Pemerintahan Prabowo Subianto menetapkan beberapa program kebijakan yang mengulang program kebijakan pada era pemerintahan Orde Baru. Beberapa program kebijakan yang akan segera di-launching antara lain Koperasi Desa Merah Putih, Sekolah Rakyat, hingga multifungsi tentara di jabatan pemerintahan sipil. Yang telah dilaksanakan meski penuh polemik adalah program Makan Bergizi Gratis.
Program Koperasi Desa Merah Putih menyerupa dengan program Koperasi Unit Desa (KUD) yang pernah menjadi ikon program pembangunan ekonomi era 70-an. Koperasi Desa Merah Putih akan dibentuk di 70 ribu desa dengan anggaran mencapai Rp 350 Triliun yang dibebankan pada Dana Desa. Desa dipaksa berutang kepada Himpunan Bank Negara (Himbara) sekitar Rp 5 miliar untuk menyiapkan sarana-prasarana, dan mengangsurnya setiap tahun.
Program Sekolah Rakyat, dengan leading sector Kementerian Sosial, akan didirikan di 53 lokasi dengan anggaran per unit sekolah mencapai angka Rp 100 miliar. Sekolah rakyat diperuntukkan untuk anak-anak dari keluarga miiskin yang difasilitasi pendidikan gratis di asrama. Konsep init jelas meniru sekolah rakyat pada era kekuasaan Hindia Belanda dan Orde Lama.
Upaya mendorong peran militer aktif dalam jabatan organisasi pemerintahan sipil dicoba didesakkan dengan percepatan revisi RUU TNI dan pengesahannya oleh DPR yang mayoritas dikuasai partai pendukung pemerintahan Prabowo. Mendorong tampilnya tentara aktif di panggung pemerintahan mengulang implementasi Dwifungsi ABRI pada era Orde Baru yang konsepsinya dirumuskan oleh A.H Nasution dalam terminologi politik Jalan Tengah Tentara.
Pengulangan program kebijakan pemerintahan sebelumnya memang tidak salah dan rasional jika program kebijakan memiliki tingkat keberhasilan dan kebermanfaatan bagi masyarakat dan berkelanjutan. Bukan program kebijakan yang gagal membawa kesejahteraan bagi masyarakat.
Program KUD terbukti gagal menjadi lokomotif perekonomian perdesaan meski di-support penuh oleh negara (pemerintah) dengan subsidi, hibah sarana dan prasarana, permodalan, dan privilese dalam distribusi beras dan gula. KUD tumbang satu per satu pada era liberalisasi ekonomi dan banyak kasus korupsi yang menjerat pengelolanya.
Model sekolah rakyat yang berakhir saat awal kekuasaan Orde Baru juga gagal menjadi solusi pendidikan non diskriminasi. Sekolah Rakyat memang disiapkan bukan untuk pengembangan pendidikan bagi seluruh masyarakat, melainkan dibentuk karena politik diskriminasi pemerintah kolonial Belanda. Dwifungsi ABRI? Jelas membuat rusaknya sistem dan tata kelola kenegaraan. Menciptakan kekuasaan yang otoritarian yang melemahkan kontrol masyarakat sipil. Menjadikan tentara yang konsep utamanya sebagai penjaga kedaulatan dan eksistensi negara berpedoman konstitusi menjadi penjaga kepentingan kekuasaan.
Repetisi program kebijakan pemerintahan lama yang sudah out to dated (using) hanya akan membuang sia-sia anggaran negara. Anggaran ratusan triliun berpotensi hanya menciptakan monumen. Koperasi Desa Merah Putih jelas overlapping dengan fungsi dan peran Badan Usaha Milik Desa dan secara legal konstitusional bertentangan dengan UU Koperasi. Koperasi dibentuk anggota, bukan oleh pemerintah desa, apalagi dipaksa dibentuk oleh kekuasaan. Sekolah Rakyat menegasikan peran subsisten sekolah sekolah yang telah ada dan berfungsi dalam mencerdaskan masyarakat. Dwifungsi Tentara lebih jauh akan menciptakan ketimpangan dalam meritokrasi birokrasi pemerintahan sipil.
Pengulangan program kebijakan adalah penanda bahwa pemerintahan saat ini tidak memiliki program unggulan yang berbasis riset partisipatif untuk melayani kebutuhan subjektif masyarakat. Program kebijakan harusnya melalui telaah yang rasional dan memiliki arah yang sejalan dengan skema pemberdayaan masyarakat.
Menciptakan program kebijakan hendaknya didasari kesadaran inovasi program yang esensinya untuk kepentingan masyarakat dan bukannya kepentingan proyek anggaran. Perlu dipikirkan keberlanjutan pasca periode pemerintahan berakhir. Jangan sampai sekadar pencitraan yang memboroskan anggaran negara.
Program kebijakan yang mengulang program kebijakan pemerintahan sebelumnya harus berdasarkan kalkulasi risiko keberhasilan dan menyesuaikan dengan realitas zaman. Program yang benar benar sesuai dengan arah visi kemajuan bangsa untuk menuju Indonesia emas.
Pemimpin dan politisi yang memiliki peran dan otoritas dalam menetapkan program kebijakan harus memiliki proyeksi dan idealism gagasan yang bisa dijelaskan tahapan dan target keberhasilannya. Benar-benar berpihak pada kepentingan masyarakat dan bukan sekadar pencitraan untuk sekadar keberhasilan di angka statistik.
Pengulangan program kebijakan harus serius menggunakan piranti penelitian ilmiah yang menggunakan metodologi partisipatif. Lebih cerdas jika merumuskan program kebijakan baru yang menjamin keberhasilan dalam konteks geopolitik ekonomi saat ini.
Trisno Yulianto Koordinator Forum Demokrasi Deliberasi