Jaksa Cecar Peran di Smelter Swasta, Harvey Moeis Ngaku Cuma Teman Pemilik

3 weeks ago 11

Jakarta -

Pengusaha Harvey Moeis menjelaskan awal mula mewakili PT Refined Bangka Tin (PT RBT) terkait kerja sama dengan PT Timah. Harvey mengaku dirinya hanya teman pemilik perusahaan tersebut.

Hal itu disampaikan Harvey saat menjadi saksi untuk terdakwa Helena Lim, Mochtar Riza Pahlevi Tabrani selaku mantan Direktur Utama PT Timah Tbk 2016-2021, Emil Ermindra selaku mantan Direktur Keuangan PT Timah Tbk periode 2016-2020, dan MB Gunawan selaku Direktur Utama PT Stanindo Inti Perkasa di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (23/10/2024). Harvey, yang juga terdakwa dalam kasus ini, mengaku tak terlibat di pengurusan PT RBT.

"Saudara ada terlibat sebagai pengurus atau apa di perusahaan itu?" tanya jaksa.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Tidak terlibat sebagai pengurus," jawab Harvey.

"Pengetahuan Saudara di RBT itu sebagai apa?" tanya jaksa.

"Saya kawan dari pemilik (Suparta selaku Direktur Utama PT RBT)," jawab Harvey.

Harvey mengaku dilibatkan dalam kerja sama sewa peralatan processing pelogaman timah antara PT Timah dengan PT RBT. Dia mengatakan bertindak sebagai penyampai pesan hasil rapat ke Suparta, yang juga terdakwa.

"Sebagai apa?" tanya jaksa.

"Sebagai kawannya owner," jawab Harvey.

"Anda masuk sebagai kawan, pelibatan dalam kegiatan itu apa?" tanya jaksa.

"Lebih banyak ke penyampai pesan," jawab Harvey.

"Dari siapa ke siapa?" tanya jaksa.

"Dari hasil rapat ke Pak Suparta," jawab Harvey.

Harvey menceritakan dirinya kenal Suparta sejak tahun 2012. Dia menuturkan Suparta juga sudah lama berkecimpung dalam dunia batu bara.

"Beliau bilang beliau baru take over satu perusahaan timah di Babel karena beliau tahu calon istri saya, ketika itu calon istri saya orang sana, beliau nanya ke saya mau ikutan atau nggak, belajar-belajar, karena saya waktu itu, intinya saya setuju saya mau lihat-lihat kayak apa di sana. Beliau ajak saya ke Bangka waktu itu, melihat pabrik, lalu saya juga diajak ke konferensi timah waktu itu. Saya juga pernah diajak ke program reklamasi berkelanjutan dari PT RBT tahun 2017 awal, setelah itu tapi karena saya tidak punya waktu untuk ada tambahan kerja lagi, saya jadi bilang ke beliau saya cukup hanya belajar-belajar aja, saya tidak bisa membantu lebih jauh lagi," kata Harvey.

Harvey mengatakan awal kerja sama dengan PT Timah berawal saat dirinya diminta menyampaikan soal kebutuhan PT Timah ke Suparta. Dia mengatakan kerja sama itu akhirnya diputuskan oleh Suparta.

Harvey mengatakan Suparta menindaklanjuti permintaan bantuan tersebut. Dia mengatakan dirinya mendapat undangan sebagai pihak PT RBT usai pertemuan tersebut.

Harvey mengaku tak tahu detail permasalahan alasan PT Timah harus dibantu. Dia mengatakan sejak itulah dirinya dikenal mewakili PT RBT hingga diundang dalam rapat lanjutan serta dimasukan ke group WhatsApp 'new smelter' yang beranggotakan smelter swasta dan pihak PT Timah.

"Ada persoalan apa pada saat itu yang Saudara ketahui kemudian PT Timah itu perlu dibantu?" tanya jaksa.

"Saya tidak tahu, izin, saya tidak tahu jelasnya saya hanya tahu bahwa PT Timah kekurangan bahan baku, kekurangan pasir," jawab Harvey.

Dalam kasus ini, Helena Lim, didakwa terlibat kasus korupsi pengelolaan timah yang merugikan keuangan negara Rp 300 triliun. Jaksa mengatakan Helena memberikan sarana money changer miliknya untuk menampung uang korupsi pengelolaan timah yang diperoleh pengusaha Harvey Moeis.

Jaksa mengatakan Helena selaku pemilik PT Quantum Skyline Exchange (PT QSE) menampung uang 'pengamanan' dari Harvey Moeis terkait kegiatan kerja sama smelter swasta dengan PT Timah Tbk. Harvey Moeis, yang merupakan inisiator program kerja sama sewa peralatan processing pelogaman timah, meminta pihak-pihak smelter menyisihkan sebagian dari keuntungan yang dihasilkan sebagai uang pengamanan. Jaksa mengatakan uang pengamanan itu dijadikan seolah-olah sebagai dana corporate social responsibility (CSR), yakni sebesar USD 500-750 per ton.

Uang pengamanan seolah-olah dana CSR senilai USD 30 juta atau Rp 420 miliar itu ditampung Helena melalui PT QSE dan dicatat sebagai penukaran valuta asing. Helena merupakan pemilik PT QSE namun tak tercatat dalam akta pendirian perusahaan money changer tersebut.

(mib/haf)

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial