Jakarta -
Pemerintah berencana menaikkan pajak pertambahan nilai (PPN) jadi 12% dari 11% yang memicu pada pemutusan hubungan kerja (PHK) hingga inflasi yang naik. Ekonom dan pengusaha kompak menyebut besaran ideal tarif PPN berada rentang 8-10%.
Rencana kenaikan tarif PPN jadi 12% tertuang dalam Undang-undang (UU) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Direktur Eksekutif CELIOS Bhima Yudhistira mengatakan sebaiknya pemerintah harus menimbang kembali terkait rencana tersebut. Sebab, dia menilai kenaikan tarif PPN itu dapat mengancam pertumbuhan ekonomi yang mana disumbang dari konsumsi rumah tangga.
Alih-alih menaikkan, Bhima menyebut pemerintah bisa membatalkan rencana tersebut. Caranya dengan menerbitkan Perppu (Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang) sebagai pengganti undang-undang.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Sangat memungkinkan (menurunkan tarif), bisa lewat Perppu yang merevisi UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan. Bisa juga melewati pembahasan revisi UU HPP di DPR. Waktu memang tidak banyak, tapi pemerintah bisa ambil keputusan cepat pembatalan tarif PPN 12%," kata Bhima kepada detikcom, Selasa (19/11/2024).
Dia menilai idealnya tarif PPN sekitar 8-9% untuk memberikan stimulus konsumsi rumah tangga. Dengan tarif PPN tersebut, Bhima menilai dapat memberikan dampak positif ke perekonomian.
"(tarif PPN) bisa di 8-9% untuk stimulus konsumsi domestik. Efeknya positif ke perekonomian karena aktivitas permintaan meningkat, berpengaruh ke omzet pelaku usaha ujungnya penerimaan pajak dari PPh misalnya bisa naik," jelas Bhima.
Lebih lanjut, dia menjelaskan sejumlah dampak mengerikan apabila PPN tetap naik jadi 12%. Pertama, terjadi kenaikan inflasi mencapai 4,5-5,2% secara yoy pada 2025 karena harga barang jauh lebih mahal.
Kedua, daya beli masyarakat dapat menurun. Akibatnya, penjualan produk sekunder, seperti elektronik, kendaraan bermotor, sampai kosmetik bisa melambat. Dia menekankan sasaran tarif PPN ini merupakan kelas menengah yang diperkirakan 35% konsumsi rumah tangga nasional tergantung dari konsumsi kelas menengah.
"Imbas lain tentu ke pelaku usaha sendiri karena penyesuaian harga akibat naiknya tarif PPN berimbas ke omzet. Pada akhirnya ada penyesuaian kapasitas produksi hingga jumlah tenaga kerja yang dibutuhkan menurun. Khawatir tarif PPN naik bisa jadi PHK di berbagai sektor," imbuh Bhima.
Senada, Ketua Kadin DKI Jakarta Diana Dewi menilai kenaikan PPN dapat membebani pengusaha dan konsumen. Sebab, harga barang dan jasa ikut terkerek naik. Alhasil, akan berdampak pada daya beli yang menurun.
"Menurut saya, kenaikan PPN harus dibatalkan sampai kondisi perekonomian benar-benar membaik. Pemerintah harusnya mengambil langkah menaikkan daya beli masyarakat. Sehingga masyarakat dari kelas menengah (middle income trap) jangan sampai terjerembab ke low income trap, seperti fenomena yang terjadi akhir-akhir ini," kata Diana kepada detikcom.
Dia menduga daya beli yang melemah ini terjadi lantaran pemerintah menaikkan tarif PPN dari 10% menjadi 11% pada 2022 lalu. Dia pun menyebut idealnya tarif PPN dikenakan 10% saja.
"Idealnya, pemerintah membantu para pengusaha sehingga roda perekonomian bisa kembali normal. Salah satunya dengan menurunkan PPN menjadi 10%. Kami yakin, bila PPN diturunkan menjadi 10%, maka akan sangat mempengaruhi geliat daya beli masyarakat," jelas Diana.
Dia pun mewanti-wanti agar kenaikan tarif jangan seperti skandal korupsi 1Malaysia Development Berhad (1MDB) senilai miliaran dolar AS di Malaysia. Berdasarkan catatan detikcom, 1MDB adalah dana investasi pemerintah yang dibentuk bersama oleh Najib pada tahun 2009 saat menjabat perdana menteri.
Sejak beberapa tahun terakhir, muncul serangkaian penyelidikan korupsi di sedikitnya enam negara atas dugaan penyalahgunaan lebih dari USD 4,5 miliar. Kasus tersebut menyeret nama sejumlah pejabat tinggi dan pengusaha Malaysia.
"Terkait potensi seperti skandal 1MBD di Malaysia, saya pikir belum terlalu jauh kesana, meski memang kenaikan pajak dari 11 ke 12%, tentu akan mendorong penerimaan negara lebih banyak lagi. Kami pengusaha berharap Pemerintahan Pak Prabowo justru bisa menutup celah-celah korupsi tersebut. Sebab, negara akan sulit maju kalau digerogoti oleh aksi-aksi korupsi, terutama dari pejabat negara," imbuh Diana.
(kil/kil)