Akankah Lee Jae-myung Jadi Presiden Korea Selatan?

8 hours ago 5

Jakarta -

Pengadilan Tinggi Seoul pekan ini menunda sidang Lee Jae-myung, kandidat presiden Korea Selatan dari Partai Demokrat, sampai setelah pemilu pada 3 Juni mendatang.

Keputusan ini menjadi perkembangan terbaru dalam drama politik yang terus memecah belah Korea Selatan sejak Yoon Suk-yeol dari Partai Kekuatan Rakyat (PPP) dimakzulkan dari jabatannya sebagai presiden setelah mengumumkan darurat militer pada Desember tahun lalu.

"Secara hukum, proses persidangan seharusnya tetap berjalan, tetapi situasi politik Korea Selatan saat ini sangat tidak stabil. Saya yakin, pengadilan menunda sidang demi menjaga stabilitas," ujar Park Jung-won, profesor hukum dari Universitas Dankook kepada DW.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Namun, para pengkritik menilai keputusan ini bisa menjadi pukulan telak bagi PPP dan secara tidak langsung membuka jalan bagi kemenangan Lee dalam pemilu bulan Juni mendatang.

Tuduhan terhadap Lee Jae-myung

Lee dituduh melanggar aturan kampanye saat pemilu 2022 lalu, dengan menyebarkan informasi yang dianggap "palsu" kepada para pemilih. Saat itu, ia kalah tipis.

Kasus itu hanyalah satu dari lima kasus hukum yang sedang ia hadapi. Selain dugaan pelanggaran UU Pemilu, ia juga dituduh melakukan sumpah palsu, menyalahgunakan wewenangnya, mengirimkan uang secara ilegal ke Korea Utara, dan menggelapkan dana publik.

Di Korea Selatan, seorang kandidat dilarang mencalonkan diri dalam pemilu selama 10 tahun jika terbukti bersalah dan dikenakan denda minimal 1 juta won (sekitar Rp11,7 juta).

Lee awalnya dinyatakan bersalah pada November 2024 dan dijatuhi hukuman penjara satu tahun dengan masa percobaan, dan itu hampir menggagalkan pencalonannya.

Namun, Lee mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Seoul. Pada Maret lalu, pengadilan memutuskan untuk membatalkan vonisnya dan itu memberinya peluang untuk kembali berkampanye.

Pada awal bulan ini, jaksa justru kemudian mengajukan banding ke Mahkamah Agung untuk membatalkan pembebasan Lee dan meminta agar sidang tetap dilanjutkan.

Sebelumnya, sidang pertama banding ini rencananya akan digelar pada 15 Mei. Namun, pengadilan menunda sidang hingga 18 Juni, yakni dua pekan setelah pemilihan presiden Korea Selatan.

Ancaman terhadap fondasi demokrasi

Tekanan yang diberikan Partai Demokrat terhadap lembaga peradilan telah dikritik di media Korea Selatan.

Editorial di Korea JoongAng Daily pada 5 Mei lalu, menyebut reaksi oposisi terhadap keputusan Mahkamah Agung pada 1 Mei telah "melampaui batas dan mengancam fondasi demokrasi Korea Selatan."

Sebelumnya, Partai Demokrat sempat menyebut keputusan terbaru itu sebagai "kudeta hukum" dan bahkan ada ancaman untuk memakzulkan Ketua Mahkamah Agung.

Surat kabar Korea Times juga menuduh Partai Demokrat melanggar prinsip pemisahan kekuasaan karena menuntut agar sidang Lee ditunda.

Mereka juga menuduh partai oposisi itu memiliki standar ganda, karena dulu menuntut Yoon Suk-yeol menerima keputusan Mahkamah Agung saat dimakzulkan, tetapi kini justru menentang pengadilan demi membela kandidatnya sendiri.

Menurut profesor hukum Park, PPP "pasti akan marah dan protes," tapi popularitas partai tersebut memang sudah merosot sejak Yoon menyatakan darurat militer dan kemudian ditangkap atas tuduhan pemberontakan.

Sementara kasus Yoon masih berjalan, PPP sendiri sempat kesulitan mencari penantang Lee, sebelum akhirnya menunjuk Kim Moon Soo sebagai calon mereka pada 3 Mei.

"Apa yang paling ditakutkan oleh kubu konservatif adalah jika Lee menang, maka Partai Demokrat akan menguasai kursi presiden dan mayoritas parlemen. Saya rasa mereka akan menggunakan kekuatan itu untuk menekan independensi pengadilan," kata Park.

"Tak ada hambatan" menuju kursi presiden bagi Lee

Salah satu langkah pertama yang kemungkinan akan diambil Lee jika memenangkan pemilu pada 3 Juni mendatang adalah mengajukan rancangan undang-undang yang mencegah pengadilan melanjutkan sidang terhadap presiden terpilih, menurut Lee Sang-sin, peneliti politik di Korea Institute for National Unification.

Lee Sang-sin mengatakan kepada DW bahwa "konstitusi tidak secara jelas menyatakan apakah presiden masih bisa menjalani proses hukum."

"Salah satu penafsirannya adalah bahwa semua proses hukum harus dihentikan selama masa jabatan presiden. Sementara tafsiran lainnya adalah bahwa jika sidang sudah dimulai, seperti dalam kasus Lee, maka proses bisa tetap dilanjutkan," katanya.

Ia menambahkan bahwa tidak ada rintangan besar bagi Lee untuk menang, mengingat PPP masih kesulitan memilih kandidat dan belum pulih dari krisis internal yang disebabkan oleh mantan pemimpinnya, Yoon.

Ia juga mengatakan, masalah hukum Lee tidak mengurangi dukungan para pemilih, yang "tetap kuat" bahkan setelah putusan Mahkamah Agung. "Bahkan, hal itu lebih memobilisasi para pendukungnya," tambah Lee Sang-sin.

Meski perdebatan di kalangan ahli hukum masih terus berlangsung, Lee Sang-sin yakin bahwa jika Lee Jae-myung memenangkan pemilu, semua kasus hukum terhadapnya kemungkinan besar akan dibatalkan atau ditangguhkan.

"Dengan keputusan penundaan ini, Lee tampaknya benar-benar lolos dari jerat hukum," ujarnya, seraya menambahkan bahwa kebanyakan pemilih di Korea Selatan "akan melihat ini sebagai titik balik dalam pemilu dan ini merupakan akhir dalam permainan."

Artikel ini terbit pertama kali dalam bahasa Inggris

Diadaptasi oleh Khoirul Pertiwi

Editor: Yuniman Farid

(ita/ita)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial