Menurut Bank Dunia, Indonesia membutuhkan 9 juta pekerja informasi dan teknologi (IT) sepanjang 2025-2030. Hal itu ingin dicapai agar pada 2030 Indonesia dapat mencapai kemandirian industri digital, bukan hanya sebagai konsumen. Sayangnya pada 2023 saja hanya 16% lulusan ilmu komputer yang berhasil memasuki dunia kerja sebagai pengembang perangkat lunak atau profesi di bidang IT.
Saat ini, Indonesia masih mengalami kekurangan tenaga ahli IT di berbagai sektor. Terdapat ratusan bahkan mungkin ribuan kampus yang memiliki jurusan Informatika di Indonesia; mereka mampu mencetak 600 ribu lulusan setiap tahunnya. Namun dari jumlah tersebut hanya 2% dari lulusan tersebut yang bekerja di bidang IT.
Saya sendiri menempuh Pendidikan di Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) dengan Jurusan Rekayasa Perangkat Lunak kemudian melanjutkan studi di Jurusan Teknik Informatika. Ketika lulus pada 2022, saya melihat ratusan orang diwisuda dengan wajah berbinar seolah-olah kami adalah bagian dari solusi untuk masalah ini. Namun kenyataannya tidak demikian.
Banyak faktor yang menyebabkan universitas hanya mampu mencetak sedikit lulusan yang benar-benar siap bekerja sebagai talenta digital. Layaknya pekerjaan yang membutuhkan keterampilan lainnya, lulusan IT dituntut untuk memiliki keterampilan baik pemrograman maupun analisis. Sayangnya banyak mahasiswa mengambil jurusan IT tidak dapat menguasai keterampilan tersebut karena dianggap terlalu rumit.
Masalah ini diperparah oleh ekspektasi masyarakat awam yang memandang jurusan IT sebagai pilihan yang menjanjikan dengan banyaknya lowongan kerja dan gaji tinggi. Ekspektasi tersebut tidak sepenuhnya salah, namun dapat menjerumuskan bagi calon mahasiswa yang belum tahu jurusan apa yang akan mereka pilih setelah lulus SMA.
Banyak dari mereka memilih jurusan IT hanya karena tergiur prospek kerja yang cerah, tanpa memahami bahwa bidang ini membutuhkan keterampilan teknis yang kompleks. Bahkan seorang teman saya berpikir bahwa dengan mengambil jurusan IT kita akan mempelajari pekerjaan admin di sebuah kantor.
Ekspektasi tersebut membuat permintaan masyarakat terhadap jurusan IT di universitas menjadi tinggi. Di kampus negeri, Informatika biasanya menjadi jurusan yang memiliki persaingan yang ketat. Akibatnya, tidak semua calon mahasiswa dapat masuk ke Jurusan Informatika di universitas negeri tersebut. Akhirnya, banyak universitas swasta yang akhirnya membuka jurusan bidang IT untuk menampung para calon mahasiswa yang ingin masuk jurusan IT sebagai respons permintaan tinggi tersebut.
Banyaknya mahasiswa yang tidak diterima di negeri membuat universitas swasta menampung mahasiswa secara serampangan demi bisnis belaka. Bahkan kampus-kampus swasta tersebut menerima 100% pendaftarnya yang berarti tidak ada penyaringan terhadap calon mahasiswa yang benar-benar memiliki minat dan kemampuan di bidang ini.
Selain itu beberapa universitas swasta juga menawarkan skema perkuliahan yang mempermudah mahasiswa memperoleh gelar sarjana IT tanpa benar-benar membangun keterampilan yang diperlukan; skema ini menyediakan akses untuk mendapatkan ijazah sarjana bidang IT secara mudah. Banyak kampus akhirnya membuka kelas karyawan dan kelas akhir pekan untuk skema pendidikan para pekerja yang ingin berkuliah.
Hal itu bukan sesuatu yang buruk, malah membuka peluang bagi mereka yang ingin bekerja dan tetap bisa berkuliah. Tapi skema itu sering tidak diterapkan dengan baik yang berakhir pada kampus mengobral ijazah komputer bagi mereka para pekerja yang membutuhkan gelar sarjana komputer untuk kepentingan kenaikan jabatan di tempat kerja mereka.
Permasalahan lain yang menghambat terbentuknya talenta digital di Indonesia adalah kualitas dosen pengajar dan kurikulum yang tidak mengikuti perkembangan Industri. Perlu diketahui bahwa perkembangan di dunia teknologi itu sangat cepat, namun sungguh disayangkan banyak dosen pengajar yang tidak memperbarui pengetahuan dan keterampilannya. Kurikulum yang digunakan pun lambat untuk menyesuaikan kondisi kebutuhan industri.
Memang tidak mudah juga untuk melakukan perubahan suatu kurikulum --membutuhkan proses yang sangat panjang. Namun dosen seharusnya dapat adaptif dengan perubahan dan tidak hanya terpaku pada kurikulum. Saya teringat waktu kuliah dulu, saya diajarkan sebuah pemrograman yang sudah sangat usang hanya karena dosen pengajar hanya mampu mengajarkan pemrograman tersebut.
Selain faktor institusi pendidikan, mahasiswa juga memiliki peran dalam menentukan kesiapan mereka di dunia kerja. Sayangnya, banyak mahasiswa yang masih menerapkan gaya belajar pasif seperti di sekolah menengah. Mereka mengandalkan perkuliahan sebagai satu-satunya sumber pembelajaran, padahal kampus hanya memberikan dasar-dasar IT. Selebihnya mahasiswa dituntut untuk belajar secara mandiri dan mengembangkan keterampilannya.
Kepasifan ini akhirnya menghasilkan lulusan yang kurang kompeten, bahkan banyak lulusan IT yang menghindari melamar pekerjaan di bidang IT karena menganggapnya terlalu sulit. Hal ini menimbulkan pertanyaan, bagaimana mungkin sebuah universitas meluluskan seseorang yang tidak memiliki keahlian di bidangnya.
Pemerintah juga telah berupaya mengatasi masalah ini dengan menggandeng perusahaan-perusahaan untuk menyediakan pelatihan gratis seperti program digitalent dari Komdigi. Upaya ini dilakukan pemerintah untuk menggenjot kebutuhan talenta digital sebanyak 9 juta orang.
Walaupun berbagai upaya dilakukan, kita tidak bisa tutup mata bahwa banyak sekali orang memiliki gelar sarjana bidang IT di Indonesia. Sayangnya gelar tersebut sering tidak mencerminkan keahlian yang sebenarnya. Gelar sarjana seolah hanya menunjukkan bahwa kita membayar uang kuliah dan hadir di perkuliahan. Akibatnya, industri teknologi pun kesulitan merekrut tenaga kerja yang benar-benar siap.
Dengan semua permasalahan tersebut pada akhirnya peran pemerintah diharapkan untuk memastikan bahwa kampus-kampus memiliki mekanisme untuk tidak sembarangan dalam menerima mahasiswa hanya demi bisnis belaka sampai-sampai mengorbankan dari tujuan digelarnya pendidikan. Apabila siklus ini terus terjadi, Indonesia bisa saja terjadi inflasi lulusan IT --terlalu banyak lulusan namun sedikit yang terserap. Jika kondisi ini tidak diperbaiki, harapan 2030 untuk mencapai 9 juta talenta digital hanyalah mimpi belaka, dan Indonesia tetap menjadi negara yang hanya mengonsumsi teknologi tanpa mampu memproduksinya sendiri.
Rifqi Firdausi Arafadh lulusan Teknik Informatika Universitas Duta Bangsa Surakarta
Hoegeng Awards 2025
Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu