Idul Fitri, Komunikasi, Empati

3 days ago 10

Jakarta - "Mereka adalah kita." Ucapan itu dilontarkan oleh Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern kepada masyarakat Muslim negara tersebut yang mengalami teror. Dalam momen khusus saat menyambangi area penembakan masjid di Christchurch, Ardern pun tampak mengenakan kerudung.

"I feel your pain," ujar mantan presiden Amerika Serikat Bill Clinton saat merespons seseorang yang mencemaskan penyebaran masif penyakit AIDS.

Bahkan ungkapan tokoh spiritual Mahatma Gandhi yang terlontar setidaknya 100 tahun silam membuatnya terus dikenang hingga kini: "Cara terbaik untuk menemukan diri sendiri adalah meleburkan dirimu untuk membantu orang lain."

Selama berpuluh-puluh tahun, empati telah menjadi topik penelitian para ahli kejiwaan. Beberapa peneliti membedakan dua komponen empati: komponen kognitif yang melibatkan kemampuan individu untuk mengidentifikasi, membedakan, atau memahami keadaan orang lain—kemampuan untuk mengadopsi perspektif orang lain—dan komponen afektif yang melibatkan kemampuan untuk berbagi pengalaman emosional orang lain.

Bagi orang awam, empati dapat dimaknai secara sederhana berupa satu perasaan yang bisa menyelami penderitaan orang lain. Kita mampu mendudukkan rasa dan pikiran diri sesuai dengan situasi dan kondisi yang dialami oleh orang lain.

Maka, ketika ada sebagian kalangan yang merasa tercekik akibat PHK massal, kesulitan mencari kerja akibat adanya kebijakan efisiensi anggaran, hingga harga bahan kebutuhan pokok yang terus meroket, sementara kalangan lain justru memilih untuk mengadakan rapat-rapat di hotel mewah ketimbang berada di tempat yang semestinya, tak berlebihan bila label yang muncul adalah nirempati.

Layaknya sebuah antitesis, nirempati dapat dimaknai sebagai keengganan atau ketidakmampuan seseorang untuk merasakan dan memahami penderitaan orang lain. Dari rasa nirempati yang terus-menerus dipraktikkan pun kini memunculkan istilah yang belakangan merebak: tone deaf.

Tone deaf atau "tuli nada", yang juga dikenal sebagai amusia, merupakan kondisi saat seseorang mengalami kesulitan memahami atau membedakan perbedaan nada musik. Dengan kondisi ini, mereka mengalami kesulitan mengenali melodi, mengetahui apakah satu nada lebih tinggi atau lebih rendah dari nada lainnya, atau susah pula untuk bisa bernyanyi dengan selaras.

Dalam konteks komunikasi publik, tone deaf merujuk pada ketidakmampuan seseorang untuk membaca situasi sosial dan memahami sensitivitas publik. Berawal dari rasa nirempati yang kental hingga berujung pada tuli nada, terlontarlah kata-kata yang jauh dari kemampuan untuk bisa merasakan situasi dan sensitivitas masyarakat. Padahal, kata-kata yang diproduksi manusia sudah melalui proses yang panjang sebelum terucapkan.

Secara sederhana, saat ingin memproduksi kata, otak sudah merencanakan pesan dan memilih kata-kata. Proses pembelajaran bahasa sejak kecil memungkinkan manusia untuk mampu mengakses dan menggunakan kata-kata secara cepat yang biasa disebut dengan istilah memori linguistik.

Ada pula proses neuroplastisitas yang terjadi saat otak beradaptasi dan memperbarui jaringan saraf berdasarkan pengalaman dan pembelajaran baru yang akhirnya mampu mempengaruhi kemampuan manusia memproduksi kata-kata.

Tanpa rasa empati serta diiringi dengan minim rasa sensitif terhadap situasi orang di luar dirinya, kata-kata yang diucapkan pun sangat bisa terdengar menohok. Simplifikasi kata semacam "dimasak saja" untuk teror yang justru dirasakan memberangus kebebasan pers atau "jangan makan pedas dulu" untuk merespons harga cabai yang terus melambung terasa sangat jauh dari rasa empati.

Idul Fitri bisa menjadi momentum untuk bisa mengasah rasa empati dan kepedulian kita terhadap sesama. Puasa pada bulan Ramadhan menjadi ajang latihan satu bulan penuh untuk lebih mafhum dan mampu merasakan penderitaan dan kesulitan yang dialami orang lain.

Idul Fitri merupakan ajang yang tepat untuk melakukan introspeksi diri dan meningkatkan kepedulian. Sesungguhnya memiliki hati yang bersih, penuh kasih sayang, dan peduli terhadap orang lain adalah fitrah manusia yang sejati. Inilah saatnya kita bisa menghadirkan Idul Fitri yang manusiawi yang menekankan empati, kesetaraan, dan kepedulian sosial.

Saat Idul Fitri yang dimaknai sebagai hari kemenangan, kita diharapkan bisa menaklukkan rasa ego dan mencapai karakter yang melekat pada orang-orang yang takwa yaitu memiliki rasa cinta dan empati pada sesama manusia. Tidak hanya lewat tindakan dan perbuatan, tetapi juga memikirkan kata-kata apa yang tepat untuk disampaikan saat momen silaturahmi atau membuat pernyataan di depan publik.

Karena sejatinya kata-kata yang penuh empati bisa terungkap lewat hati dan pikiran yang bersih.

Natalia Endah Hapsari, M.I.K dosen Ilmu Komunikasi Universitas Pamulang, praktisi media (mmu/mmu)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial