Jakarta -
PT Harmas Jalesveva merespons tentang permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) yang dilayangkan PT Bukalapak.com Tbk (BUKA) ke Pengadilan Niaga Jakarta. Kondisi ini terkait dengan permasalahan kerja sama penyediaan gedung kantor Bukalapak.
Kuasa Hukum Harmas, Roni Pandiangan mengatakan, perkara tersebut telah diuji dan diputus secara keperdataan oleh Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Pengadilan Tinggi DKI Jakarta di tingkat banding, hingga Mahkamah Agung di tingkat kasasi (3 Tingkatan Peradilan).
"(Putusan pengadilan) pada pokoknya menghukum pihak Bukalapak untuk membayar ganti rugi kepada klien kami sebesar Rp 107 miliar. Dengan hubungan hukum yang demikian, segala alasan Bukalapak dalam mengajukan permohonan PKPU pada faktanya sudah diuji dan dipertimbangkan oleh 3 Majelis Hakim berbeda dari tingkat pertama, banding hingga kasasi," kata Roni, dalam keterangan yang diterima detikcom, Kamis (20/2/2025).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Hal tersebut berdasarkan pada Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Nomor 575/Pdt.G/2022/PN. Jkt Sel Tanggal 12 April 2022, melalui situs Kepaniteraan Mahkamah Agung. Selain itu, juga sudah ada teguran dari Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (aanmaning) terhadap isi Putusan a quo.
Dengan demikian, ia menegaskan bahwa tagihan Harmas Rp 107 miliar terhadap Bukalapak adalah sah dan berkekuatan hukum tetap (inkracht). Dalam hal ini, putusan a quo dari tingkat pertama sampai dengan kasasi, salah satu amarnya adalah menghukum Bukalapak untuk membayar uang sejumlah tersebut akibat pemutusan sewa secara sepihak.
Tuntutan Bukalapak Rp 6,4 M Tidak Berdasar
Di samping itu, menurutnya tagihan yang disampaikan oleh Bukalapak kepada Hamas dalam permohonan PKPU tidak berdasar secara hukum karena tuntutan tagihan tersebut sudah diperiksa dalam Rekonvensinya dan ditolak dalam Putusan a quo, bahkan dengan alasan-alasan seperti non adimpleti contractus juga telah diperiksa dan dipertimbangkan secara baik oleh majelis hakim.
Selain itu, Roni menilai, jumlah tuntutan utang yang diajukan oleh Bukalapak sebesar Rp 6,4 miliar tidak sebanding dengan kewajiban Bukalapak kepada Harmas senilai Rp 107 miliar. Hal ini apalagi mengingat sebelumnya utang tersebut sudah diputus tolak oleh pengadilan.
"Jika menggunakan logika yang dijadikan dalil oleh Bukalapak bahwa putusan yang memenangkan Harmas dan memerintahkan Bukalapak membayar Rp 107 miliar kepada Klien kami bukan sebagai utang, bagaimana mungkin Bukalapak bisa mengklaim bahwa tagihan Rp 6,4 miliar yang sudah dipertimbangkan, diputus tolak oleh PN Jakarta Selatan bisa digunakan sebagai dasar tagihan untuk mengajukan Permohonan PKPU?," ujarnya.
Atas kondisi tersebut, menurutnya apa yang dilakukan Bukalapak merupakan penyalahgunaan prosedur hukum (abuse of process) untuk menyalahi putusan yang telah berkekuatan hukum tetap dan mengikat, serta vexatious litigation atau gugatan melalui pengadilan dengan itikad buruk.
"Pada pokoknya, tindakan Bukalapak yang menghentikan rencana sewanya sedangkan Klien kami telah menyelesaikan pembangunan Gedung yang akan disewa oleh Bukalapak, merupakan perbuatan yang melanggar hukum dan akibat penghentian tersebut, gedung yang telah diselesaikan sesuai rencana Bukalapak, menjadi kosong dan merugikan Klien kami," terangnya.
Roni menegaskan kembali, pembatalan perjanjian yang tidak mendapatkan persetujuan dari pihak lain dalam perjanjian merupakan pemutusan perjanjian secara sepihak. Apabila hal tersebut menimbulkan kerugian pihak lain tersebut, maka pihak yang memutuskan secara sepihak dikategorikan sebagai suatu perbuatan melawan hukum, sehingga Pasal 1266 KUHPerdata tidak dapat dikesampingkan dan harus diajukan pembatalan melalui pengadilan, bukan seperti yang dilakukan Bukalapak.
Sementara menyangkut keterlambatan Harmas yang disampaikan oleh Bukalapak, Roni menekankan, hal tersebut sudah diperiksa dan dipertimbangkan dalam Putusan a quo. Dalam hal ini, tidak ada keterlambatan yang terjadi kecuali akibat ketidakmampuan Bukalapak untuk memberikan gambar blueprint ruangan yang
akan disewanya sesuai dengan tenggat waktu yang disepakati.
"Dan seluruh fakta tersebut sudah diperiksa dan dipertimbangkan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan secara profesional," tegasnya lagi.
Sebagai informasi, sebelumnya langkah Bukalapak mengajukan permohonan PKPU terhadap Harmas disampaikan oleh Anggota Komite Eksekutif Bukalapak Kurnia Ramadhana. Ia mengatakan, Harmas sebagai pihak penyedia sewa, tidak memenuhi kewajiban yang tercantum dalam Letter of Intent (LoI) yang disepakati antara Bukalapak dengan Harmas.
Pada 8 Desember 2017 telah dilakukan proses Letter of Intent antara kedua pihak, Kurnia mengatakan, LoI tersebut menyepakati bahwa Bukalapak bisa mulai menempati ruang kantor di Gedung One Belpark, Jakarta Selatan. Namun hingga tenggat waktu yang diberikan, ruang gedung yang layak pakai tidak kunjung tersedia, dan Harmas terus meminta perpanjangan waktu.
Sebagai bagian dari kesepakatan, Bukalapak memenuhi kewajiban dengan membayarkan uang muka atau booking deposit sebesar Rp 6,46 miliar pada periode Januari sampai Mei 2018. Rupanya, kata Kurnia, semasa Bukalapak dengan Harmas melakukan kerja sama, telah ada permasalahan hukum yang juga menimpa Harmas.
"Kalau ditarik mundur, seharusnya fitting out barang itu sudah bisa tanggal 1 Maret 2018, molor sampai lebih dari 7 bulan ke depan. Harmas kembali meminta perpanjangan waktu hingga awal Februari 2019, berdasarkan surat mereka tanggal 17 Desember 2018. Alasannya, menunggu Investor baru," ujar Kurnia kepada wartawan, Senin (17/2/2025).
Karena mengalami kerugian akibat ketidakmampuan Harmas dalam memenuhi kewajibannya, Bukalapak memutuskan untuk mengakhiri kerja sama yang dinyatakan Bukalapak per 2 September 2019. Isi surat pengakhiran kerja sama yang dilayangkan Bukalapak kepada Harmas berisikan pernyataan dari Bukalapak meminta kembali uang muka yang sudah diberikan kepada Harmas senilai Rp 6,46 miliar.
Akhirnya, Bukalapak melalui kuasa hukumnya mengirimkan surat somasi kepada Harnas. Pihak Bukalapak mengirimkan somasi sebanyak tiga kali. Yang pertama pada 6 Januari 2021, kemudian yang kedua pada 15 Januari 2021, dan yang ketiga pada 3 Februari 2021.
"Tanggal 19 Maret 2021, Harmas justru menggugat perbuatan melawan hukum kepada Bukalapak ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Jadi Harmas itu menuding, kami telah melakukan perbuatan melawan hukum karena kami melakukan pengakhiran tanggal 2 September 2019. Karena kami akhiri kerjasama itu," katanya.
(shc/kil)