Tob Tobi Tob dan Tadabur Alam

11 hours ago 6

Jakarta -

Dalam keheningan pagi yang diselimuti embun, suara burung bulbul terdengar nyaring dari pepohonan rindang. Suara itu bukan sekadar bunyi, tapi alunan jiwa alam yang berbicara dalam bahasa yang jarang kita pahami. Seperti itulah kiranya pesan tersembunyi dalam syair klasik Arab "Tob Tobi Tob" atau lebih dikenal dengan Sawt Al-Safiri Al-Bulbuli, sebuah karya agung yang tidak hanya menyuarakan keindahan cinta, tetapi juga menyingkap harmoni alam dan manusia.

Ketika kita membaca bait-baitnya, dan menghayati nada-nadanya, kita seolah diajak untuk menyelam lebih dalam dalam samudera makna yang tak bertepi—persis seperti ketika kita melakukan tadabur alam. Kedua hal ini, meski berbeda dalam bentuk, bersatu dalam makna: mengajak manusia untuk berhenti sejenak, melihat lebih dalam, dan menyadari bahwa semesta ini bukanlah benda mati, melainkan narasi yang hidup.

Syair "Tob Tobi Tob" bukan hanya rangkaian bunyi yang berima, ia adalah puisi dari alam yang dinyanyikan kembali oleh manusia. Burung bulbul, air, bunga, dan bulan menjadi simbol-simbol yang hidup dalam syair tersebut. Dalam tadabur alam, simbol-simbol itu bukan sekadar ornamen, melainkan ayat-ayat yang harus direnungi. Sebagaimana firman Allah dalam QS Ali Imran ayat 190-191, bahwa sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi serta pergantian malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. Orang-orang yang senantiasa mengingat Allah sambil berdiri, duduk atau berbaring, dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi. Di titik inilah syair klasik dan tadabur alam saling berkelindan—mengajak kita mengingat, merenung, dan memahami.

Namun di tengah keindahan syair dan ayat-ayat alam, hari ini kita dihadapkan pada kenyataan yang menyayat: rusaknya tatanan ekologis akibat ulah manusia yang tak lagi memuliakan ciptaan-Nya. Kasus demi kasus muncul, dari banjir bandang hingga kebakaran hutan, dari krisis air bersih hingga kepunahan spesies. Semua adalah suara alam yang sedang berteriak, namun kita terlalu sibuk dengan kebisingan buatan kita sendiri.

Di Pulau Kalimantan, misalnya, ribuan hektar hutan tropis yang dulu menjadi rumah bagi ribuan burung bulbul dan makhluk lainnya kini rata dengan tanah demi tambang nikel dan sawit. Di Pulau Bangka, kebun-kebun kecil dan bukit granit dirusak tambang timah ilegal. Ironisnya, saat syair "Tob Tobi Tob" viral di TikTok dan menjadi hiburan, suara burung bulbul sebagai metafora cinta itu benar-benar menghilang dari habitatnya yang nyata.

Betapa timpangnya kita memperlakukan keindahan. Kita bisa mengagumi metafora suara burung, tetapi gagal menjaga suara itu tetap hidup di alam nyata. Tadabur alam mestinya tak hanya menjadi aktivitas simbolik atau ritual rekreatif belaka. Ia harus menjadi kesadaran ekologis yang membumi. Ketika kita mendengar kicauan burung, melihat pepohonan menjulang, atau menyentuh tanah yang basah oleh hujan, kita seharusnya tidak hanya mengaguminya, tetapi juga merasakan tanggung jawab untuk menjaganya. Inilah hakikat tadabur: bukan sekadar menikmati, tapi memelihara. Bukan sekadar mengagumi, tapi juga menundukkan diri dalam keinsafan bahwa manusia bukan penguasa mutlak, melainkan khalifah yang dititipi amanah.

Menggali kembali sejarah "Tob Tobi Tob", kita diajak mengenang masa kejayaan ilmu dan sastra Islam di era Abbasiyah. Di sana, penyair seperti Al-Asma'i bukan hanya menghibur khalifah, tapi juga menunjukkan bahwa seni dan sains bisa menjadi alat untuk memperhalus jiwa dan menumbuhkan kecintaan terhadap ciptaan Allah. Syair itu menjadi ujian bagi mereka yang tamak akan pengakuan, namun tak mampu menghayati keindahan sejati.

Khalifah Abu Ja'far yang semula menguji para penyair dengan kelicikannya, akhirnya harus mengakui bahwa keindahan dan kejujuran dalam berkarya jauh lebih kuat daripada kecerdikan politik. Kita pun hari ini diuji, bukan dengan syair, tetapi dengan krisis. Apakah kita masih bisa menulis puisi kehidupan melalui tindakan nyata menjaga alam? Atau kita hanya menjadi penonton dari keruntuhan peradaban yang kita bangun dengan keserakahan?

Burung bulbul dalam syair bukan hanya simbol cinta, ia adalah lambang dari keseimbangan. Burung hanya akan berkicau merdu jika habitatnya terjaga. Air hanya akan mengalir jernih jika hutan tetap berdiri. Bulan hanya akan memantulkan cahaya jika langit tak dipenuhi asap pabrik dan pembakaran lahan. Semua itu adalah pesan ekologi yang tersirat dalam estetika. Oleh sebab itu, ketika kita mengajarkan syair "Tob Tobi Tob" kepada anak-anak atau memperdengarkannya sebagai lagu viral, seharusnya kita juga menyelipkan pesan bahwa suara burung itu kini terancam.

Tadabur alam bisa menjadi jembatan untuk menyampaikan pesan itu secara halus namun mengena. Dengan mengajak anak-anak berjalan di hutan, mengamati sungai, atau sekadar duduk di taman kota sambil membaca syair, kita sedang menyemai rasa cinta dan kepedulian. Inilah pendidikan yang hakiki: menyentuh hati, bukan hanya mengisi kepala.

Dalam konteks Indonesia, kita juga punya banyak kearifan lokal yang sejalan dengan nilai-nilai tadabur alam. Suku Baduy menjaga hutan karena mereka percaya bahwa alam adalah titipan leluhur dan Sang Pencipta. Suku Lom di Bangka percaya bahwa air dan hutan adalah pusat harmoni hidup. Namun nilai-nilai itu kini mulai luntur di hadapan arus konsumerisme dan eksploitasi sumber daya. Kita kehilangan arah dalam membaca "syair" alam yang seharusnya kita jaga bersama. Mungkin kita butuh lebih banyak "penyair" seperti Al-Asma'i, bukan dalam bentuk literal, tetapi dalam wujud para pendidik, aktivis lingkungan, dai, dan pemimpin yang bisa merangkai narasi kebaikan dalam menjaga bumi ini.

Sebagaimana akhir dari syair "Tob Tobi Tob" yang berbicara tentang perjalanan menuju raja mulia dan gaun merah seperti darah, ada simbol perpisahan dan perjuangan di sana. Barangkali ini adalah metafora dari perjuangan terakhir untuk menyelamatkan apa yang tersisa dari alam. Kita berada di titik kritis di mana pilihan kita hari ini akan menentukan masa depan generasi mendatang. Jika kita terus menutup telinga dari kicauan burung dan memalingkan mata dari kehancuran, maka kita telah gagal melakukan tadabur. Namun jika kita mulai dari hal kecil—mengurangi sampah, menanam pohon, berbagi pengetahuan tentang pentingnya menjaga alam, maka kita sedang menulis syair baru: syair tentang harapan dan kelestarian.

Akhirnya, seperti kalimat pembuka dalam syair itu, "Dengarkanlah suara kicauan burung bulbul," marilah kita buka mata, telinga, dan hati untuk mendengar suara-suara dari alam yang selama ini kita abaikan. Tadabur alam bukan sekadar kegiatan, tetapi kesadaran. Dan, "Tob Tobi Tob" bukan hanya warisan sastra, tetapi panggilan untuk kembali mencintai semesta, seperti kita mencintai bait-bait puisi yang penuh pesona. Sebab sejatinya, bumi ini adalah kitab yang terbentang, dan setiap helai daunnya menyimpan hikmah yang menunggu untuk direnungkan.

Randi Syafutra dosen Prodi Konservasi Sumber Daya Alam Universitas Muhammadiyah Bangka Belitung

(mmu/mmu)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial