Jakarta -
Auditor investigasi Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Suaedi, buka-bukaan soal penyimpangan yang ditemukan dalam kasus dugaan korupsi pengelolaan timah. Suaedi mengatakan berbagai keanehan itu membuat PT Timah yang merupakan BUMN mengalami kerugian besar.
"Kami dari grafik ini bisa bicara, bisa menyampaikan bahwa terdapat anomali bahwa di tahun 2019, di mana penjualan paling tinggi namun ruginya paling tinggi. Loh, kok bisa kejadian seperti itu? Kami bisa melihat bahwa ternyata bila dibandingkan antara penjualan dengan harga pokok penjualannya (HPP), itu nilai HPP-nya itu besar, Yang Mulia. Jadi antara gap antara penjualan dan HPP sangat sedikit di tahun 2017-2020. Jadi kalau kita bicara tentang laporan keuangan, harga pokoknya itu ketinggian kalau kita bicaranya. Kenapa ketinggian? Nah, itulah salah satunya adalah dari kerja sama smelter tadi yang nilainya tinggi," kata Suaedi di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Rabu (13/11/2024).
Suaedi mengatakan pihaknya menyoroti penerbitan obligasi dan sukuk PT Timah. Menurutnya, penerbitan itu diduga dilakukan untuk pendanaan bijih timah para penambang ilegal.
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Nah, kemudian kami soroti juga kami sampaikan pada pimpinan bahwa pada saat itu terdapat penerbitan obligasi dan dan suku PT Timah yang diduga, kami duga untuk pendanaan bijih timah kepada para penambang timah ilegal," ujarnya.
Dia mengatakan penyimpangan juga ditemukan dalam kerja sama sewa PT Timah dengan smelter swasta. Dia mengatakan kerja sama sewa smelter itu tak memiliki Rencana Kerja dan Anggaran Biaya (RKAB).
"Yang perlu diantisipasi bersama adalah jangan sampai PT Timah itu pailit dan menyisakan lingkungan yang rusak. Apa yang kita temukan dalam penyimpanan sewa smelter? Yang pertama sewa smelter tidak dapat melakukan eksplor langsung karena tidak memiliki RKAB," ujarnya.
Penyimpangan lainnya adalah kajian kerja sama sewa smelter dibuat berdasarkan tanggal mundur atau backdate. Dia juga mengungkap harga produksi di PT Timah lebih rendah dibanding kontrak dengan smelter swasta.
"Pada saat di awal itu sudah ada kesepakatan harga sewa smelter swasta yang berkisar 3.700 dolar sampai 4.000 dolar per matrix ton, kemudian kajian kerja sama sewa peralatan processing pelogaman dengan smelter swasta dibuat setelah adanya kesepakatan harga, itu tanggalnya backdate. Kemudian harga produksi di smelter PT Timah ternyata lebih rendah apabila dibandingkan dengan kontrak smelter swasta tersebut," katanya.
Dia mengatakan penyimpangan pada kerja sama sewa smelter itu adalah terdapat CV yang menjadi pengepul bijih timah di wilayah IUP PT Timah yang disebut sebagai perusahaan boneka. Namun, hasil bijih timah itu justru dijual kembali ke PT Timah.
"Apa yang ditemukan pada saat melihat penyimpanan di dalam pembelian bijih timah? yang pertama, terdapat CV yang beroperasi menambang di wilayah IUP PT Timah diduga CV tersebut berperan sebagai pengepul bijih timah dari para penambang timah ilegal dan kami dapatkan beberapa BAP saksi menyatakan CV tersebut adalah sebagai boneka. Yang kedua hasil dari CV di atas berupa bijih timah yang dijual kepada PT Timah dan dibayarkan per tonase," ujarnya.
Suaedi juga mengungkap persoalan dalam kerja sama PT Timah dengan 167 CV. dia mengatakan CV Salsabila Utama yang merupakan mitra PT Timah malah berkantor di aset PT Timah.
"Perjanjian kerja sama timah antara 167 CV dengan PT Timah berupa pengangkutan, namun realisasinya melakukan kegiatan penambangan, tempat nomenklatur dalam RKAB PT Timah juga berupa pengangkutan. Salah satu CV mitra Timah yakni CV Salsabila Utama beralamat di kantin PT Timah, di aset PT Timah. Ini menurut kami agak anomali ya, Yang Mulia," ujar Suaedi.
"Dampak paling nyata dari kegiatan penambangan ilegal tersebut adalah terjadinya kerusakan lingkungan," tambahnya.
Penjelasan ini disampaikan Suaedi saat dihadirkan jaksa sebagai ahli dalam sidang kasus dugaan korupsi pengelolaan timah. Duduk sebagai terdakwa adalah pengusaha Helena Lim, Mochtar Riza Pahlevi Tabrani selaku mantan Direktur Utama PT Timah Tbk 2016-2021, Emil Ermindra selaku mantan Direktur Keuangan PT Timah Tbk periode 2016-2020, dan MB Gunawan selaku Direktur Utama PT Stanindo Inti Perkasa.
Berdasarkan surat dakwaan jaksa penuntut umum, kerugian keuangan negara akibat pengelolaan timah dalam kasus ini mencapai Rp 300 triliun. perhitungan itu didasarkan pada Laporan hasil audit penghitungan kerugian keuangan negara di kasus timah yang tertuang dalam Nomor: PE.04.03/S-522/D5/03/2024 tertanggal 28 Mei.
"Bahwa akibat perbuatan Terdakwa Suranto Wibowo bersama-sama Amir Syahbana, Rusbani alias Bani, Bambang Gatot Ariyono, Mochtar Riza Pahlevi Tabrani, Emil Ermindra, Alwin Albar, Tamron alias Aon, Achmad Albani, Hasan Tjhie, Kwan Yung alias Buyung, Suwito Gunawan alias Awi, m.b. Gunawan, Robert Indarto, Hendry Lie, Fandy lingga, Rosalina, Suparta, Reza Andriansyah dan Harvey Moeis sebagaimana diuraikan tersebut di atas telah mengakibatkan kerugian Keuangan negara sebesar Rp 300.003.263.938.131,14," ungkap jaksa saat membacakan dakwaan Harvey di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Rabu (24/8).
Kerugian negara yang dibeberkan jaksa meliputi kerugian negara atas kerja sama penyewaan alat hingga pembayaran bijih timah. Lalu, jaksa juga membeberkan kerugian negara yang mengakibatkan kerusakan lingkungan nilainya mencapai Rp 271 triliun berdasarkan hitungan ahli lingkungan hidup.
(mib/haf)