Jakarta -
Filosofi Marhaen : Jalan Kemandirian dan Keadilan Sosial
Suatu hari di tahun 1920-an, di tengah persawahan yang luas di sekitar Bandung, seorang pria muda bernama Soekarno sedang berjalan-jalan di pedesaan untuk melihat langsung bagaimana kehidupan rakyat kecil di Hindia Belanda (sekarang Indonesia). Saat itu, Soekarno bukan hanya seorang mahasiswa biasa, tetapi seorang pemikir muda yang ingin mencari akar dari ketidakadilan yang melanda bangsanya.
Di tengah perjalanan, Soekarno bertemu dengan seorang petani. Petani ini sederhana, tangannya kasar, tapi wajahnya tenang. Ia punya tanah sendiri, sebuah cangkul, dan bibit-bibit untuk ditanam. Namanya adalah Marhaen.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Soekarno memulai percakapan dengannya. Marhaen bercerita tentang kehidupannya, bagaimana ia bekerja keras mengolah sawah setiap hari. Ia memiliki alat-alat pertanian dan lahannya sendiri. Namun, meski ia bekerja tanpa lelah, penghasilannya hanya cukup untuk bertahan hidup sehari-hari. Tidak ada tabungan, tidak ada kemewahan, hanya cukup untuk sekadar hidup. Marhaen bukanlah seorang buruh tanpa alat, seperti yang digambarkan oleh Karl Marx dalam konsep proletar, tapi juga bukan seorang kapitalis. Dia adalah petani mandiri, tetapi terjebak dalam lingkaran kemiskinan karena sistem yang tidak berpihak pada rakyat kecil.
Setelah pertemuan itu, Soekarno merenung. Ia menyadari bahwa Marhaen adalah simbol dari rakyat Indonesia yang tertindas bukan karena malas atau kurang bekerja keras, tetapi karena sistem kolonial yang menindas. Dari sinilah lahir Marhaenisme, ideologi yang mengangkat suara dan perjuangan rakyat kecil seperti Marhaen.
Marhaenisme: Perjuangan Kemandirian Ekonomi
Marhaenisme yang didasarkan pada observasi sederhana tetapi mendalam dari Soekarno mengenai ketimpangan sosial. Marhaenisme menjadi landasan perjuangan Soekarno sebagai seorang proklamator dan presiden pertama Indonesia dalam melawan ketidakadilan, kesenjangan sosial, dan eksploitasi di tengah sistem kapitalisme kolonial. Meskipun berakar pada kondisi pertanian Indonesia di awal abad ke-20, prinsip-prinsip Marhaenisme memiliki relevansi yang luas dan mendalam, baik dalam konteks politik, sosial, maupun ekonomi, bahkan hingga hari ini. Makna dan relevansi filosofi Marhaen dalam konteks masa kini serta dapat menjadi panduan dalam membangun masyarakat yang lebih adil dan mandiri.
Dalam konteks modern, Marhaenisme mengajarkan bahwa kemandirian ekonomi harus menjadi tujuan utama. Rakyat kecil, baik petani, pedagang, maupun pekerja lepas, harus memiliki akses yang adil terhadap sumber daya, teknologi, dan pasar. Mereka harus diberikan kesempatan untuk berkembang tanpa bergantung pada kapital besar atau kekuatan asing yang mendominasi perekonomian. Oleh karena itu, Marhaenisme menekankan pentingnya pembangunan ekonomi kerakyatan, di mana produksi dan distribusi sumber daya didasarkan pada kebutuhan rakyat, bukan pada keuntungan segelintir elit atau korporasi besar.
Untuk mengimplementasikan Marhaenisme dalam kehidupan nyata, pemerintah dan masyarakat perlu bekerja sama untuk menciptakan kebijakan yang berpihak pada rakyat kecil. Beberapa langkah yang bisa diambil antara lain:
Penguatan Ekonomi Kerakyatan: Pemerintah harus mendukung usaha kecil dan menengah (UMKM), koperasi, serta sektor informal, agar mereka dapat bersaing dalam ekonomi global. Ini termasuk pemberian akses modal, pelatihan, dan infrastruktur yang memadai.
