Ibu Saya Ditahan Tapi Divonis Bebas, Apakah Bisa Minta Ganti Rugi?

1 month ago 28

Jakarta -

Penahanan haruslah dilaksanakan sesuai peraturan yang berlaku. Bagaimana bila ternyata yang ditahan tidak bersalah? Apakah bisa meminta ganti rugi?

Hal itu menjadi pertanyaan pembaca:

Ibu saya sudah menjalani penahanan oleh putusan pengadilan, tetapi putusan Mahkamah Agung (MA) bebas. Bagaimana?

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Untuk menjawab pertanyaan pembaca detik's Advocate di atas, kami meminta pendapat advokat Patra M Zen. Berikut penjelasan lengkapnya:

Yang saya pahami seseorang telah selesai menjalani putusan pengadilan, asumsinya terdakwa ditahan, lalu MA memutus perkaranya dengan putusan bebas. Maka paling tidak ada dua topik yang perlu dijelaskan.

Pertama, soal penahanan dalam perkara pidana dan kedua soal ganti rugi dan rehabilitasi akibat penahanan.

Dalam perkara pidana, penyidik dan penuntut umum dapat melakukan penahanan terhadap seseorang tersangka/terdakwa. Mengapa saya katakan pakai kata dapat ditahan? Karena penahanan itu sebenarnya tidak wajib. Untuk menegakkan hukum pidana materiil, maka dibutuhkan aturan main yang disebut hukum acara pidana.

Penahanan berdasarkan KUHAP dapat diartikan penempatan tersangka/terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik, penuntut umum, atau hakim dengan penetapan yang diatur dalam KUHAP.

Pasal 21 KUHAP mengatur penahanan dapat dilakukan oleh penyidik, penuntut umum, atau hakim jika dipenuhi syarat-syarat penahanan, bila dikhawatirkan akan melarikan diri atau menghilangkan barang bukti atau dikhawatirkan akan mengulangi tindak pidana lagi. Syarat ini disebut syarat subjektif. Maksudnya, berdasarkan subjektivitas penyidik, penuntut umum atau majelis hakim yang menyidangkan di pengadilan.

Ada lagi yang disebut syarat objektif. Yaitu syarat objektif yang didasarkan jenis tindak pidana apa yang dapat dilakukan penahanan. Dari syarat ini, jelas tidak semua tindak pidana bisa dikenakan penahanan terhadap tersangka/terdakwa. Yaitu yang ancamannya maksimal 5 tahun ke atas serta yang disebutkan limitatif (Pasal 21 ayat 4 huruf d KUHAP).

Sekarang saya masuk ke dalam pokok masalahnya.

Maka, saya akan memasuki topik kedua. Rehabilitasi dan ganti rugi akibat penahanan. Setiap orang yang diputus lepas/bebas berhak mendapatkan rehabilitasi.

Secara lengkap pengertian rehabilitasi adalah hak setiap orang untuk mendapatkan pemulihan hanya dalam kemampuan, kedudukan, dan harkat serta martabatnya yang diberikan pada tingkat penyidikan, penuntutan atau peradilan karena ditangkap, ditahan dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasar UU atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukumnya yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam KUHAP.

Selain memiliki hak rehabilitasi, yang bersangkutan juga berhak memperoleh ganti kerugian. Permohonan ganti kerugian diajukan dalam permohonan praperadilan karena ruang lingkup peradilan mencakup juga alasan karena tersangka, terdakwa, atau terpidana atau ditahan dituntut atau diadili atau dikenakan tindak pidana lain-lainnya.

Pertanyaannya, siapa yang yang dapat melakukan ganti rugi? Tentu orang yang mengalami penahanan itu.

Di tingkat penyidikan/penuntutan, tanpa diajukan ke pengadilan itu juga bisa. Dikenal penghentian penyidikan atau penuntutan. Maka terhadap hal yang dialami orang tersebut, yang bersangkut dapat melakukan permohonan ganti kerugian

Pasal 9 ayat 1 UU 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan:

Setiap orang yang ditangkap, ditahan, dituntut, atau diadili tanpa alasan berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkannya, berhak menuntut ganti kerugian dan rehabilitasi.

Mengenai besaran pembayaran ganti rugi, sebenarnya sudah diatur dalam Peraturan Pemerintah 27/1983 yang sudah diubah dengan PP Nomor 92/2015 tentang Pelaksanaan KUHAP.

Saya bisa sampaikan contoh permohonan ganti kerugian di PN Jaksel Nomor 05/Pra/1982. Amar putusannya pada waktu itu pemohon diberi ganti rugi Rp 3.000 karena selama 51 hari berada dalam penahanan yang tidak sah. Putusan ini jauh sebelum ada peraturan besaran ganti kerugian.

Kalau dalam PP 92/2015, maka penetapan besaran ganti kerugian paling sedikit Rp 500 ribu dan paling banyak Rp 600 juta.

Demikian penjelasan dari saya

Semoga bermanfaat.

Patra M Zen


Tentang detik's Advocate

detik's Advocate adalah rubrik di detikcom berupa tanya-jawab dan konsultasi hukum dari pembaca detikcom. Semua pertanyaan akan dijawab dan dikupas tuntas oleh para pakar di bidangnya.

Pembaca boleh bertanya semua hal tentang hukum, baik masalah pidana, perdata, keluarga, hubungan dengan kekasih, UU Informasi dan Teknologi Elektronik (ITE), hukum merekam hubungan badan (UU Pornografi), hukum internasional, hukum waris, hukum pajak, perlindungan konsumen dan lain-lain.

Identitas penanya bisa ditulis terang atau disamarkan, disesuaikan dengan keinginan pembaca. Seluruh identitas penanya kami jamin akan dirahasiakan.

Pertanyaan dan masalah hukum/pertanyaan seputar hukum di atas, bisa dikirim ke kami ya di email: [email protected] dan di-cc ke-email: [email protected]

Pertanyaan ditulis dengan runtut dan lengkap agar memudahkan kami menjawab masalah yang anda hadapi. Bila perlu sertakan bukti pendukung.

Semua jawaban di rubrik ini bersifat informatif belaka dan bukan bagian dari legal opinion yang bisa dijadikan alat bukti di pengadilan serta tidak bisa digugat.


(asp/yld)

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial