Imlek di Asia Tenggara, Lempar Jeruk Sampai Mandi Air Rebusan Ketumbar

1 month ago 32

Baca dalam bahasa Inggris.

Suhana Lim adalah peranakan Tionghoa-Indonesia generasi kedua yang sekarang bermukim di Melbourne, Australia. Keluarganya berasal dari provinsi Fujian, China dan bermigrasi sekitar tahun 1950-an ke Jakarta, Indonesia.

"[Ayah saya] turun di Pelabuhan Tanjung Priok dari kapal laut yang membawanya selama berminggu-minggu mengarungi lautan menuju Indonesia," kata Suhana.

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Sebagai generasi kedua dari peranakan Tionghoa, Imlek memiliki makna besar bagi Suhana yang biasanya diisi dengan berkumpul bersama keluarga, menikmati hidangan khas, dan membagikan angpao.

Pada tahun 1997, Suhana pindah dari Jakarta ke Melbourne.

Tahun tersebut menandai gelombang besar migrasi warga Tionghoa-Indonesia ke luar negeri akibat krisis moneter yang diikuti gelombang kerusuhan di Indonesia.

Meskipun kini tinggal jauh, Suhana tetap melestarikan tradisi Imlek yang dulu ia jalani di Indonesia.

Makanan wajib vs terlarang saat Imlek

Bagi Suhana, perayaan Imlek tidak lengkap tanpa dua hidangan penting: babi dan teripang, yang lebih umum disebut hoisom atau haishen (海参) dalam dialek Hakka.

Kedua masakan tersebut biasanya dihidangkan pada makan malam keluarga yang disebut reunion dinner atau 團年飯, yang dilakukan pada malam sebelum Imlek.

Menurut Suhana, tradisi makan babi dan teripang pada perayaan Imlek berakar dari kepercayaan dalam perayaan Imlek hanya makanan terbaik yang harus disajikan.

"Nah, makanya ada hidangan teripang, itu kan mahal dan eksklusif bukan sesuatu yang bisa kamu beli setiap saat," ujarnya.

Suhana juga menjelaskan bahwa jenis makanan yang menjadi tradisi saat Imlek bisa berbeda di setiap daerah.

"Di daerah-daerah lain ada makanan jenis lain yang dianggap mewah. Kalau di beberapa tempat, harus ada ikan bandeng karena dianggap hidangan mahal ... ada juga abalon (baoyu; 鲍鱼), yang juga dianggap mewah," kata Suhana.

Tetapi, ada juga makanan yang tidak boleh ada saat perayaan Imlek, seperti adalah buah Li, atau lebih dikenal dengan buah pir.

"Itu karena buah pir (梨; li) homonim dengan kata berpisah (离; li). Jadi, kita enggak mau dalam suasana bahagia, kita berpisah dengan orang," katanya.

'Membersihkan' tubuh dengan rebusan ketumbar

Lain di Indonesia, lain pula di Vietnam.

Hannah Le, warga Vietnam yang tinggal di Hanoi, mengatakan Imlek bagi warga Vietnam adalah Tt Nguyn n atau Tahun Baru Vietnam -- bukan tahun baru China.

Ia mengatakan Tahun Baru Vietnam adalah "hari libur terpenting bagi masyarakat Vietnam."

Salah satu tradisi unik yang hanya dilakukan oleh warga di daerah utara Vietnam untuk menyambut Tahun Baru adalah mandi dengan air rebusan ketumbar.

Tradisi ini dilakukan pada malam sebelum Tahun Baru Vietnam dan dipercaya dapat memurnikan tubuh serta membuang sial.

"Kamu bisa mencium aroma ketumbar di seluruh kota," kata Hannah.

Hannah pertama kali melakukan tradisi ini karena semua orang di sekitarnya melakukannya, tanpa pernah menanyakan alasan di baliknya.

"Saya enggak berpikir apa-apa, aku melakukannya karena aroma ketumbar enak sekali," tutur Hannah sambil tertawa.

Namun, setelah berbincang dengan teman-temannya yang berasal dari bagian Selatan Vietnam, ia menyadari bahwa tradisi mandi dengan air rebusan ketumbar ini hanya dilakukan di bagian utara Vietnam.

"Saat saya menanyakan hal ini kepada orangtua saya mereka bilang mungkin karena di utara Vietnam, pada saat tahun baru, cuaca biasanya sangat dingin dan ketumbar bisa menghangatkan tubuh," kata Hannah.

Dari teman-temannya juga, Hannah mempelajari bahwa warga Vietnam di bagian selatan menggunakan sayuran yang berbeda untuk menyambut tahun baru.

Di sana, peria atau yang lebih dikenal dengan pare lebih sering dipilih sebagai makanan khas perayaan tersebut.

"Mereka memasak sup pare karena dalam bahasa Vietnam, kata pare diucapkan 'kho qua' yang berirama dengan kata untuk kesulitan (kho)," katanya.

Warga Vietnam selatan percaya bahwa dengan merebus pare, mereka juga akan "menghilangkan semua kesulitan di tahun sebelumnya" dan mereka tidak akan menghadapi kesulitan lagi di tahun yang baru.

Lempar jeruk saat Cap Goh Meh

Masih di kawasan Asia Tenggara, negeri jiran Malaysia punya tradisi yang tak kalah menariknya.

Markus Chek adalah warga negara Malaysia keturunan Tionghoa generasi keempat.

Kakek buyutnya berasal dari Provinsi Guangxi di Tiongkok, kemudian pindah ke Singapura sebelum akhirnya pindah ke Kedah, Malaysia.

Salah satu kenangan paling awal Markus Chek tentang perayaan Imlek adalah tradisi di hari ke-15, yang dikenal sebagai hari terakhir perayaan Imlek atau 'Cap Goh Meh'.

Bersama keluarganya, ia pergi ke sungai di kawasan Pekan Cina, Kedah untuk mengikuti tradisi yang dilakukan oleh warga setempat.

Tradisi tersebut adalah dengan menulis harapan di kulit jeruk sebelum melemparkannya ke sungai, atau air yang mengalir.

"Di sana ada banyak orang Jeruk dijual di mana-mana. Beberapa bahkan menjual jeruk yang sudah ditulisi harapan di kulitnya, seperti 'kesehatan yang baik', 'kekayaan melimpah', atau 'keberuntungan', dan sebagainya," kata Markus.

Markus, yang saat itu baru berusia delapan tahun, berharap bisa mendapatkan nilai A di 10 mata pelajaran.

Sama seperti Hannah, Markus hanya menjalankan tradisi tanpa pernah benar-benar yakin alasan di baliknya.

"Saya tidak benar-benar memahami konsep mengapa orang membuang jeruk ke sungai Saya sempat bertanya kepada keluarga saya, dan mereka mengatakan bahwa ini adalah tradisi jadi kami ikut saja seperti semua orang," katanya.

Tapi menurut Shirley Chan, dosen studi China di Macquarie University, tradisi melempar jeruk ke sungai atau laut dibawa oleh komunitas Tionghoa Hokkien yang bermigrasi dari Fujian, China ke Malaysia, pada masa lampau.

Tradisi ini meyakini bahwa perempuan lajang yang melempar jeruk ke dalam air dapat membantu mereka menemukan pasangan hidup.

"Ada lagu rakyat Fujian yang menyebutkan bahwa melempar jeruk dapat membantu seseorang menemukan suami yang baik," tambah Shirley.

Namun menurut Markus, tradisi ini kini bisa diikuti semua orang, tidak hanya untuk perempuan, dan bukan hanya untuk alasan perjodohan.

Walau sudah lama setelah Markus melakukan tradisi ini, tahun ini Markus mungkin akan melakukannya lagi.

"Saya percaya [dengan tradisi itu] dalam batas tertentu. Rasanya seperti membuat permohonan ke sumur harapan."

Keberagaman tradisi yang harus dijaga

Walau setiap wilayah di Asia Tenggara memiliki tradisi Imleknya masing-masing, ada pula persamaannya.

Markus, Suhana, dan Hannah sama-sama menjalankan tradisi membersihkan rumah sebelum Imlek, serta mengenakan pakaian berwarna merah.

Shirley menambahkan, meski perayaan Imlek telah berkembang, nilai-nilai inti seperti kebersamaan, rasa syukur, dan doa tidak berubah.

Pada 4 Desember 2024, perayaan Imlek secara resmi ditetapkan sebagai bagian dari Intangible Cultural Heritage UNESCO.

Di lamannya UNESCO menjelaskannya bahwa penetapan tersebut bertujuan untuk menjaga keberagaman tradisi dan praktik budaya bagi generasi mendatang.

Shirley menambahkan, pengakuan UNESCO ini menunjukkan betapa signifikannya keberagaman budaya dan tradisi Imlek yang dirayakan secara global setelah "beradaptasi dengan banyak budaya lokal", salah satunya di Asia Tenggara.

"Imlek tidak hanya sebagai perayaan Tionghoa sekarang, tetapi juga momen multikultural yang penting di banyak wilayah."

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial