Jakarta -
Ariel Noah dan 28 musisi lainnya menggugat Undang-undang nomor 28 tahun 2014 tentang Hak Cipta. Sidang pendahuluan terkait gugatan Ariel Cs digelar Mahkamah Konstitusi.
Pemohonan dari 29 musisi Indonesia itu tercatat dengan nomor akta pengajuan permohonan elektronik (AP3) nomor 33/PUU/PAN.MK/AP3/03/2025. Berikut ini daftar artis yang mengajukan gugatan tersebut:
1. Tubagus Arman Maulana (Armand Maulana)
2. Nazril Irham (Ariel NOAH)
3. Vina DSP Harrijanto Joedo (Vina Panduwinata)
4. Dwi Jayati (Titi DJ)
5. Judika Nalom Abadi Sihotang
6. Bunga Citra Lestari (BCL)
7. Sri Rosa Roslaina H (Rossa)
8. Raisa Andriana
9. Nadin Amizah
10. Bernadya Ribka Jayakusuma
11. Anindyo Baskoro (Nino)
12. Oxavia Aldiano (Vidi Aldiano)
13. Afgansyah Reza (Afgan)
14. Ruth Waworuntu Sahanaya
15. Wahyu Setyaning Budi Trenggono (Yuni Shara)
16. Andi Fadly Arifuddin (Fadly Padi)
17. Ahmad Z Ikang Fawzi (Ikang Fawzi)
18. Andini Aisyah Hariadi (Andien)
19. Dewi Yuliarti Ningsih (Dewi Gita)
20. Hedi Suleiman (Hedi Yunus)
21. Mario Ginanjar
22. Teddy Adhytia Hamzah
23. David Bayu Danang Joyo
24. Tantri Syalindri Ichlasari (Tantri Kotak)
25. Hatna Danarda (Arda)
26. Ghea Indrawari
27. Rendy Pandugo
28. Gamaliel Krisatya
29. Mentari Gantina Putri (Mentari Novel).
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Pengacara pemohon, Panji Prasetyo, menjelaskan ada lima pasal di Undang-Undang Nomor 28 tahun 2014 yang diminta untuk diuji materil yaitu pasal 9 ayat 3, pasal 23 ayat 5, pasal 81, pasal 87 ayat 1, dan pasal 113 ayat 2. Panji menyinggung bunyi aturan di pasal-pasal tersebut membuat ketidakpastian hukum bagi musisi di Indonesia.
"Mereka merasa kegelisahan dan merasa terjadi ketidakpastian hukum dalam menjalankan profesinya karna ada beberapa kasus sebelum permohonan ini diajukan itu tidak menjadi masalah buat mereka, tapi beberapa saat terakhir karena ada beberapa penafsiran dan pelaksanaan UU di lapangan yang menyebabkan profesi mereka diliputi ketidakpastian dan bahkan ketakutan," kata Panji dalam sidang di gedung MK, Kamis (24/4/2025).
Pemohon lalu menyebutkan sejumlah kasus yang melibatkan musisi di Indonesia terkait pembayaran royalti. Kasus-kasus itu mulai dari grup band The Groove, penyanyi Sammy Simorangkir, Agnez Mo, hingga Once Mekel.
Elfonda Mekel alias Once Mekel (Foto: Ari Saputra/detikcom)
Dalam penjelasan di empat kasus itu, pemohon menyebut ada masalah tafsir terkait izin menyanyikan karya hingga pembayaran royalti dari pelaku pertunjukkan ke pencipta karya. Panji mengatakan ada perbedaan penafsiran yang telah terjadi selama ini di kalangan sesame musisi terkait pembayaran royalti dan izin membawakan sebuah karya di panggung.
"Ada beberapa kasus yang kami sampaikan seperti grup band Groove di mana Rika Roeslan selaku mantan personel mengirimkan somasi kepada anggota band Groove dilarang menyanyikan lagu ciptaan Rika Roeslan kecuali melakukan pembayaran sesuai tarif yang ditentukan Rika sendiri. Padahal selama ini pembayaran royalti tunduk terhadap ketentuan Undang-Undang dan peraturan Menteri yang tarifnya ditentukan pemerintah," tutur Panji.
"Terakhir yang kami jelaskan di sini kasus Once Mekel di mana dilarang membawakan lagu Dewa dan kalau Once mau bayar lagu Dewa dia harus izin langsung dan membayar langsung kepada pencipta," sambungnya.
Panji mengatakan 29 musisi yang tergabung dalam gugatan ini meminta MK untuk menguji lima pasal dalam UU Hak Cipta yang mereka gugat. Pemohon meminta MK membuat norma baru terkait aturan izin membawakan karya hingga pembayaran royalti sehingga tidak menciptakan penafsiran yang beragam.
"29 penyanyi yang mengajukan permohonan uji materil ini mereka merasa berpotensi mengalami hal yang sama diharuskan meminta izin langsung dan membayar royalti kepada pencipta di mana hal tersebut sangat berbeda dengan ketentuan hukum yang berlaku. Para performer ini pada intinya ingin mempertanyakan dan minta kejelasan dan meminta MK uji materil dan memberikan penafsiran lebih luas beberapa hal tertentu," terang Panji.
"Yaitu apakah pelaku pertunjukan wajib meminta izin secara langsung kepada pencipta lagu untuk menampilkan hasil pertunjukkan dan siapakah yang memiliki kewajiban membayar royalti tersebut, pelaku pertunjukkan atau penyelenggara?. Pertanyaan berikutnya apakah pencipta bisa begitu saja menentukan sendiri tarif royalti atas ciptaannya dan apakah seseorang bisa begitu saja dipenjarakan hanya semata-mata belum bayar royalti kepada LMKM," sambungnya.
Simak selengkapnya di halaman selanjutnya
Bicara Diskriminasi
Ariel cs menilai lima pasal yang digugat itu memuat aturan yang bersifat diskriminatif kepada sebagian musisi Indonesia. "Bahwa bunyi Pasal 9 ayat 3 UU Hak Cipta yang mengatur larangan penggunaan ciptaan tanpa izin pencipta atau pemegang hak cipta pada praktiknya sering menimbulkan penafsiran keliru. Kekeliruan penafsiran tersebut telah menimbulkan perilaku diskriminatif berupa pelarangan bagi pelaku pertunjukan tertentu oleh pencipta lagu untuk membawakan lagu-lagu ciptaannya," kata tim pengacara pemohon.
"Kami meminta Mahkamah Konstitusi untuk dapat mengabulkan permohonan a quo dan menyatakan Pasal 9 ayat 3 UU Hak Cipta konstitusional sepanjang dimaknai bahwa penggunaan komersial ciptaan dalam suatu pertunjukan tidak memerlukan izin dari pencipta dan pemegang hak cipta dengan kewajiban untuk tetap membayar royalti atas penggunaan secara komersial ciptaan tersebut," sambungnya.
Kubu Ariel cs juga menjelaskan alasan menggugat Pasal 81 UU Hak Cipta. Aturan itu diketahui memuat ketentuan direct license atau izin langsung dalam penggunaan sebuah karya.
Pemohon menilai direct licence justru akan menyulitkan pelaku pertunjukan yang baru memulai kariernya untuk mendapatkan lisensi performing rights atau hak pertunjukan. Aturan itu justru hanya akan menguntungkan bagi musisi yang memiliki popularitas tinggi.
"Bahwa terhadap kelompok masyarakat yang melakukan penafsiran dan penerapan Pasal 81 UU Hak Cipta secara berketidakadilan untuk mengakomodasi direct license untuk lisensi performing rights atau hak pertunjukan, penerapan direct license akan menyulitkan bagi pelaku pertunjukan yang baru berkembang untuk dapat mengakses lisensi performing rights," terang pemohon.
"Kesulitan akses tersebut diakibatkan penentuan tarif royalti direct licensing yang dilakukan berdasarkan hasil negosiasi perjanjian yang acuannya adalah kehendak subjektif pencipta. Hal tersebut membuat royalti pada lagu-lagu populer ciptaan komposer terkenal memiliki tarif yang mahal dan menjadi diskriminatif karena hanya menguntungkan pelaku pertunjukan yang bermodal besar," sambungnya.
Ariel cs juga menanggap muatan Pasal 81 UU Hak Cipta ini bertentangan dengan Pasal 23 UU Hak Cipta.
"Penafsiran pasal 81 UU Hak Cipta dianggap dapat mengakomodasi direct licensing juga menimbulkan kebingungan dan ketidakpastian akrena pasal 23 ayat 5 UU Hak Cipta memperbolehkan pelaku pertunjukan membawakan suatu karya tanpa izin terlebih dahulu asalkan membayar royalti terhadap pencipta atau pemegang cipta melalui LMKN atau LMK," terang pemohon.
Total ada tujuh petitum yang disampaikan Ariel cs dalam gugatannya ke MK, berikut rinciannya:
1. Menerima dan mengabulkan pengujian Undang-Undang RI Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta yang diajukan pemohon untuk seluruhnya
2. Menyatakan pasal 9 ayat 3 UU RI Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta konstitusional sepanjang dimaknai penggunaan secara komersial ciptaan dalam suatu pertunjukan tidak memerlukan izin dari pencipta atau pemegang hak cipta, dengan kewajiban untuk tetap membayar royalti atas penggunaan secara komersial ciptaan tersebut.
3 Menyatakan Pasal 23 Ayat 5 UU Hak Cipta konstitusional sepanjang dimaknai frasa "setiap orang" bisa dimaknai sebagai orang atau badan hukum sebagai penyelenggara acara pertunjukan, kecuali ada perjanjian berbeda dari pihak terkait mengenai ketentuan pembayaran royalti dan sepanjang dimaknai pembayaran royalti yang dapat dilakukan sebelum dan sesudah penggunaan komersial suatu ciptaan di pertunjukan.
4. Menyatakan Pasal 81 UU RI Nomor 81 UU Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta konstitusional sepanjang dimaknai bahwa karya yang memiliki hak cipta yang digunakan secara komersial dalam pertunjukan tidak perlu lisensi dari pencipta, dengan kewajiban membayar royalti untuk pencipta melalui Lembaga Manajemen Kolektif (LMK).
5. Menyatakan Pasal 87 Ayat 1 UU Hak Cipta inkonstitusional sepanjang tidak dimaknai pencipta, pemegang hak cipta, atau pemilik hak terkait melakukan mekanisme lain untuk memungut royalti secara non-kolektif dan/atau memungut secara diskriminatif.
6. Menyatakan ketentuan huruf f Pasal 113 Ayat 2 UU Hak Cipta bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak berkekuatan hukum.
7. Memerintahkan pemuatan putusan ini dalam berita negara Republik Indonesia
Simak selengkapnya di halaman selanjutnya
Hakim Sentil Ariel Cs
Majelis hakim panel gugatan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta mengingatkan pemohon untuk menjelaskan kerugian konstitusional dari gugatan peraturan tersebut. Hakim ketua panel, Saldi Isra, mengingatkan para penggugat yang merupakan para musisi juga harus bisa menjelaskan permohonan secara jelas seperti saat bernyanyi di atas panggung.
"Harus jelas kerugian hak konstitusionalnya, adakah di antara pelaku seni atau pelaku pertunjukan itu pemohon yang di sini jumlahnya 29 orang, di sini ada 6 orang yang sudah pernah terkena langsung dari pasal-pasal yang diajukan ini. Kalau ada itu diuraikan berarti kerugiannya sudah aktual," kata Saldi dalam sidang di gedung Mahkamah Konstitusi.
Saldi mengingatkan pemohon untuk bisa memberikan penjelasan terkait adanya kerugian konstitusional yang dirasakan pemohon atau berpotensi dirasakan pemohon dari keberadaan pasal-pasal yang digugat. Penjelasan detail itu diharapkan membuat penilaian MK tidak keliru dalam menindaklanjuti gugatan yang diajukan pemohon.
"Jadi clear supaya kami nanti melihat terpenuhi atau tidak legal standing pemohon. Kalau ini tidak terpenuhi, kami tidak akan masuk ke pokok permohonan. Jadi berhenti di legal standing, maka permohonan itu tidak dapat diterima karena tidak ada kerugian atau potensi kerugian yang dialami pemohon," tutur Saldi.
Saldi juga menjelaskan tahapan gugatan UU Hak Cipta bergulir di MK. Permohonan itu akan ditelaah mulai dari syarat formil hingga bisa dilanjutkan dibahas ke pokok permohonan.
Menurut Saldi, saat gugatan itu telah dianggap layak untuk dibahas secara substansi, maka sembilan hakim MK akan saling silang pendapat dalam memberikan penilaian. Dia menyebut MK juga terbuka mengundang DPR dan Presiden selaku pembentuk Undang-Undang dalam meminta pandangan dari keberadaan UU Hak Cipta.
"Kalau misalnya semua mengatakan ini kita sudah paham tidak perlu ke pleno ini naskahnya kita putus sendiri tanpa mendengarkan pembentuk undang-undang. Tapi kalau nanti kami merasa perlu pendalaman maka ini akan diminta DPR dan Presiden sebagai pembentuk undang-undang menjelaskan norma-norma yang diuji," kata Saldi.
Hakim MK mengingatkan pemohon dan tim pengacaranya untuk memberikan penjelasan yang jelas kepada MK terkait gugatan yang diajukan. Saldi menyentil para penggugat yang terdiri dari musisi itu harus bisa menerangkan permohonan mereka secara jelas seperti saat mereka pentas.
"Jadi kalau yang kita minta yang kita persoalkan tidak jelas apa yang mau diterangkan oleh orang lain? Jangan nyanyi aja yang jelas, ini menjelaskan permohonan ke Mahkamah Konstitusi harus jelas juga," tutur Saldi.
"Tugas para kuasa hukum adalah memberikan elaborasi yang clear kepada Mahkamah agar Mahkamah tidak salah dalam mengambil sikap karena ini penting sekali para pekerja seni ini, kalau dunia tidak ada seninya dunia akan kaku banget, membosankan. Tapi kalau pekerja seni berkelahi jadi repot juga kita," sambungnya.
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini