Jakarta -
Wacana mengembalikan pemilihan kepala daerah (pilkada) ke DPRD memancing perdebatan. Di satu sisi, ini disebut sebagai solusi untuk menekan biaya politik dan menyingkirkan politik uang. Namun, apakah benar jalan pintas ini sebanding dengan harga yang harus dibayar? Bagi demokrasi Indonesia, langkah ini justru berisiko menjadi kemunduran besar yang mencederai hak rakyat.
Sistem pilkada langsung pertama kali diterapkan pada 2005 sebagai bagian dari reformasi demokrasi pasca-1998. Tujuannya adalah memperkuat hubungan antara pemimpin daerah dan masyarakat melalui mekanisme partisipatif. Rakyat diberi hak penuh untuk menentukan siapa yang layak memimpin daerahnya.
Namun, sistem ini tidak luput dari kritik. Tingginya biaya penyelenggaraan pilkada langsung menjadi beban, baik bagi pemerintah maupun kandidat. Pemerintah menganggarkan hingga Rp 15 triliun untuk Pilkada Serentak 2020, sementara kandidat sering mengeluarkan dana kampanye hingga miliaran rupiah. Biaya tinggi ini memicu munculnya praktik politik uang, seperti yang tercatat oleh Bawaslu dengan lebih dari 600 kasus politik uang selama Pilkada 2020.
Meski demikian, sebelum menyimpulkan bahwa pilkada langsung adalah akar masalah, kita perlu menimbang risiko dari alternatif yang diusulkan, yakni mengembalikannya ke DPRD.
Risiko Pemilihan oleh DPRD
Kembali ke sistem pemilihan kepala daerah oleh DPRD justru membuka ruang baru bagi persoalan yang lebih serius, seperti; pertama, hak rakyat dihilangkan. Pilkada langsung adalah simbol demokrasi partisipatif. Dengan sistem ini, rakyat diberi hak untuk menentukan masa depan daerah mereka sendiri. Mengembalikan mekanisme ke DPRD berarti menyerahkan kendali itu ke tangan segelintir elite. Demokrasi akan berubah menjadi elitis, meninggalkan rakyat sebagai penonton dalam proses politik yang seharusnya mereka miliki.
Kedua, potensi korupsi meningkat. Pemilihan melalui DPRD telah terbukti menjadi ladang korupsi di masa lalu. Salah satu kasus yang terkenal adalah pemilihan Bupati Morotai pada 2011, di mana anggota DPRD menerima suap untuk memenangkan kandidat tertentu. Hal ini bukan pengecualian; laporan Transparency International Indonesia menunjukkan bahwa transaksi politik dalam pemilihan di DPRD sering terjadi, mengikis kepercayaan masyarakat terhadap integritas lembaga tersebut.
Ketiga, kemunduran demokrasi lokal. Mengembalikan pilkada ke DPRD akan menciptakan jarak antara rakyat dan pemerintah daerah. Kepala daerah yang terpilih mungkin merasa lebih bertanggung jawab kepada DPRD daripada kepada masyarakat. Akibatnya, kebijakan yang dihasilkan cenderung lebih berpihak kepada elite politik daripada kepentingan publik.
Alternatif Solusi untuk Pilkada Langsung
Alih-alih menghapus pilkada langsung, reformasi sistem ini bisa menjadi solusi yang lebih baik. Berikut beberapa langkah yang dapat dilakukan; pertama, menekan biaya kampanye. Biaya kampanye sering menjadi alasan utama praktik politik uang. Pemerintah dapat menyediakan platform kampanye digital gratis atau memberikan ruang iklan di media pemerintah untuk semua kandidat. Contoh sukses adalah negara seperti India, yang memanfaatkan media daring untuk kampanye dengan biaya rendah.
Kedua, pengawasan ketat terhadap politik uang. Penguatan koordinasi antara Bawaslu, KPK, dan masyarakat sipil diperlukan untuk memberantas politik uang. Penggunaan teknologi seperti laporan digital oleh warga dapat meningkatkan pengawasan partisipatif dan mengurangi celah bagi pelanggaran.
Ketiga, pendidikan politik yang lebih baik. Kesadaran politik masyarakat perlu ditingkatkan agar mereka memilih berdasarkan program dan rekam jejak, bukan imbalan materi. Program pendidikan ini bisa dimulai dari tingkat sekolah hingga kampanye di media sosial yang menarik bagi generasi muda.
Keempat, pemangkasan prosedur administrasi dengan teknologi. Biaya penyelenggaraan pilkada juga bisa ditekan dengan memanfaatkan teknologi, seperti e-voting. Brasil telah menggunakan e-voting sejak 1996 dan berhasil mengurangi biaya logistik secara signifikan. Indonesia bisa mengadaptasi teknologi ini untuk skala lokal secara bertahap.
Mengapa Pilkada Langsung Harus Dipertahankan?
Pilkada langsung memang memiliki tantangan, tetapi itu adalah harga yang wajar untuk sebuah demokrasi yang partisipatif. Sistem ini memungkinkan rakyat untuk memiliki suara dalam memilih pemimpin mereka, sebuah hak yang tidak boleh dikompromikan.
Mengembalikan pilkada ke DPRD bukanlah solusi yang bijak. Justru, itu adalah langkah mundur yang mencederai semangat reformasi dan membatasi peran rakyat dalam proses politik. Kita tidak boleh mengorbankan hak dasar ini demi efisiensi semu yang justru membuka celah bagi korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan.
Pilkada langsung adalah salah satu tonggak demokrasi lokal yang telah memperkuat keterlibatan masyarakat dalam politik. Daripada menyerah pada tantangan yang ada, kita harus memperbaiki sistem ini dengan inovasi dan pengawasan yang lebih baik.
Hak rakyat untuk memilih pemimpin adalah warisan reformasi yang harus kita jaga bersama. Sebagai bangsa yang bangga dengan semangat demokrasinya, Indonesia harus menolak wacana kembali ke DPRD dan terus melangkah maju menuju demokrasi yang lebih matang. Mari kita pastikan bahwa demokrasi tetap menjadi milik rakyat, bukan segelintir elite politik.
Tardi Setiabudi dosen Ilmu Administrasi Negara Universitas Setia Budhi Rangkasbitung
(mmu/mmu)