Rusia dan China, Berdua Upayakan Tatanan Dunia Baru

10 hours ago 8

Jakarta -

Sambutan Presiden Rusia Vladimir Putin terhadap Presiden Cina Xi Jinping berlangsung meriah, dengan karpet merah di aula penyambutan Kremlin yang megah. Dunia menyaksikan momen simbolis saat kedua pemimpin berjalan saling mendekat dari jarak puluhan meter, diiringi sorotan kamera yang menangkap lambaian tangan, senyuman, dan jabatan tangan - ritual formal dalam diplomasi tingkat tinggi.

Simbolisme ini penting. Rusia yang terisolasi akibat invasinya ke Ukraina, mendapat dorongan moral karena masih memiliki sekutu berpengaruh seperti Cina. Meski Mahkamah Pidana Internasional telah mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Putin, Xi tetap hadir.

Awalnya, Moskow berencana merayakan peringatan dengan parade militer besar-besaran di Lapangan Merah. Namun, para pemimpin negara-negara Barat memilih untuk tidak hadir. Saat ini, hanya pemimpin dari Kuba, Venezuela, Mongolia, Serbia, dan Slovakia yang hadir dari luar kawasan Timur. Xi datang dengan dua pesawat Boeing 747-800, menunjukkan statusnya sebagai pemimpin paling berpengaruh dari Asia.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Berdua melawan hegemoni AS

Meski berbeda dalam banyak hal, Xi dan Putin menunjukkan kesatuan dalam membangun aliansi strategis melawan dominasi AS. Rusia, dengan PDB yang bahkan tak melebihi provinsi Guangdong di Cina, masih bergantung pada ekspor senjata dan sumber daya alam yang kini makin dibatasi sanksi. Sebaliknya, Cina gencar berinvestasi di teknologi masa depan, seperti AI dan manufaktur cerdas. Tetapi keduanya bersatu dalam melawan hegemoni AS dan menyerukan sistem dunia multipolar.

Xi, dalam pernyataan resmi setibanya di Moskow, menegaskan bahwa Cina dan Rusia akan bersama-sama mempertahankan tatanan internasional dengan PBB sebagai pusat dan hukum internasional sebagai fondasinya. Mereka menolak hegemonisme dan menjanjikan multilateralisme sejati.

Dalam pertemuan dengan Putin sehari kemudian (8/5), Xi lebih lugas: "Keadilan internasional harus dibela, dan tatanan global yang adil dan setara harus dibangun." Dia menyatakan bahwa Cina dan Rusia siap memikul tanggung jawab tersebut.

Memperkuat aliansi anti-AS

Pandangan Cina menganggap bahwa biang keladi dari gejolak global saat ini adalah Gedung Putih, yang kini kembali dipimpin Donald Trump. Sejak Trump menjabat awal tahun ini, kebijakan sepihak dan keputusan impulsifnya dinilai merusak stabilitas ekonomi global dan memperuncing ketegangan geopolitik. Beijing merasa saatnya sudah tiba untuk menantang posisi dominan AS atau setidaknya mulai membangun landasannya.

Ketegangan AS-Tiongkok kian mengental. Perang tarif kembali memanas, dan komunikasi politik antar kedua negara nyaris membeku. Tak ada pihak yang bersedia mundur demi menjaga gengsi.

Beijing pun tak luput memperhatikan bahwa Putin dan Trump telah dua kali berbicara langsung tahun ini. Putin mengumumkan bahwa dia akan melakukan kunjungan balasan ke Beijing akhir Agustus hingga awal September untuk merayakan kemenangan atas agresi Jepang dalam Perang Dunia II, tentu saja juga dengan parade militer.

"Kami mengembangkan hubungan strategis ini demi kepentingan rakyat kedua negara," kata Putin di Kremlin. "Tapi ini bukan untuk melawan pihak ketiga," tambahnya.

Fantasi yang saling berpaut jauh

Namun, seperti yang dicatat analis Claus Soong dari think tank MERICS di Berlin, Jerman, "Cina dan Rusia tidur di ranjang yang sama, tetapi punya mimpi yang berbeda." Kemitraan yang disebut "tanpa batas" itu tetap memiliki batas - ditentukan oleh kenyataan geopolitik yang terus berubah dan hubungan masing-masing dengan Barat. Cina mendorong narasi solidaritas dengan Rusia agar Moskow tidak sepenuhnya berpaling ke Washington, terutama di bawah Trump.

Lebih dari itu, Xi ingin memastikan bahwa bila konflik bersenjata dengan Taiwan meletus, Rusia akan berpihak kepada Beijing, bahkan secara militer. Bagi Cina, Taiwan adalah provinsi pembangkang yang digerakkan oleh kekuatan separatis. Hampir 200 negara, termasuk AS dan Jerman, masih mengakui pulau itu sebagai bagian dari Cina.

Sejak invasi Rusia ke Ukraina, latihan militer gabungan antara Rusia dan Cina terus meningkat, baik dari segi jumlah, cakupan, maupun wilayah. Menurut Hugo von Essen dari Stockholm Centre for Eastern European Studies, ini berdampak langsung pada kemampuan proyeksi kekuatan, kesiapan tempur bersama, dan peran Rusia dalam skenario konflik Indo-Pasifik.

Di Taiwan sendiri, kekhawatiran meningkat. Presiden baru, William Lai, secara terbuka mendukung kemerdekaan Taiwan, yang oleh Cina dianggap sebagai garis merah. Jika Taiwan resmi menyatakan kemerdekaan, Cina dapat menggunakan Undang-Undang Anti-Pemisahan sebagai dasar legal untuk intervensi militer. Namun Taiwan masih berada di bawah payung perlindungan AS, yang melalui Taiwan Relations Act 1979, berkewajiban memberikan bantuan militer jika Taiwan diserang.

Artikel ini terbit pertama kali dalam Bahasa Jerman

Diadaptasi oleh Rizki Nugraha

Editor: Yuniman Farid

(ita/ita)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial