penerbangan di Indonesia belum kondusif, terbukti intervensi pemerintah terkait tarif dan pajak sangat menghambat pertumbuhannya. Padahal sejak awal 2000-an soal tarif penerbangan sudah dilepas ke publik, pemerintah (Kementerian Perhubungan) hanya mengatur Tarif Batas Atas (TBA) saja.

Kondisi tersebut tentunya sangat mengganggu investor. Sehingga saya langsung kontak Direktorat Jenderal Perhubungan Udara Kementerian Perhubungan untuk menanyakan apakah IA yang katanya didirikan oleh Calypte Holding Pte. Ltd Singapura dan didirikan oleh Iskandar, seorang pengusaha asal Aceh itu, memang sudah atau sedang mengajukan izin ke pemerintah Indonesia? Jawabannya, belum.

Jangan Dulu Bergembira

Dari penelusuran di media sosial dan riset kecil, bertanya sana-sini, dan berdiskusi dengan "kaum paham", saya dapat simpulkan beberapa hal yang dapat kita bahas lebih lanjut, tidak hanya melalui penulisan artikel ini.

Pertama, pendirian perusahaan dengan brand atau nama Indonesia tetapi berizin di negara lain dan hub atau berpangkalan di Indonesia (CGK) boleh-boleh saja asal sesuai dengan peraturan perundangan di Indonesia (UU No. 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan dan turunannya), dengan rute terbang internasional. Namun perlu ada kajian yang mendalam, khususnya yang terkait dengan kepemilikan saham, dampak bisnis bagi maskapai domestik, efek cabotage, dan berbagai peraturan perpajakannya. Ini penting supaya ada keadilan usaha di industri penerbangan Republik Indonesia.

Kedua, kita perlu memastikan terkait perizinan dari IA. Berdasarkan Holding Statement Dirjen Perhubungan - Kementerian Perhubungan (DJU) tanggal 10 Maret 2025, sampai tanggal tersebut DJU belum pernah menerima pengajuan perizinan ataupun permohonan terkait pendirian dan operasional perusahaan angkutan udara niaga berjadwal dengan nama IA.

Sesuai dengan Peraturan Menteri Perhubungan (PM) No. 35 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Angkutan Udara, setiap badan usaha yang akan menjalankan kegiatan angkutan udara niaga berjadwal di Indonesia wajib memiliki Sertifikat Standar Angkutan Udara Niaga Berjadwal dan Sertifikat Operator Pesawat Udara yang disebut Air Operator Certificate (AoC). Selain itu sesuai dengan PM Perhubungan No. 33 Tahun 2022 tentang Peraturan Keselamatan Penerbangan Sipil Bagian 119 tentang Sertifikasi pengoperasian Pesawat Udara untuk Kegiatan Angkutan Udara yang akan diterbitkan oleh DJU setelah memenuhi seluruh persyaratan administrasi, teknis, dan operasional yang telah ditetapkan. Sejauh ini IA belum mengajukan dan memenuhi persyaratan tersebut.

Ketiga, jika benar rencana IA akan terpusat (hub) di Bandara Soekarno-Hatta (CGK) dan berizin di Singapura dengan kode 9V, bukan PK (kalau register di Indonesia) dengan rute penerbangan dari CGK ke luar negeri boleh saja karena maskapai asing dilarang menerbangi kota kota di Indonesia secara langsung karena itu unsur cabotage. Untuk melakukan penerbangan internasional, IA harus mempunyai izin yang disebut Right 7 (hak angkut) dari International Civil Aviation Organization (ICAO). Right 7 merupakan hak operasi penuh di negara lain, yaitu hak bagi maskapai untuk mengoperasikan penerbangan antara dua negara (misalnya antara Indonesia - Thailand) tanpa harus kembali atau mendarat ke negara asalnya (Singapura).

Sayangnya menurut DJU, hak angkut antarnegara ASEAN saja baru sampai Right 5 yang dapat dipertukarkan antarnegara ASEAN, belum Right 6 dan Right 7. Untuk dapat menggunakan Right 7, pihak Singapura sebagai pemberi izin operasi harus membuat permohonan ke negara yang akan diterbangi secara Internasional oleh IA, termasuk Indonesia.

Keempat, publik jangan dulu bergembira karena akan muncul maskapai dengan nama IA yang seolah-olah perusahaan nasional tetapi rasa asing yang membanggakan karena menggunakan nama Indonesia. Lalu publik Indonesia berharap IA akan menjual tiketnya murah. Sebuah anggapan yang tidak masuk akal karena era Low Cost Carrier (LCC) di dunia sudah nyaris punah yang disebabkan oleh tingginya harga suku cadang, avtur, biaya gaji dan sebagainya, apalagi di tengah resesi dunia saat ini. Belum lagi nilai rupiah yang terus merosot.

Secara intuisi, saya meragukan kehadiran IA karena berdasarkan searching di internet dan berbagai sumber lain ditemukan Calypte Holding Pte. Ltd. adalah sebuah perusahaan holding dengan bisnis utama di antaranya energi. Lalu dari data di dunia maya ada nama RBM seorang putra pejabat Indonesia, sebagai Chief Advisor/President Commissioner. Namun saya belum berhasil mencari susunan pengurus Calypte Holding Pte. Ltd Singapore.

Langkah Pemerintah

Sampai hari ini, IA belum jelas strategi operasi dan proses perizinannya. Apakah di Singapura (9V) atau di Republik Indonesia (PK). Kalau Right 7 belum diperjanjikan di ASEAN atau negara lain di luar ASEAN, maka yang akan dilakukan IA hanya menggunakan Right 3 (hak maskapai untuk mengangkut penumpang dan kargo dari negaranya ke negara lain) atau Right 4 (hak maskapai mengangkut penumpang dan kargo dari negara asing kembali ke negara asal maskapai) atau Right 5 (hak maskapai untuk mengangkut penumpang dan kargo antara dua negara asing, asalkan penerbangan dimulai atau berakhir di negara asal maskapai).

Jadi soal Right ini harus dipastikan di mana asal IA dan juga IA belum dapat menggunakan Right 7 dengan melakukan penerbangan Internasional dari CGK ke negara lain kalau belum ada kesepakatan atau perjanjian dengan negara asal dengan negara tujuan IA. Jadi publik Indonesia jangan berharap banyak dulu akan dapat tiket penerbangan murah dengan pelayanan kelas sultan.

Agus Pambagio pemerhati kebijakan publik dan perlindungan konsumen

(mmu/mmu)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial