Jakarta -
Awal tahun selalu menjadi waktu yang riuh bagi remaja yang lulus SMA dan akan memasuki Perguruan Tinggi. Suka cita dituangkan dalam beragam ekspresi, mulai dari kegiatan keagamaan hingga pesta perpisahan. Suatu masa yang mencirikan para remaja ini akan memilih jalan hidupnya. Ada yang memilih bekerja untuk meringankan beban keluarga atau menjadikan menikah sebagai pilihan yang harus diambil dengan segala risiko yang mengiringinya.
Tapi tidak sedikit pula yang mengejar citanya hingga dengan mengadu nasib kuliah di tingkat universitas. Fase Seleksi Nasional Berbasis Prestasi (SNBP) baru saja usai. Sekarang calon mahasiswa juga dibingungkan dengan tahapan seleksi yang bernama Seleksi Nasional Berbasis Tes (SNBT). Merunut publikasi dari Pangkalan Data Pendidikan Tinggi pada 2023 setidaknya ada 4.523 unit perguruan tinggi dengan 31.399 program studi yang bisa dipilih. Pertanyaan yang muncul selanjutnya, di program studi atau jurusan apa mereka akan berkuliah?
Muncul suatu kebingungan di benak anak muda untuk memilih mau menjadi apa mereka nantinya. Jika membuka website tiap universitas terhampar puluhan program studi yang tentu saja semakin membingungkan terhadap pilihan yang harus diambil oleh para mahasiswa. Program studi seperti kedokteran, manajemen, dan teknik yang selalu menjadi primadona kini memiliki pesaing yang kompetitif. Masing-masing dari mereka mempercantik diri untuk menarik konsumennya.
Meskipun begitu tetap saja orangtua dan masyarakat menilai bahwa program-program studi tertentu jauh lebih baik dan memiliki prestige daripada tetangganya. Banyak didapati orang ua merasa khawatir jika anaknya tidak masuk jurusan yang populer. Berada di universitas ternama belumlah dirasa cukup jika program studi yang diambil anaknya hanya program studi kasta kedua dalam pandangan masyarakat.
Fakultas Agrokompleks
Salah satu fakultas yang mencoba meruntuhkan hegemoni fakultas-fakultas mainstream salah satunya adalah fakultas-fakultas agrokompleks. Fakultas agrokompleks di sini adalah fakultas pertanian, peternakan, perikanan, dan juga teknologi pertanian. Tidak peduli seberapa bagus fakultas-fakultas ini, masyarakat tetap saja memandang jika ada anak yang berkuliah di fakultas ini maka masa depannya akan samar. Bagaimana bisa asumsi seperti ini tertanggal di masyarakat, padahal negara ini selalu menyatakan bahwa Indonesia adalah negara agraris, Indonesia adalah negara yang hidup dari sektor pertanian, dan sebagainya.
Posisi Indonesia sebagai negara pangan hanyalah kebanggaan semu. Banyak dari masyarakat yang tidak rela jika anaknya memilih program-program studi seperti Agroekoteknologi, Agribisnis, Peternakan, dan sejenisnya. Kondisi ini diperparah pula dengan rendahnya minat generasi milenial terhadap sektor pertanian. Minat mereka untuk berkuliah di fakultas agrokompleks tidak seantusias ke fakultas yang katanya berada di kasta atas.
Akibatnya apa? Ketika masuk kelas yang isinya para mahasiswa baru tatapan mereka nanar. Jika diterjemahkan tatapan itu berarti akan belajar apa saya di sini, kalau saya lulus akan jadi apa, dan kekhawatiran lain yang mengemuka. Jika terlontar pertanyaan "kenapa memilih kuliah di sini?" dan "program studi ini pilihan ke berapa?" jawabannya tentu membuat miris. Beragam respons ditunjukkan, mulai dari terpaksa, pilihan terakhir, ikut teman, dan hanya program studi ini yang menerima mereka. Alasan lain yang jamak ditemui adalah mengikuti kemauan orangtua, menghindari pelajaran eksakta, serta tidak tahu mau memilih apa sebelumnya.
Hanya sekitar 10 persen dari 40 anak di kelas yang menjawab mereka memang berminat dan berkeinginan kuat belajar di fakultas agrokompleks. Tak ayal banyak dari mereka di semester berikutnya kabur ke jurusan lain. Kuliah di fakultas agrokompleks hanya dijadikan sebagai batu pijakan dan mengisi gap year semata. Adapun yang tidak pindah, alasannya karena mereka sudah malas untuk mengejar jurusan impiannya. Inilah wajah pendidikan agrokompleks hari ini, tempat menggadaikan impian bagi anak muda yang bingung akan jalan hidupnya. Dipandang sebagai Aib
Kurangnya minat calon mahasiswa ke fakultas agrokompleks pada dasarnya memang bisa dipahami. Meskipun fakultas-fakultas ini sudah berupaya dengan mengajukan akreditasi internasional, bantuan biaya pendidikan, hingga merekrut tenaga dosen berkualitas seakan nir hasil. Penyebabnya jelas bermacam, salah satunya adalah stereotip masyarakat yang memandang rendah jurusan-jurusan agrokompleks. Hal ini berkorelasi kuat dengan kehidupan petani, peternak, dan nelayan yang mayoritas berada di bawah garis kemiskinan. Orangtua memiliki perasaan khawatir jika anaknya akan bernasib seperti itu.
Pertanian juga selalu diidentikkan dengan mereka yang gagal sekolah atau pekerjaan kasar, kotor, dan kurang bonafit sehingga kuliah di fakultas agrokompleks akan dipandang sebagai aib. Penilaian yang bias dari masyarakat ini terjadi juga karena kurangnya sosialisasi terkait program studi yang ada di fakultas agrokompleks, sehingga pengetahuan masyarakat juga rendah. Ditambah dengan adanya suatu kondisi paradoksal dari keluarga petani; petani justru kebanyakan tidak mau anak-anaknya menjadi seperti mereka. Ketakutan ini adalah wujud nyata bagaimana sejatinya mental kita masih terjajah.
Puluhan hingga ratusan ribu orang teriak anti asing, tetapi mereka masih melanggengkan cara berpikir yang pro asing. Ingatkah dulu pada masa penjajahan, anak-anak pribumi sulit untuk menuntut ilmu ke sekolah yang diisi oleh anak-anak Belanda. Lambat laun konsep ini melahirkan dikotomi antara sekolah unggulan dan non unggulan, universitas negeri dan swasta, serta eksakta atau sosial. Semuanya dibuat dua kutub seakan untuk membandingkan mana yang terbaik --ternyata sistem berpikir inilah yang masih dipakai masyarakat.
Anak didorong untuk menjadi apa yang diinginkan masyarakat, bukan dibentuk menjadi ingin seperti apa sebenarnya anak-anak itu. Ke depan jika hal ini terus terjadi maka regenerasi petani juga tidak akan terwujud. Bisa jadi nasib fakultas agrokompleks juga akan berhenti dan arah pendidikan pertanian akan jalan di tempat.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Kadhung Prayoga staf pengajar Program Agribisnis Universitas Diponegoro
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini