Hilirisasi Sagu Menopang Pangan Masa Depan

6 days ago 14

Jakarta -

Presiden Prabowo Subianto resmi meneken Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 12 Tahun 2025 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2025–2029 yang berisi 77 proyek strategis nasional (PSN). Salah satu PSN yang cukup spesifik dan menarik adalah program hilirisasi sagu, singkong, ubi Jalar dengan fokus proyek; pertama, penguatan penyediaan bahan baku hilirisasi tepung sagu dan singkong; kedua, pengembangan industri sagu. Pelaksana proyek adalah Kementerian Pertanian dengan menggandeng swasta dengan lokasi di Papua, Sumatera, Jawa, dan Nusa Tenggara.

Upaya hilirisasi sagu sesuatu yang lama sudah ditunggu. Ibarat membangkit batang terendam sektor yang selama ini terlupakan. Sagu menjadi pangan lokal potensial selama ini memang terabaikan. Sebelum 1970, pangan pokok alternatif sangat besar peranannya dalam pencukupan penyediaan pangan nasional, sehingga menjadi penyangga penting ketahanan pangan nasional (Ade, 2022).

Potensi yang Luar Biasa

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Indonesia memiliki potensi sagu yang luar biasa. Luas lahan sagu Indonesia terbesar di dunia. Data 2023, dari 6,5 juta ha lahan sagu di seluruh dunia, sebesar 5,4 juta ha berada di Indonesia dan lebih dari 95 persen terfokus di wilayah Papua (5,3 juta ha). Selebihnya ada di Maluku, Sumatra, dan Nusa Tenggara. Potensi pengembangan lahan sagu di Indonesia baru dimanfaatkan sekitar 6 persen dengan produksi tidak lebih dari 500.000 ton. Sekitar 80 persen diproduksi di Provinsi Riau (80 persen) dan lebih dari 95 persen pengusahaan sagu berasal dari perkebunan milik rakyat (Syartiwidya, 2023).

Tanaman sagu disebut tumbuhan guna karena memiliki banyak manfaat. Sagu memiliki kandungan gizi tinggi karbohidrat setara beras. Sebagai bahan pangan sagu dapat mengurangi ketergantungan terhadap impor terigu, impor beras, dan sebagai bahan non pangan sagu juga dapat mengurangi impor bahan untuk industri farmasi. Sagu juga sebagai sumber energi terbarukan, yaitu bioetanol.

Selain itu sebagai non pangan, limbah sagu juga memberikan banyak manfaat, seperti kulit batang sebagai lantai rumah, jalan dan kayu bakar, pelepah sebagai atap rumah, dan ampas empulur sebagai pakan ternak, bahan perekat, briket arang, papan partikel dan bahan pembuat kompos. Manfaat lain sagu juga bagi lingkungan sebagai pengatur tata air tanah mengatur serapan air, dan pengendalian pemanasan global atau kebakaran hutan.

Potensi sagu dilihat dari konsumsinya sebagai pangan lokal diharapkan dapat diolah dalam berbagai bentuk olahan sehingga konsumsi sagu dan olahannya meningkat. Dalam jangka panjang dapat mengurangi tingginya impor terigu (8.1 juta ton) dan tingginya konsumsi beras (114 kg/kap/tahun). Sagu dimanfaatkan sebagai bahan pangan yang diolah dari pati sagu menjadi berbagai makanan seperti mi sagu, lempeng sagu, sempolet, kerupuk sagu, bihun, cendol sagu, gobak, ongol-ongol dan lain-lain.

Sagu merupakan tanaman asli Indonesia yang mempunyai potensi besar sebagai penyuplai kebutuhan karbohidrat sebagai pengganti beras. Potensinya yang besar juga berlaku sebagai sumber pakan ternak, sumber bahan pangan industri, dan sumber energi. Sagu juga terkenal sebagai bahan pangan masa depan yang ramah lingkungan karena pembudidayaannya relatif tidak merusak lingkungan. Namun pada kenyataannya perkembangan sagu masih lambat dibanding produk pangan lainnya.

Masih Terhambat

Mengutip Santoso (2017), pengembangan sagu di Indonesia masih terhambat oleh beberapa kendala, antara lain kurangnya perhatian pemerintah, terbatasnya pasar bagi pangan sagu dan produk olahannya, pemanfaatan teknologi pengolahan sagu di tingkat lokal masih sederhana. Selain itu kurangnya investasi pemerintah dan swasta terhadap sumber daya alam sagu. Hal lain adalah beratnya persaingan pangan sagu terhadap sumber pangan lainnya, dan hutan atau medan sagu sulit dijangkau.

Kendala-kendala inilah yang mesti dituntaskan dalam PSN yang digawangi Kementerian Pertanian ini. Di daerah seperti Papua, Maluku, Lingga di Kepulauan Riau, sagu masih diolah secara sederhana dengan hasil tepung sagu. Produk tepung sagu dipasarkan untuk diolah menjadi bahan berbagai jenis kuliner. Pengolahan lebih modern ada di Kabupaten Meranti, Provinsi Riau yang memiliki sejumlah pabrik pengolahan sagu.

Hilirisasi sagu konsepnya adalah proses pengolahan sagu dari bentuk tepung menjadi produk olahan yang memiliki nilai tambah lebih tinggi. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan daya saing produk sagu Indonesia di pasar domestik dan internasional. Beberapa produk olahan sagu yang dapat dihasilkan antara lain tepung sagu, dan makanan siap saji.

Meskipun memiliki potensi yang besar, proyek hilirisasi sagu juga menghadapi berbagai tantangan. Di sejumlah wilayah penghasil sagu seperti Papua, infrastruktur masih terbatas sehingga menyulitkan dalam pengolahan dan pemasaran sagu. Perkebunan sagu yang ada mayoritas perkebunan rakyat yang pengolahannya sederhana. Usia tanaman sagu di sejumlah wilayah juga banyak yang tua sehingga perlu peremajaan. Petani sagu selama ini tidak mendapatkan akses terhadap teknologi modern dan pengetahuan tentang budidaya dan pengolahan sagu yang efisien.

Meski banyak tantangan, masa depan hilirisasi sagu bakal cerah. Pemerintah telah mencanangkan hilirisasi sebagai salah satu program strategis, sehingga ada peluang untuk mendapatkan dukungan dalam bentuk kebijakan dan pendanaan. Usaha sagu diyakini masa depan bakal menjanjikan karena dengan meningkatnya kesadaran akan pentingnya pangan lokal dan sehat. Permintaan terhadap produk sagu diperkirakan akan terus meningkat.

Inovasi Produk

Dengan hilirisasi, harapannya terjadi inovasi produk sagu. Dengan adanya proyek hilirisasi, diharapkan dapat meningkatkan produktivitas dan kualitas sagu yang dihasilkan, serta memberikan dampak positif bagi perekonomian lokal. Mengembangkan produk olahan sagu yang inovatif dan menarik dapat menarik minat konsumen, baik di dalam negeri maupun luar negeri. Keberhasilan proyek hilirisasi sagu tidak hanya bergantung pada pemerintah, tetapi juga memerlukan peran aktif dari masyarakat dan stakeholder lainnya.

Masyarakat lokal harus dilibatkan dalam setiap tahap proyek, mulai dari perencanaan hingga pelaksanaan. Masyarakat daerah penghasil sagu seperti Papua, Maluku, Nusa Tenggara, Meranti di Riau dan Lingga di Kepulauan Riau memiliki kearifan lokal terkait sagu. Hal ini juga menjadi faktor kunci kesuksesan hilirisasi sagu. Bagi mereka, sagu sudah menjadi tanaman kultural. Kementerian Pertanian perlu menggandeng lembaga penelitian seperti Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), universitas, dan sektor swasta dalam mengembangkan teknologi dan inovasi khususnya dalam pengolahan sagu.

Dedi Arman peneliti Pusat Riset Kewilayahan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN)

(mmu/mmu)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial