Jakarta -
Saat pertama kali menjejakkan kaki di Jerman, George Leitmann baru berusia 19 tahun. Dia tiba di musim semi 1945, menjelang akhir Perang Dunia II di Eropa. Pasukan Amerika Serikat (AS), Inggris, dan Tentara Merah Uni Soviet bergerak dari segala penjuru untuk menumpas Nazi di bawah Adolf Hitler.
Leitmann bertugas di Batalion Zeni ke-286 dari Angkatan Darat Keenam AS. Saat dia dan rekan-rekannya tiba di Jerman selatan, perang masih berkecamuk. "Garis depan berlangsung sangat dinamis," kenangnya. Tentara Wehrmacht dan SS bertempur secara fanatik, mati-matian mempertahankan rezim NAZI yang sudah di ambang kehancuran.
Leitmann menyaksikan banyak kengerian perang, beberapa di antaranya terus menghantuinya sepanjang hidup. Salah satu kenangan paling mengerikan terjadi ketika pasukannya memasuki sebuah pinggiran kota. "Ada sekitar 15 sampai 20 anak laki-laki, usia sekitar 10 hingga 12 tahun. Mereka sudah tak bernyawa. Digantung," tuturnya nyaris 80 tahun kemudian.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Dia mengetuk pintu rumah terdekat untuk mencari tahu apa yang terjadi. Jawaban dari penduduk membuat darahnya membeku: anggota Waffen-SS yang terkenal kejam telah memaksa anak-anak itu menggunakan pelontar granat untuk menembak bila melihat tank Amerika mendekat. Namun, saat tank benar-benar muncul, anak-anak itu justru melarikan diri. SS kembali keesokan harinya, menangkap dan menggantung mereka di pohon. "Mereka membunuh anak-anak mereka sendiri," kata Leitmann.
Sejarah kemudian mencatat kekejaman ini sebagai bagian dari "kejahatan tahap akhir," atau dalam bahasa Jerrmannya "Endphaseverbrechen", yang dilakukan tentara Nazi terhadap warga sipil Jerman yang dianggap lemah atau tak lagi mau berperang. Gambar anak-anak tergantung di pohon, tertiup angin, tak pernah hilang dari ingatan George Leitmann.
Keraguan terhadap kemanusiaan
Pengalaman mengerikan ini membekas dalam ingatan George. "Citra anak-anak yang dibunuh itu membuat saya meragukan kemanusiaan," ungkapnya. Ia, seorang tentara AS dan juga penyintas Holocaust, mempertanyakan apakah manusia benar-benar dapat dipercaya. "Yang memotivasi SS bukanlah hal rasional. Itu membuat saya terusik seumur hidup."
Di sisi lain, para pelaku genosida Nazi menyangkal keterlibatan dalam ideologi fasis yang membagi manusia dalam kelompok layak dan tidak layak hidup. Ideologi inilah yang melahirkan pembantaian sistematis terhadap orang Yahudi Eropa, Sinti, Roma, dan kelompok-kelompok lain. Dari total korban, 1,5 juta di antaranya adalah anak-anak, kebanyakan dibunuh hanya karena mereka Yahudi.
Penyintas yang menjadi pembebas
Leitmann bukan hanya tentara Amerika biasa. Dia juga korban yang selamat dari persekusi Nazi. Dia lahir di Wina, Austria. Ketika Nazi menganeksasi negara itu, keluarganya yang beragama Yahudi memutuskan untuk melarikan diri. Pada 1940, George, ibunya, dan kakek neneknya berhasil mendapatkan visa ke Amerika Serikat. Hanya ayahnya, Josef, yang tak mendapatkan visa. Dia melarikan diri ke Yugoslavia dan tak pernah lagi terlihat. George dan keluarganya menaiki kapal ke AS, meninggalkan tanah kelahiran dan harapan yang suram.
Setelah perang, George mengejar pendidikan dan menjadi profesor teknik di Universitas California, Berkeley. Dia mendapat berbagai penghargaan akademik, tetapi luka masa lalu tetap membekas. Bersama istrinya Nancy, yang kini juga berusia 100 tahun, dia tinggal di rumah lansia di California. Namun, pertanyaan-pertanyaan moral dari masa lalu tak pernah berhenti menghantuinya.
"Sering saya bertanya: bagaimana mungkin bangsa Jerman, yang begitu berpendidikan, bisa berubah menjadi begitu jahat dalam waktu sesingkat itu?" katanya. Dia mengaku tak punya jawaban, hanya pertanyaan yang terus berputar dalam pikirannya. "Setiap kali bertemu orang Jerman, saya bertanya-tanya: seberapa besar kesalahan mereka atau orang tua mereka? Namun, menjawabnya dengan menyalahkan keturunan terasa tak ilmiah."
Menjadi tentara demi jawaban
Keputusan George untuk bergabung dengan militer AS saat berusia 18 tahun bukan hanya karena patriotisme, dia juga sedang mencari ayahnya. "Perang ini, bagi saya, juga sebuah pencarian," ujarnya. Ketika unitnya mencapai kamp konsentrasi Kaufering dekat Mnchen, dia dan rekan-rekannya menemukan neraka. "Mayat di mana-mana. Banyak yang masih terbakar, tapi tidak hangus karena tubuh mereka hanya tinggal kulit dan tulang," kenangnya. Gambar-gambar itu terus menghantuinya hingga kini.
Kamp Kaufering merupakan bagian dari Kompleks Dachau, terdiri dari 11 subkamp, tempat lebih dari 23.000 tahanan dipaksa bekerja untuk industri senjata Nazi. Mereka dipaksa mati perlahan lewat kerja paksa, "pemusnahan lewat pekerjaan".
Peringatan dan kekhawatiran di hari tua
George Leitmann menjadi anggota kehormatan dari yayasan peringatan Holocaust yang mengelola bekas kamp Kaufering. Namun, untuk memperingati 80 tahun pembebasan kamp pada 27 April 2025, dia tak bisa hadir. Perjalanan dari California terlalu berat baginya.
Peringatan tersebut berlangsung dengan nada duka, tetapi juga penuh kekhawatiran terhadap masa depan. Kenaikan ekstrem kanan di Jerman dan Amerika Serikat, kembalinya Donald Trump, serta invasi Rusia ke Ukraina membangkitkan bayang-bayang lama. Sejarawan Florian Wenninger memperingatkan dalam pidatonya: "Ketika empati, keadilan, dan belas kasih diserang, maka jelas bahwa kekejaman dan ketidakpedulian bisa kembali menyelimuti kita semua."
Leitmann pun resah dengan perkembangan politik dunia. "Bahwa seorang seperti Trump bisa jadi presiden, itu mengejutkan," katanya. "Dukungan terhadap gagasan-gagasan fasis oleh sebagian besar masyarakat sangat mengganggu. Menyalahkan kelompok tertentu atas segala masalah, hal itu selalu membawa bencana."
Warisan dan luka yang tak hilang
Pada Mei 2025, George Leitmann genap berusia 100 tahun. Dia mengaku tetap merasa bersyukur karena sempat merasakan cinta, menjelajahi dunia, membentuk keluarga, dan bertemu banyak orang hebat. Namun, usia tua juga datang dengan beban. "Jangan coba hidup selama ini," ujarnya sambil mengangkat jari telunjuknya. "Ini bukan hal yang menyenangkan, saya serius."
Baru bertahun-tahun setelah perang usai, George akhirnya tahu nasib ayahnya. Di sebuah kamp di Yugoslavia, ayahnya dieksekusi dengan tembakan ke kepala oleh tentara Jerman. Hanya karena dia seorang Yahudi.
Hingga kini, George Leitmann masih membayangkan bagaimana detik-detik terakhir sang ayah. Dia memikirkannya, setiap hari.
Artikel ini pertama kali terbit dalam Bahasa Jerman
Diadaptasi oleh: Rizki Nugraha
Editor: Agus Setiawan
(ita/ita)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini