Jakarta -
Di tengah riuh rendah notifikasi WhatsApp yang terus berdering setiap hari, Idul Fitri yang dahulu lekat dengan tradisi mudik, jabat tangan, dan silaturahmi dari rumah ke rumah, kini telah beradaptasi dengan pola komunikasi baru. Kemajuan teknologi yang kian pesat tak hanya mengubah cara kita berinteraksi, tetapi juga mengkonstruksi makna kebersamaan dalam merayakan hari raya.
Idul Fitri kini tak lagi sekadar tentang gemerisik langkah kaki menyusuri jalan-jalan kampung atau aroma opor dan ketupat yang semerbak memenuhi udara. Idul Fitri kini telah bertransformasi menjadi mosaik komunikasi digital: ucapan selamat hari raya dikirim lewat pesan broadcast di WhatsApp dan Telegram, amplop THR berganti menjadi kode QR, dan sungkem secara fisik yang menjadi tradisi beralih ke panggilan video.
Perubahan ini bukan sekadar pergeseran media, tetapi juga mencerminkan transformasi budaya. Dalam teori mediatisasi, Couldry dan Hepp menyebutkan bahwa teknologi bukan lagi alat pasif, melainkan agen yang membentuk ulang makna tradisi. Silaturahmi fisik yang dulu dianggap sakral perlahan tergeser oleh efisiensi dunia virtual. Namun, apakah esensi "memaafkan" dan "kebersamaan" tetap utuh ketika direduksi menjadi sekadar emoji tangan terkatup atau pesan templatis di grup keluarga?
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Mudik Digital: Menyapa Lewat Gawai
Idul Fitri pada masa tahun 2000-an mungkin masih diwarnai dengan antrean panjang di terminal bus, bercengkerama dengan sepupu di teras rumah, atau menyusuri rumah tetangga satu per satu untuk bersalaman. Komunikasi tradisional ini bersifat multisensorik: ada pelukan hangat, senyum yang terpancar tulus, dan bahkan aroma khas masakan Lebaran yang melekat di memori.
Kini, semua itu terkompresi menjadi notifikasi singkat. Bahkan, tradisi mudik mengalami metamorfosis: dengan fitur live streaming, para perantau bisa "pulang kampung" secara virtual melalui tayangan suasana desa di YouTube untuk sekadar mengobati rindu akan kampung halaman.
Dalam perspektif Social Presence Theory yang dikemukakan oleh John Short, Ederyn Williams, dan Bruce Christie pada 1976, komunikasi virtual memiliki tingkat kehadiran sosial yang lebih rendah dibandingkan komunikasi tatap muka secara langsung.
Ucapan "Mohon Maaf Lahir dan Batin" yang seharusnya disampaikan dengan tatap mata dan suara bergetar, bisa kehilangan nuansa ketika menjadi pesan massal.
Namun, di sisi lain, teknologi justru menjadi jembatan bagi mereka yang terpisah oleh jarak, baik pekerja migran Indonesia di luar negeri maupun perantau di dalam negeri yang tak dapat pulang karena keterbatasan biaya atau kondisi lainnya.
Mencari Ruh Silaturahmi di Tengah Disrupsi
Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, Nabi Muhammad pernah bersabda, "Barangsiapa yang ingin diluaskan rezekinya dan dipanjangkan umurnya, hendaklah ia menyambung silaturahmi."
Pertanyaannya: apakah "silaturahmi digital" tetap memiliki keutamaan memanjangkan umur dan rezeki, setidaknya dalam makna metaforis?
Dalam teori Media Ecology yang dikemukakan oleh Neil Postman, setiap media komunikasi membawa pesan tersembunyi yang mempengaruhi makna dan pola interaksi manusia. Komunikasi digital mungkin memperluas jangkauan silaturahmi, tetapi berisiko mengubahnya menjadi sekadar transaksi simbolik yang dangkal.
Namun, bukan berarti tradisi harus ditinggalkan. Seperti puasa yang melatih komunikasi intrapersonal, Idul Fitri pada era digital seharusnya menjadi momentum refleksi: bagaimana menjaga keikhlasan dalam meminta maaf di tengah banjir pesan massal.
Merajut Makna di Antara Dua Dunia
Idul Fitri mengajarkan bahwa memaafkan bukanlah proses instan, melainkan komunikasi yang penuh kesadaran. Di tengah gesekan antara tradisi dan modernitas, kita ditantang untuk menjadi gatekeeper bagi nilai-nilai esensial: memilih kapan harus mengirim pesan singkat, dan kapan perlu mengetuk pintu rumah untuk bersalaman.
Seperti halnya puasa yang melatih pengendalian diri, mungkin ini saatnya kita "berpuasa" sejenak dari scroll media sosial, lalu menggunakan teknologi bukan untuk menggantikan, tetapi memperdalam makna halal bihalal. Karena di balik stiker bedug masjid dan ketupat terbang, yang kita rindukan tetap sama: kehangatan manusia yang tak bisa sepenuhnya direplikasi oleh algoritma.
Aditya Angga mahasiswa Magister Ilmu Komunikasi Universitas Mercu Buana Jakarta
(mmu/mmu)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini