Jakarta -
Warga bernama Raymond Kamil dan Indra Syahputra mengajukan gugatan terhadap sejumlah pasal beberapa undang-undang yang intinya meminta Mahkamah Konstitusi (MK) memperbolehkan warga tidak menganut agama. Apa alasan mereka meminta hal itu?
Sidang pendahuluan perkara nomor 146/PUU-XXII/2024 itu sudah digelar di Gedung MK pada Senin (21/10/2024). Dalam persidangan itu, pemohon melalui kuasa hukumnya menjelaskan alasan mengajukan gugatan tersebut.
Kuasa hukum pemohon, Teguh Sugiharto, mengatakan hak konstitusional kliennya dirugikan dengan sejumlah aturan yang menurut mereka mengharuskan warga negara untuk beragama atau menganut agama tertentu. Mereka merasa ada ketidakpastian perlindungan bagi warga gara-gara keharusan itu.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Hak konstitusional para pemohon yang tidak memeluk agama dan kepercayaan dirugikan dengan berlakunya undang-undang yang menjadi objek permohonan dan kerugian bersifat aktual dan/atau menurut penalaran yang wajar dapat terjadi dan memiliki hubungan sebab-akibat yang nyata," demikian ujar pemohon seperti dilihat dari risalah persidangan, Rabu (23/10/2024).
Dia mengatakan aturan yang ada saat ini membuat aparat pemerintah memahami kebebasan beragama secara terbatas pada pilihan agama pada kolom KTP. Padahal, menurutnya, kebebasan beragama itu juga harus dimaknai dengan tidak beragama atau tidak memeluk agama apapun.
Pemohon mengatakan sistem administrasi kependudukan hanya memberikan tujuh pilihan isian pada kolom agama di KTP dan Kartu Keluarga. Mereka juga menyebut pengosongan kolom agama pada KTP malah menyebabkan diskriminasi.
"Banyak bukti diskriminasi karena tercantumnya agama oleh penganut agama lainnya, maka menurut penalaran yang wajar, diisi apa pun juga, menjadi penyebab diskriminasi. Karena sebelumnya tanda setrip menjadi penyebab diskriminasi, maka diisi apa pun juga, dapat menjadi sebab diskriminasi, apalagi diisi tidak beragama," ujarnya.
Pemohon juga merasa orang yang tidak beragama terpaksa berbohong agar dilayani dalam urusan adminduk. Menurut pemohon, kondisi tersebut menyebabkan data adminduk tidak akurat karena warga berbohong memeluk agama tertentu hanya agar mendapat KTP.
Pemohon juga merasa kehilangan hak untuk melangsungkan perkawinan secara sah karena tidak memeluk agama. Menurut pemohon UU Perkawinan hanya mengatur pernikahan bagi penganut agama.
"Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974. Karena Para Pemohon tidak memeluk agama dan kepercayaan, maka hilang pula hak melangsungkan perkawinan yang sah yang digantungkan secara bersyarat pada pelaksanaan ritual agama, ritual perkawinan menurut ketentuan agama," ujarnya.
Pemohon juga merasa dirugikan karena orang yang tidak beragama harus mengikuti pendidikan keagamaan saat sekolah atau kuliah. Pemohon juga mengungkit keberadaan pasal 302 ayat 1 UU 1 tahun 2023 atau KUHP yang mengatur pidana bagi orang yang menghasut agar seseorang tidak beragama atau tidak berkepercayaan yang dianut di Indonesia.
"Bahwa yang dipidanakan adalah orang yang mendorong, mengajak, atau membakar semangat orang untuk tidak memeluk agama dan kepercayaan dan tidak mempidanakan pendengar yang atau kemudian tidak memeluk agama dan kepercayaan membuktikan bahwa tidak memeluk agama dan kepercayaan bukanlah suatu tindak pidana. Oleh karena itu, menurut penalaran yang wajar seharusnya tindakan mendorong itu jika tidak cukup alasan hukum untuk diklasifikasi sebagai tindak pidana dan oleh karena itu, bersifat diskriminasi yang tidak dapat dibenarkan," ujarnya.
Para pemohon pun mengajukan sejumlah petitum ke MK. Berikut petitum yang dibacakan dalam persidangan:
1. Mengabulkan seluruh Permohonan Pengujian Materiil Undang-Undang terhadap UUD 1945 yang diajukan Para Pemohon.
2. Menyatakan Pasal 22 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang tidak dimaknai 'secara positif dan negatif' atau menyatakan Pasal 22 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat sepanjang tidak dimaknai 'secara positif dan negatif'. Yang maksudnya setiap orang bebas memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan/atau kepercayaannya itu atau tidak beribadah, dan bebas untuk tidak memeluk agama dan/atau kepercayaan, dan negara menjamin kemerdekaan setiap orang memeluk agamanya dan/atau kepercayaannya itu, dan negara menjamin kemerdekaan setiap orang untuk tidak memeluk agama dan/atau kepercayaan'.
Simak selengkapnya di halaman selanjutnya.