Semua program pembangunan harus mempertimbangkan dampaknya terhadap rakyat kecil. Kebijakan agraria, misalnya, harus memastikan bahwa petani memiliki akses yang adil terhadap tanah dan sumber daya. Contoh lain seperti sektor tenaga kerja kaitannya terhadap perlindungan pekerja lepas yaitu dengan meningkatnya jumlah pekerja lepas di era digital maka diperlukan regulasi yang melindungi mereka dari eksploitasi, termasuk jaminan sosial, asuransi kesehatan, dan perlindungan hukum.
Marhaen Masa Kini
Sekarang, kita beralih ke masa kini, tahun 2024. Marhaen mungkin tidak lagi terjebak di sawah, tetapi sosok-sosok seperti Marhaen masih ada di mana-mana. Hanya saja, kini mereka adalah pengusaha kecil di kota-kota, petani yang kesulitan menjual hasil panennya di tengah gempuran produk impor, atau pekerja lepas yang bekerja di dunia digital tanpa jaminan kesejahteraan. Mereka mungkin tidak lagi menggunakan cangkul, tetapi laptop dan smartphone sebagai alat produksi mereka.
Bayangkan seorang milenial bernama Ahmad. Ahmad adalah seorang freelancer yang bekerja sebagai desainer grafis di platform online. Ia memiliki laptop yang ia beli dengan tabungan sendiri dan koneksi internet sebagai alat utama untuk bekerja. Seperti Marhaen, Ahmad adalah seorang pekerja mandiri yang memiliki alat produksinya sendiri. Setiap hari, Ahmad menerima proyek dari klien di seluruh dunia, mulai dari desain logo hingga poster. Penghasilannya tidak buruk, tetapi sering kali tidak stabil. Ada bulan-bulan di mana Ahmad mendapatkan banyak proyek, tetapi ada juga bulan di mana ia hampir tidak mendapatkan pekerjaan.
Ahmad merasa terjebak dalam sistem ekonomi yang tidak memberinya kepastian. Meski ia memiliki "alat produksi" berupa laptop dan koneksi internet, ia tidak memiliki kekuatan untuk mengubah nasibnya sepenuhnya. Sistem freelance atau pekerjaan individual bersifat sementara dan jangka pendek (gig economy) yang berkembang di era milenial sering kali tidak memberikan jaminan, perlindungan sosial, atau asuransi kesehatan. Seperti Marhaen di masa lalu, Ahmad hidup di bawah bayang-bayang sistem ekonomi yang membuatnya rentan terhadap eksploitasi.
Cerita Marhaen yang bertemu dengan Soekarno di tengah sawah, kini hadir kembali dalam wajah generasi milenial seperti Ahmad, yang berjuang dalam sistem ekonomi modern. Meskipun alat produksi dan kondisi telah berubah, esensi perjuangan tetap sama. Marhaenisme bukan sekadar ideologi masa lalu, tetapi semangat yang hidup dan relevan hingga kini, mengajarkan bahwa kemandirian dan keadilan sosial adalah hak setiap individu, baik di ladang, kantor, atau ruang kerja digital.
Bagi kaum milenial, Marhaenisme adalah pengingat bahwa perjuangan untuk kesetaraan dan kemandirian harus terus dilanjutkan, di mana pun dan dalam bentuk apapun.
Filosofi Marhaen, meskipun lahir dari kondisi Indonesia yang terjajah di awal abad ke-20, tetap memiliki relevansi yang besar di era modern. Dengan menekankan kemandirian ekonomi, keadilan sosial, dan penolakan terhadap eksploitasi, Marhaenisme menjadi landasan yang kuat bagi perjuangan melawan ketimpangan yang terus ada di dunia saat ini. Marhaenisme mengajarkan bahwa kesejahteraan rakyat kecil bukan hanya masalah ekonomi, tetapi juga masalah moral yang harus diperjuangkan oleh setiap bangsa yang merdeka. Melalui kebijakan publik yang berpihak pada rakyat kecil dan gerakan sosial yang berorientasi pada keadilan, semangat Marhaen dapat terus hidup dan berkembang, menjadi inspirasi bagi generasi muda dalam membangun Indonesia yang lebih adil dan makmur.
Mira H. Tohir
(akd/akd)
Hoegeng Awards 2025
Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu