Menengok Kompetisi Berebut Citra Para Menteri

1 month ago 25

Jakarta -

Seorang prajurit bertarung mati-matian di medan perang. Lawannya bukan sembarangan-panglima Viking yang ditakuti. Setelah pertarungan sengit, sang prajurit menang. Tapi sebelum kabar kemenangannya sampai ke telinga raja, seorang bangsawan licik datang mengambil senjata sang musuh yang telah mati, lalu bergegas menghadap raja.

Kisah ini ada dalam The Last Kingdom, saat Odda Muda merebut kejayaan Uhtred dengan mengklaim telah membunuh Ubba. Dengan membawa kapak Ubba ke Raja Alfred, Odda mendapat kehormatan, sementara Uhtred, petarung sesungguhnya, diabaikan.

Bukankah ini juga mencerminkan apa yang sedang terjadi dalam politik Indonesia hari ini? Sejak Prabowo memberi sinyal reshuffle, para menteri berlomba menampilkan citra terbaik. Bukan dengan kerja nyata, melainkan lewat angka-angka survei yang dipajang di media. Seperti Odda Muda yang merebut kehormatan Uhtred, para menteri kini sibuk berebut reputasi di mata presiden.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Manuver Politik di Tengah Ancaman Reshuffle

Sejumlah survei tiba-tiba bermunculan. Beberapa lembaga menobatkan sejumlah pejabat sebagai yang berkinerja terbaik, sementara ada yang disebut memiliki tingkat kepuasan publik tinggi meski baru menjabat lebih dari 100 hari.

Tapi, seberapa banyak rakyat yang benar-benar tahu siapa mereka? Berapa yang bisa menyebutkan nama dan tugas mereka dengan benar? Lebih menarik lagi, apresiasi terhadap menteri sering datang dari kolega mereka sendiri. Misalnya, seorang pejabat yang mendapat pujian justru dari orang yang berasal dari lingkaran politiknya sendiri. Sulit menepis kesan bahwa ini lebih sebagai strategi politik ketimbang penilaian objektif.

Para menteri paham bahwa dalam politik, persepsi adalah segalanya. Mereka tahu posisi mereka tidak hanya bergantung pada kinerja, tetapi juga bagaimana mereka terlihat di mata presiden. Apalagi Prabowo sudah memberi peringatan: "menteri yang tak bisa mengikuti arahan akan diganti!"

Maka, manuver dimulai. Ada yang sibuk sidak sembako dan LPG 3 kg ke pasar, ada pula yang muncul dalam program makan gratis. Ini bukan kebetulan-ini strategi mempertahankan kursi.

Meski demikian, dalam birokrasi, reputasi bukan sekadar harga diri, tapi modal politik. Maka, membangun citra di mata atasan jauh lebih penting ketimbang sekadar menyelesaikan tugas administratif.

Seperti yang dijelaskan Daniel P. Carpenter dalam Reputation and Power (2010), individu dalam birokrasi tidak hanya bekerja untuk rakyat, tetapi juga untuk mempertahankan pengaruh dan legitimasi di dalam sistem. Penilaian publik atau kerap disebut juga sebagai Approval rating bisa menjadi tameng dari reshuffle, bahkan jika kinerja mereka tak mengesankan.


Tapi ada perbedaan antara legitimasi dari kerja nyata dan legitimasi semu dari pencitraan. Menteri yang hanya mengandalkan survei untuk bertahan sebenarnya tidak sedang bekerja untuk rakyat, melainkan untuk dirinya sendiri-agar tetap dipercaya presiden.

Dilema Prabowo

Merombak kabinet bukan sekadar mengganti menteri yang dinilai kurang kompeten, tetapi juga menjaga keseimbangan politik. Menteri yang dianggap baik oleh publik belum tentu dipertahankan, sementara yang dianggap buruk belum tentu disingkirkan. Ada pertimbangan lebih besar: stabilitas pemerintahan.

Contohnya, ada seorang pejabat, posisinya juga sebagai "Jendral Partai" yang dalam survei dinilai memiliki citra kurang baik. Secara logika, ia seharusnya menjadi yang pertama dicopot. Tapi politik tidak sesederhana itu.

Jika pejabat ini memiliki keterkaitan dengan partai besar di parlemen. Mengganti sosok "Jendral Partai" ini bukan sekadar mengganti satu menteri, tapi berisiko memicu ketegangan dengan partai tersebut.

Axelrod dalam Conflict of Interest: A Theory of Divergent Goals with Applications to Politics mengajarkan, bahwa dalam koalisi, pertimbangan utama bukan hanya elektabilitas-atau saya tambahkan juga approval rating, tetapi juga stabilitas jangka panjang. Jika Prabowo gegabah mengganti tokoh seperti "Jendral Partai", ada risiko partai yang bersangkutan merasa tersingkir dan mulai bersikap lebih agresif, bahkan membuka opsi menjadi oposisi.

Karena itu, reshuffle lebih mungkin terjadi pada menteri tanpa dukungan politik kuat-mereka yang tidak punya partai atau daya tawar tinggi di parlemen. Sosok yang tidak membawa kekuatan politik lebih besar tentu lebih mudah dicopot dibandingkan mereka yang memiliki pengaruh kuat dalam partai besar.

Ibarat Perahu Berlayar

Kabinet Prabowo masih baru, ibarat perahu yang baru saja meninggalkan dermaga. Ombaknya masih besar, kapal masih terombang-ambing. Beda cerita nanti, ketika kapal sudah sampai di tengah laut yang lebih tenang, asal tidak ada badai. Saat itulah, Prabowo bisa lebih leluasa menyingkirkan awak kapal yang tak bisa mengikuti arah haluan politiknya.

Inilah dilema besar yang dihadapinya: mempertahankan menteri demi stabilitas atau mengganti mereka demi kinerja yang lebih baik menurut survei kepuasan publik?

Yang jelas, rakyat tidak hanya menunggu reshuffle, tapi juga ingin melihat hasil nyata. Jika perombakan kabinet hanya sekadar permainan politik tanpa perubahan berarti, yang dipertaruhkan bukan hanya para menteri, tapi juga kepercayaan terhadap kepemimpinan Prabowo sendiri.

Nurul Fatta. Konsultan Politik di Politika Research and Consulting.

(rdp/rdp)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial