Auditor BPKP Jelaskan Perhitungan Kerugian Rp 300 T di Kasus Timah

3 days ago 6

Jakarta -

Auditor investigasi Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Suaedi, menjelaskan perhitungan kerugian keuangan negara dalam kasus dugaan korupsi pengelolaan timah mencapai Rp 300 triliun. Total kerugian itu diperoleh dari penyimpangan pada kerja sama sewa smelter, pembelian bijih timah, dan kerusakan lingkungan.

Suaedi dihadirkan jaksa dalam sidang dugaan korupsi pengelolaan timah dan bersaksi untuk terdakwa Helena Lim, Mochtar Riza Pahlevi Tabrani selaku mantan Direktur Utama PT Timah Tbk 2016-2021, Emil Ermindra selaku mantan Direktur Keuangan PT Timah Tbk periode 2016-2020, dan MB Gunawan selaku Direktur Utama PT Stanindo Inti Perkasa.

"Tim pada saat itu melakukan kunjungan ke-4 lokasi smelter," kata Suaedi di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Rabu (13/11/2024).

ADVERTISEMENT

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

"Disebutkan smelter apa saja?" tanya ketua majelis hakim Rianto Adam Pontoh.

"Yang pertama dari tim saya melaporkan ke smelter PT Sariwiguna Binasentosa, terus ke smelter CV Venus Inti Perkasa, terus kemudian ke smelter PT Stanindo Inti Perkasa, terus kemudian keempat adalah ke smelter PT Refined Bangka Tin," jawab Suaedi.

Suaedi lalu menjelaskan proses perhitungan kerugian keuangan negara Rp 300 triliun tersebut. Dia mengatakan Kejaksaan Agung RI meminta BPKP melakukan perhitungan kerugian keuangan negara dalam kasus ini pada 14 November 2023.

"Akan kami sampaikan secara ringkas Yang Mulia, tentang bagaimana proses audit itu kami lakukan, yang pertama adanya permintaan dari Kejaksaan Agung RI di tanggal 14 November 2023 perihal bantuan perhitungan kerugian keuangan negara dan permintaan keterangan ahli. Nah prosesnya, di kami berlaku bahwa setiap permintaan itu tidak serta merta dilakukan langsung surat penugasan, ada sarana ekspose. Jadi yang kedua surat tugas itu baru kita terbitkan itu 26 Februari 2024," kata Suaedi.

Dia mengatakan surat tugas perhitungan kerugian baru terbit pada Februari 2024. Kemudian, auditor BPKP menguji bukti dokumen, pengecekan ke lokasi penambangan, hingga klarifikasi ke Kepala Divisi Akuntansi PT Timah Tbk, Dian Safitri.

"Permintaan itu November tapi kenapa baru kita terbitkan surat tugas 2024 bulan Februari? Di dalam prosesnya, ini melalui jalur yang panjang Yang Mulia. Ada diskusi, ada segala macam bahkan di sinilah kami menerapkan due proportional care kami sebagai auditor, menguji bukti-bukti dari penyidik apakah benar, apakah bisa digunakan di dalam perhitungan kerugian negara. Nah, kemudian, di dalam prosesnya pun ini tidak mudah, kenapa? Karena pada saat kami melakukan audit pun ada beberapa hal yang menurut kami masih kurang makanya kami meminta bantuan penyidik untuk menambah bukti baru lagi," kata Suaedi.

"Bukan hanya bukti dokumen, tetapi juga kami meminta kepada penyidik untuk dapat difasilitasi, untuk melakukan klarifikasi, konfirmasi kepada beberapa pihak, tadi termasuk kunjungan lapangan Yang Mulia, termasuk hitung-hitungan kami juga minta kepada penyidik untuk dapat dipertemukan dengan pihak PT Timah baik melalui langsung maupun Zoom. Itu kami lakukan. Nah, kemudian surat tugasnya itu ada perpanjangan di tanggal 2 Mei 2024, itu surat perpanjangan kami yang terakhir dan di situlah kemudian laporan diterbitkan kalau tidak salah tanggal 28 Mei," imbuhnya.

Fraud: Perizinan, terbitnya RKAD, dan rencana reklamasi

Dia mengatakan penyimpangan (fraud) yang ditemukan dalam kasus ini yakni soal perizinan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB). BPKP juga menyoroti soal reklamasi usai penambangan dilakukan. Istilah 'reklamasi' dalam ranah pertambangan bermakna proses mengembalikan dan memulihkan lahan bekas tambang agar dapat berfungsi kembali dan tidak berbahaya atau mencemari lingkungan.

"Jadi kalau dilihat di dalam proses bisnis pertambangan kami lihat di sini Yang Mulia, yang pertama adalah di perizinan. Ini titik kritis di dalam proses bisnis pertambangan. Ada masalah kalau kasus yang kita tangani ini adalah terkait dengan RKAB-nya, bagaimana proses penerbitan RKAB-nya sudah benar atau belum. Kemudian, kita melihat juga reklamasinya apakah sudah dilakukan atau tidak karena ada saat penyidik melakukan ekspose dibilang, 'Pak ini adanya kerusakan lingkungan yang parah' kita tanya, reklamasi gimana? Nah ini sebagai bahan pertimbangan kami juga Yang Mulia," ujar Suaedi.

Pertimbangan lainnya dalam perhitungan kerugian keuangan negara itu adalah pada eksplorasi dan produksi. Dia menyoroti bagaimana peran smelter swasta, proses pembelian dan pengelolaan bijih timah hingga tahap reklamasi.

"Dalam kasus ini yang kami tangani bersama penyidik, ini adalah terkait dengan tambang darat. Nah, kemudian kami lihat titik kritisnya adalah juga terkait dengan penambangan timahnya. Dari bijih timah tentu ada smelter, nah smelter itu apakah diolah di PT Timah atau dikelola oleh pihak lain, inilah menjadi titik kritis yang kami soroti. Dari titik kritis ini smelter kemudian penjualan PT Timah nah kemudian reklamasi, ini yang menjadi poin kritis kami di garis arser ini yaitu terkait dengan perizinan terutama RKAB, bagaimana penambangan daratnya, bagaimana pengolahannya di smelter dan bagaimana reklamasi atau rehabilitasi tambang itu dilakukan," ujarnya.

Suaedi mengatakan PT Timah saat itu tak melakukan penambangan melainkan melakukan pembelian bijih timah. Kemudian, adanya kerusakan lingkungan akibat penambangan ilegal.

"Ini sudut pandang seorang auditor Yang Mulia, bahwa penerbitan Izin Usaha Pertambangan (IUP), RKAB, dan rencana reklamasi merupakan titik kritis awal. Kemudian PT Timah pada saat itu diketahui tidak melakukan penambangan melainkan melakukan pembelian bijih timah, kemudian ada kerja sama sewa smelter dengan swasta dan pada saat itu disampaikan juga terdapat kerusakan lingkungan yang terjadi. Ini beberapa poin yang kami dapat dari penyidik pada saat ekspose," kata Suaedi.

"Nah inilah skema perkara dugaan tindak pidana korupsi tata niaga komoditas timah di wilayah IUP PT Timah, ini sudah kami sampaikan dalam laporan dalam titik hal ini yang bisa kami soroti adalah sebagai berikut Yang Mulia. Ada beberapa pihak, ini PT Timah, ini smelter swasta kemudian ada mitra PT Timah, ada pelaku tambang ilegal. Izin Yang Mulia, saya atau kami sebut ilegal itu karena ada beberapa saksi dan ahli yang mengatakan ilegal, kemudian di sini ada aktivitas pertambangan di wilayah IUP," tambahnya.

Dia mengatakan kerugian sekitar Rp 29 triliun diperoleh dari penyimpangan dalam kontrak sewa smelter, dan pembelian bijih timah. Dia mengatakan bijih timah itu berasal dari penambang ilegal yang menambang di wilayah IUP PT Timah.

"Yang kami lihat adalah yang pertama adalah dalam kontrak sewa smelter. Di kontrak sewa smelter ini, antara PT Timah dengan smelter swasta itu sudah dilakukan pembayaran sebesar Rp 3 triliun sekian, ini untuk penyerahan logam timah 63,16 ton. Kemudian dari alur bijih timahnya baik yang dikirim ke smelter swasta maupun PT Timah, PT Timah telah membayar sebesar Rp 11,1 triliun untuk 68,01 ton yang disalurkan ke smelter swasta untuk diolah. Sedangkan pembayaran yang dilakukan PT Timah untuk yang diolah oleh PT Timah adalah sebanyak 85,99 ton itu sebesar Rp 15,5 triliun sekian. Nah bijih timah ini yang diperoleh adalah dari para pelaku tambang timah ilegal yang melakukan aktivitasnya di wilayah IUP-nya PT Timah. Jadi skema perhitungan kami, terkait dengan perhitungan kerugian yang sebesar kurang lebih Rp 29 triliun itu gambaranya seperti ini Yang Mulia. Jadi ada dari kontrak sewa smelter, kemudian dari pembelian bijih timah," tutur Suaedi.

Komponen terbesar kerugian negara: Kerusakan lingkungan

Dia mengatakan kerugian akibat kerusakan lingkungan yang ditimbulkan mencapai Rp 271 triliun. Sehingga, kata dia, total kerugian keuangan negara dalam kasus ini mencapai Rp 300 triliun.

"Jadi, penyimpangan yang kami temukan bahwa perencanaan, pelaksanaan, dan pembayaran kerja sama sewa peralatan processing perlogaman dengan sewa smelter swasta tidak sesuai ketentuan. Kemudian mitra pertambangan dan PT Timah tidak melakukan kegiatan pertambangan sesuai dengan ketentuan. Jadi unsur kerugian yang kami masukan sebagai kerugian keuangan negara itu ada tiga hal, yang pertama adalah sewa smelter swasta, kedua adalah pembelian bijih timahnya, kemudian adanya kerusakan lingkungan yang terjadi. Jadi dari jumlah poin satu, dua, tiga ini bisa kami sampaikan totalnya kerugian adalah sebesar Rp 300.003.263.938.131,14," ujar Suaedi.

(mib/dnu)

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial