Jakarta -
Konsep demokrasi modern, oleh banyak kalangan dipahami sebagai cara pengelolaan pemerintahan atau negara dengan cara-cara tanpa kekerasan. Pemahaman seperti itu didasari oleh adanya kesetaraan hak antar warga negara secara politik dalam mengelola pemerintahan. Namun pada abad ke 20, praktek demokrasi tampak mendapat tantangan serius, yaitu tindakan kekerasan yang berupa pembantaian etnis, kekerasan rasial, kekerasan komunal dan bahkan perang.
Michael Mann dalam bukunya The Dark Side of Democracy: Explaining Ethnic Cleansing (2005) menyatakan gejala maraknya kekerasan di abad 20 itu sebagai sisi gelap dari demokrasi. Sisi gelap itu terjadi karena adanya tindakan pembersihan dengan pembunuhan (murderous cleansing) terhadap kelompok yang dianggap berbeda, baik karena etnis, ras, agama atau bahkan bahasa.
Tindakan pembersihan dengan pembunuhan itu terjadi karena dalam politik moderen pengertian tentang rakyat (the people) tidak semata-mata tentang "orang biasa", melainkan juga bermakna bangsa (nation) atau etnik group (ethnos). Di kala, pengertian the people menjadi nation atau ethnos, maka demokrasi yang awalnya dipahami sebagai pemerintahan oleh rakyat (rule by the people) akan menjadi pemerintahan oleh kelompok etnis (rule bynation/ethnos) tertentu. Dalam konteks ini, nationalisme bisa menjadi sangat berbahaya, ketika dimaknai dengan mempolitisasi etnis, atau dibentuk dengan menyingkirkan perbedaan. Sebab nation state dalam banyak kasus dilihat Michael Mann berupaya mewujudkan kesatuan etnis, ras atau agama, dengan mengancam keanekaragaman atau pluralitas. Pada hal demokrasi beranjak dari ide untuk melindungi keberagaman, dengan hak yang setara antar semua warga negara.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Gejala nation state yang membawa prilaku pembersihan dengan pembunuhan itu di lihat Mann hadir dari cara memaknai "Kita, Sang Rakyat" (We, the People). Versi pertama dari "Kita, Sang Rakyat" adalah versi liberal seperti yang disebut dalam pembukaan Konstitusi Amerika, yaitu sebagai kolektivitas moral dan kebaikan. Namun ketika dua makna dari "the people" yaitu demos dan ethnos digabungkan maka akan muncul masalah kepada etnis yang berbeda, tetapi hidup dalam wilayah yang sama. Artinya warga atau "the people" yang merasa sama dan memiliki keistimewaan akan melakukan cara-cara diskriminatif terhadap warga yang etnis-nya berbeda. Atau dengan kata lain etnis yang berbeda akan dikeluarkan atau akan dibersihkan dari "the people" yang menjadi warga istimewa.
'Kita, sang Rakyat" dalam versi liberal dalam sejarahnya juga terbentuk dari masyarakat yang berstrata. Dalam masyarakat yang berstrata fungsi negara menjadi mediator dan mengkompromikan perbedaan kepentingan yang bersaing. Jadi bukan untuk menghilangkan persaingan atau membersihkannya. Hal itu terjadi karena leberalisme menekankan kebebasan individu, dan melindungi hak asasi manusia. Namun praktek dalam sejarahnya tidak lah seperti itu, Mann mencatat, dalam demokrasi liberal, perlindungan akan hak-hak kelompok tampak lebih penting. Artinya perjuangan kepentingan kelompok dan kelas telah menghasilkan orang-orang terstratafikasi. Stratafikasi "we, the people: itu adalah laki-laki berharta (interests). Para interest itu lah yang bersaing dan berkompromi dalam bingkai bangsa (a common stake in the nation". Mereka lah yang memiliki hak politik (active citizenship), sementara warga biasa (passive citezenship) tidak memiliki hak itu, meski pun memiliki hak hukum dan sipil. Jadi dalam liberalisme, rakyat itu bukan satu dan tak terpisahkan, melainkan rakyatnya itu bersifat jamak dan bertingkat-tingkat.
Versi kedua "we, the people" adalah versi organik yang muncul dari politik Austria. Dalam versi organik, "we, the people" dimaknai sebagai satu dan tak terpisahkan, bersatu, integral (one and indivisible, united, integral). Dengan konsep seperti itu, maka pelembagaan keberagaman dan konflik tidak diperlukan. Karena gerakan nasional diyakini bisa mewakili seluruh rakyat, dan melampaui seluruh kepentingan yang ada di masyarakat. Maka negara-bangsa (nation state) dipandang bisa menjadi agen yang dapat melampaui semua kepentingan.
Dengan konsep seperti itu, bangsa kemudian dimaknai sebagai "a community of people who are of a single origin, single physical type, single character, single language, single set of customs, and single culture of equal goal, and they constitute an organic whole in a coherent territory." Dari versi organik ini nasionalisme kemudian mengarah pada nasionalisme yang bersifat abadi dan bisa dibedakan dengan bangsa lain, hak kepada negara bisa diekspresikan sebagai nasionalisme secara utuh, serta adanya hak untuk menyingkirkan atau mengeluarkan kelompok yang berbeda dari dalam bangsa, karena perbedaan akan menjadi faktor pelemah bangsa.
Konsep nasionalisme organik itu kemudian menjadi tepat tumbuhnya fasisme dan negara otoriter, karena para politisinya terobsesi pada partai politik tunggal, anti negara multietnis, dan memandang sinis asimilasi. Nasionalisme jenis ini lah yang kemudian menjadi ancaman besar kepada orang-orang Yahudi dan anti Muslim di Eropa, terutama di Jerman dan negara-negara Eropa Timur. "Kita, sang Rakyat" versi organik ini kemudian melahirkan politik kekerasan dan pembunuhan di Eropa Timur di awal sampai pertengahan abad ke 20.
Dari dua versi itu, maka muncul juga dua konsep demokrasi, yaitu konsep demokrasi ala negara-negara Eropa Barat, yang menyerap kelompok kepentingan dan kelas ke dalam kewarganegaraan. Dalam demokrasi liberal, konflik dan keragaman dilembagakan, ketimbang ditekan. Sementara dalam demokrasi organik, etnis mayoritas memerintah, karena Pemilu menjadi seperti sensus etnis. Ujungnya adalah mendorong negara menjadi beretnis tunggal.
Jenis demokrasi lain yang dikemukakan oleh Michael Mann adalah demokrasi pendatang (settler democracy), yaitu jenis demokrasi yang dipraktikkan di tanah-tanah koloni oleh negara-negara liberal Eropa Barat, seperti di Spanyol-Meksiko, Australia, Amerika, Caucasus Rusia, dan Jerman di Afrika Barat Daya. Mann mengemukakan bahwa semakin demokrasi pendatang diterapkan di koloni secara de facto dan de jure, maka semakin keras pembunuhan pembersihan (murderous cleansing) dilakukan.
Demokrasi pendatang, kemudian disebut sebagai utilitarian genocide, karena konflik terjadi karena faktor ekonomi dalam rangka perebutan kepemilikan dan pemakaian tanah antara pemilik asli atau para penjajah. Untuk itu ada lima aktivitas ekonomi kolonial yang menyebabkan meningkatnya kekerasan pendatang kepada penduduk asli. Pertama, perdagangan. Dalam perdagangan, tanah penduduk asli tidak dikuasi oleh pendatang, karena jumlahnya sedikit, tetapi hanya berdagang dengan penduduk asli. Namun, arahnya terus kepada penaklukan. Kedua, penjarahan dan pengambilan upeti. Dalam penjarahan, sebagai titik awal penjajahan, terjadi pembunuhan besar-besaran dalam merampas kekayaan penduduk asli. Tetapi untuk mendapatkan upeti, pendatang tidak melakukan kerasan yang masif, karena membutuhkan orang yang hidup agar bisa terus memberikan upeti. Pembersihan etnis tidak terjadi. Artinya tidak melakukan kontrol atas tanah atau tenga kerja. Ketiga, pendudukan dengan tenaga kerja yang tersebar, untuk perkebunan skala kecil dengan tenaga kerja penduduk asli yang tersebar. Pada tahap awal penguasaan tanah bisa terjadi kekerasan. Keempat, pendudukan dengan konsentrasi tenaga kerja, terutama untuk pertambangan dan perkebunan besar. Fase ini terjadi sangat brutal, karena penduduk asli akan dipaksa kerja sampai mati. Tetapi pembunuhan perbersihan dilakukan tanpa disengaja, meski pun bisa menjadi etnosida. Kelima, pendudukan yang tidak membutuhkan tenaga kerja penduduk asli, karena tanah yang dikuasi dikerjakan oleh orang mereka sendiri.
Selain faktor ekonomi perebutan tanah, juga ada faktor kekuasaan politik (political power). Para kolonialis dalam menancapkan kekuasaannya politiknya kerap datang atas nama negara di Eropa. Namun klaim politik kolonialis akan monopoli tanah itu tidak mudah dilaksanakan, karena selalu ada perlawanan yang keras dari penduduk asli.Mann mencatat ada tiga bentuk pemaksaan klaim yang menimbulkan tingkat kekerasan yang berbeda. Pertama, ekstrateritorial, tanpa menaklukkan, tetapi melakukan perdagangan monopoli dengan hak istimewa. Meski pun ada terjadi kekerasan, tetapi tidak pembunuhan pembersihan etnis, karena penduduk setempat dianggap mitra bisnis. Kedua, pemerintahan tidak langsung, para kolonial melakukan penaklukan dengan bantuan petinggi pribumi, tetapi tidak kuat melakukan pemerintahan langsung sendiri. Pemerintah kolonial, hanya menerima upeti dari petinggi pribumi. Kekerasan dan pembersihan dilakukan secara terbatas. Ketiga, pemerintahan langsung, yaitu penyerahan sepenuhnya para penguasa pribumi dan rakyatnya kepada pemerintahan kolonial. Namun pemerintah kolonial mengaku pemerintahannya demokratis. Selain itu kekuatan militer dan ideologi juga menjadi faktor munculnya kekerasan dan pembunuhan pembersihan di wilayah koloni.
Jadi, pembersihan oleh pemerintahan kolonial di terhadap penduduk asli koloni mewakili sisi gelap pertama dari demokrasi modern yang kini sedang berkembang. Pembunuhan brutal yang dilakukan oleh pemerintah kolonial yang merasa menjalankan pemerintahan demokratis jauh lebih buruk. Demokrasi pemukiman (settler democracy), semakin eksklusivitas dan semakin buruk perlakuannya.
Settler democracy, adalah genocidal democracy di mata Mann. Hal itu disebabkan hampir di semua daerah koloni para pemukiman atau pendatang melakukan proses genocida secara langsung atau tidak langsung, meski pun di negara asalnya mereka mengaku menjalankan pemerintahan yang demokratis. Hal itu ditempuh oleh para Settler karena dalam menjalankan pemerintahan, mereka tidak membutuhkan penduduk asli, untuk melakukan monopoli ekonomi dan tanah. Hubungan kekuasaan ekonomi menjadi motor penggerak utama pembersihan kolonial (colonial cleansings). Kondisi kemudian diperburuk oleh ketidakseimbangan antara kolonial dan penduduk asli dalam bidang politik, teknologi militer dan ideologi. Para kolonial bisa dengan mudah melenyapkan orang pribumi dengan resiko moral dan politik yang rendah.
Mak dari itu sisi gelap demokrasi bisa dikatakan pertama datang dari konsep "we, the people" yang organik, karena menimbulkan gelombang pembunuhan massal dan pengusiran terhadap orang-orang yang dipandang berbeda secara etnik atau agama. Implikasinya adalah nation-state yang sumber dari kekerasan karena memusuhi perbedaan.
Sisi gelap lainnya dari demokrasi adalah praktek kolonialisme dari bangsa-bangsa yang mendaki menjalankan demokrasi, tetapi yang menimbulkan genocida di daerah koloni yang mereka kuasai. Pembunuhan pembersihan dalam rangka menguasai sumber ekonomi, yaitu tanah, kerap terjadi. Dengan kata lain sisi gelap demokrasi adalah kenyataan yang pernah terjadi dalam sejarah umat manusia, yaitu dalam bentuk pembunuhan massal dan pembersihan etnis. Dan itu bukan gejala di masa lalu, melainkan fenomena demokrasi modern yang sekarang ini sedang berlangsung.
Amiruddin Al Rahab
Wakil Ketua Perkumpulan ELSAM, Jakarta
Wakil Ketua Komnas HAM, 2020-2022
(idn/idn)
Hoegeng Awards 2025
Usulkan Polisi Teladan di sekitarmu