Jakarta -
Transisi dari energi berbasis fosil ke energi hijau—seperti energi matahari, angin, dan biomassa membuka peluang besar untuk menciptakan lingkungan yang lebih bersih dan mendukung pembangunan berkelanjutan. Momentum transisi energi ini perlu segera dimanfaatkan untuk menjadikan Indonesia sebagai negara yang lebih mandiri dalam sektor energi sekaligus mempercepat pencapaian target-target lingkungan dalam komitmen pembangunan berkelanjutan.
Kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto dalam mempercepat transisi energi ini sangat strategis untuk kepentingan lingkungan dan menjaga stabilitas ekonomi nasional. Percepatan transisi energi oleh pemerintahan Prabowo merupakan langkah nyata untuk mengurangi beban lingkungan dan menjaga kelestarian sumber daya alam sebagai prasyarat keberlanjutan pembangunan nasional.
Percepatan transisi energi ini juga akan mendorong inovasi dalam teknologi hijau yang bisa menciptakan lapangan kerja baru dalam sektor energi terbarukan, sehingga meningkatkan daya saing ekonomi lokal sekaligus membuka peluang investasi dalam teknologi ramah lingkungan yang dapat mendukung pertumbuhan ekonomi jangka panjang.
Upaya Prabowo untuk beralih ke energi hijau menunjukkan bahwa pemanfaatan energi hijau sekarang sangat urgen dan semakin nyata bagi Indonesia, terutama dalam menghadapi krisis lingkungan dan tantangan perubahan iklim global. Ketergantungan Indonesia pada energi fosil membawa dampak yang signifikan terhadap lingkungan, terutama dalam bentuk emisi karbon tinggi yang berkontribusi terhadap pemanasan global.
Kenyataan ini menguatkan bahwa transisi energi saat ini merupakan sebuah kebutuhan untuk menciptakan kualitas hidup yang lebih baik di muka bumi. Dalam buku Mendorong Transisi Energi di Indonesia Melalui Peran Parlemen (2021) disebutkan bahwa setidaknya ada empat alasan yang mendasari transisi energi. Pertama, kebutuhan energi yang semakin tinggi. Hal ini terkait dengan ketahanan dan kedaulatan sebagai sebuah bangsa.
Kedua, kebutuhan akan kelestarian lingkungan dan iklim yang baik untuk keberlanjutan kehidupan. Ketiga, untuk menghadirkan sumber daya energi yang accessable, murah, dan mudah bagi masyarakat miskin dan rentang. Keempat, untuk menciptakan peluang ekonomi dan lapangan kerja yang lebih luas.
Potensi Besar
Dengan bentangan alam yang kaya dan beragam, Indonesia memiliki potensi besar untuk mengembangkan energi hijau dari sumber daya terbarukan, seperti sinar matahari, angin, panas bumi, dan biomassa. Sayangnya, potensi tersebut belum dimanfaatkan secara optimal sehingga meskipun kaya akan sumber energi terbarukan, pemanfaatannya masih sangat minim. Kondisi ini dipengaruhi oleh implementasi kebijakan yang belum konsisten dan perubahan regulasi yang kerap menghambat investasi.
Kondisi ini bisa dibuktikan dengan kapasitas energi surya yang terpasang masih sangat rendah meskipun Indonesia berada di wilayah tropis yang kaya akan sinar matahari. Fenomena ini juga terjadi pada sumber-sumber energi terbarukan yang lain, yaitu angin, air, dan biomassa.
Penyebab utama dari rendahnya pemanfaatan energi hijau ini adalah masih tingginya ketergantungan pada bahan bakar fosil dalam sektor pembangkit listrik, terutama batu bara dan minyak bumi yang telah memperburuk emisi karbon dan merusak lingkungan. Penggunaan energi fosil yang berlebihan berdampak negatif pada ekosistem dan memicu ancaman serius terhadap kelestarian lingkungan. Ketergantungan ini telah menghambat transisi menuju energi hijau yang lebih ramah lingkungan.
Transisi energi merupakan salah satu solusi yang dapat dilakukan untuk memperlambat terjadinya pemanasan global dan perubahan iklim. International Renewable Energy Agency (IRENA) mengartikan transisi energi sebagai proses perubahan yang terjadi menuju transformasi sektor energi dari yang berbasis energi fosil dan tinggi karbon ke arah energi yang rendah karbon atau nol karbon pada tahun 2050. Laporan The Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) menyebutkan bahwa investasi energi terbarukan dan efisiensi energi harus meningkat enam kali lipat pada 2050 dibanding tahun 2015, agar pemanasan global tidak lebih dari 1,5 derajat Celcius.
Transisi energi sangat dipengaruhi oleh kondisi sosial, politik, budaya, dan lingkungan suatu negara sehingga strategi setiap negara akan berbeda. Indonesia sendiri, meskipun telah meratifikasi Perjanjian Paris dan memiliki komitmen untuk menurunkan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) sebesar 29 persen – 41 persen pada 2030, namun transisi energi belum didefinisikan dalam kebijakan dan regulasi energi.
Bersifat Dinamis
Kompleksitas dalam mendorong transisi energi yang adil dan berkelanjutan di Indonesia bersifat dinamis sehingga perlu adanya kondisi pemungkin dengan pendekatan multidisiplin dan lintas sektoral. Beberapa kondisi pemungkin yang perlu diciptakan, antara lain: kepemimpinan politik, tata kelola energi, inovasi teknologi, serta ketersediaan pendanaan dan investasi untuk membangun sistem.
Kepemimpinan politik memiliki peran yang sangat strategis dalam mewujudkan transisi energi di Indonesia karena kepemimpinan politik akan isu perubahan iklim dan pembangunan berkelanjutan ke dalam tatanan kebijakan, keputusan politik, serta sistem kelembagaannya. Kepemimpinan politik akan mendorong tata kelola energi dan melakukan proses perencanaan dan sinergitas antarsektor yang memprioritaskan pengembangan energi terbarukan sebagai satu-satunya sumber energi.
Tata kelola energi membuat pilihan-pilihan sumber daya energi yang efektif, meningkatkan konservasi dan efisiensi energi, mengurangi biaya, dan menghindari dampak sosial dan lingkungan. Pendanaan dan investasi akan mendorong pembangunan sistem dan infrastruktur yang bisa mengembangkan energi terbarukan sebagai solusi menggantikan energi fosil.
Menurut Laporan Indeks Ekonomi Hijau, transisi menuju Ekonomi Hijau dapat membawa manfaat ekonomi dan sosial bagi Indonesia. Perkiraan pertumbuhan PDB rata-rata di angka 6,1-6,5 persen per tahun hingga 2050, penurunan emisi Gas Rumah Kaca hingga 96 miliar ton dalam periode 2021-2060, serta peningkatan Pendapatan Nasional Bruto (PNB) sebesar 25-34 persen pada 2045 menunjukkan dampak positif yang dapat diperoleh.
Ekonomi hijau juga diperkirakan akan menciptakan 1,8 juta lapangan kerja hijau di sektor energi, kendaraan elektronik, restorasi lahan, dan pengelolaan limbah pada 2030. Selain itu, manfaat lingkungan dari ekonomi hijau meliputi pengurangan polusi udara, restorasi hutan, dan peningkatan ketahanan iklim.
Kepemimpinan politik dalam transisi energi di Indonesia saat ini sepenuhnya berada di bawah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Melalui Kementerian ESDM pemerintah Indonesia menetapkan target untuk meningkatkan porsi energi terbarukan dalam bauran energi nasional menjadi 23 persen pada 2025. Namun, hingga akhir 2023, realisasinya baru mencapai 13,1 persen, jauh dari harapan. Tantangan besar ini menuntut kebijakan yang kuat dan implementasi yang efektif dari Menteri ESDM saat ini, Bahlil Lahadalia.
Sebagai mantan Menteri Investasi, Bahlil berpengalaman dalam menarik berbagai investasi domestik dan internasional, yang diharapkan mampu meningkatkan daya tarik Indonesia sebagai destinasi investasi ramah lingkungan. Kendati demikian, mengingat sektor energi memiliki kompleksitas teknis yang tinggi, kolaborasi dengan para ahli energi tetap diperlukan untuk memastikan kebijakan yang diambil sesuai dengan kebutuhan teknis dan berkelanjutan.
Selain tantangan teknis, riwayat kebijakan hilirisasi yang kadang berdampak pada lingkungan juga memerlukan perhatian. Pengembangan industri sering mengesampingkan aspek keberlanjutan, yang mengharuskan pemerintah untuk lebih seimbang dalam mendorong pertumbuhan ekonomi sambil menjaga kelestarian lingkungan. Menteri ESDM diharapkan menjaga keseimbangan ini dengan mempertimbangkan aspek lingkungan dalam setiap kebijakan, sehingga keuntungan ekonomi dapat dicapai tanpa mengorbankan kelestarian alam.
Mengoptimalkan Kebijakan
Untuk mempercepat transisi menuju energi hijau, pemerintah perlu mengoptimalkan kebijakan melalui pemberian insentif fiskal, seperti pemotongan pajak dan tarif listrik yang menarik bagi pengembang energi terbarukan. Menteri ESDM perlu membuat target tahunan yang jelas untuk pertumbuhan energi terbarukan, menyederhanakan perizinan, dan menginisiasi program investasi hijau yang komprehensif.
Selain itu, kemitraan publik-swasta penting untuk menutupi kebutuhan investasi besar di sektor energi hijau. Kerja sama internasional dengan lembaga-lembaga keuangan global juga dapat memberikan dukungan finansial signifikan bagi proyek-proyek energi hijau. Edukasi publik pun perlu ditingkatkan untuk meningkatkan kesadaran dan dukungan masyarakat terhadap pentingnya energi hijau dalam kehidupan sehari-hari.
Dengan komitmen yang kuat dan strategi kebijakan yang tepat, Indonesia memiliki potensi untuk memimpin dalam pengembangan energi hijau di kawasan Asia Tenggara, sekaligus memenuhi komitmen global dalam menghadapi perubahan iklim dan mencapai pembangunan berkelanjutan. Melalui transisi energi hijau yang terpadu, Indonesia dapat menciptakan lingkungan yang aman bagi generasi mendatang dan meningkatkan ketahanan energi nasional dengan memanfaatkan sumber daya terbarukan, mengurangi ketergantungan pada energi fosil, dan meminimalkan dampak lingkungan.
Rahmat Fitriansyah peneliti Indonesia Strategic Center (ISC), CSPS SKSG UI, Anggota Institut Energi Anak Bangsa (IEAB)
(mmu/mmu)