Jakarta -
Jaringan kabel bawah laut dunia membentang sekitar 1,4 juta kilometer dan membawa lebih dari 95% lalu lintas internet antarbenua. Namun, kabel ini tetap rentan terhadap kerusakan yang tidak disengaja, seperti jangkar kapal, dan gangguan yang disengaja.
Insiden baru-baru ini di Baltik dan Laut Merah telah memperjelas kerapuhan kabel tersebut. Kini, para pembuat kebijakan sedang melakukan inisiatif internasional untuk melindungi sistem tersebut.
"Kita perlu bekerja sama untuk mempertahankan seluruh jaringan," kata Menteri Pertahanan Singapura Chan Chun Sing dalam Dialog IISS Shangri-La, sebuah forum keamanan di Asia, pada Juni 2025.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
"Tidak ada gunanya mencoba mempertahankan integritas dan keamanan kabel bawah laut dengan melihat pada satu titik saja. Kita harus memastikan kedua ujungnya aman," tambahnya.
Negara-negara NATO mulai rutin berpatroli
Pada Februari 2024 silam, beberapa kabel di Laut Merah terputus ketika jangkar milik kapal kargo yang ditenggelamkan oleh militan Houthi terseret ke dasar laut. Kerusakan tersebut menyebabkan penurunan drastis kapasitas internet antara Eropa dan Asia. Insiden itu mengganggu segala hal mulai dari transaksi keuangan hingga konferensi video.
Sementara itu, Eropa telah berjuang dengan serangkaian gangguan serupa di Laut Baltik. Banyak pejabat pihak Barat mengisyaratkan bahwa kabel-kabel tersebut sengaja dirusak oleh kapal-kapal yang terafiliasi dengan Rusia. Hanya saja, para ahli memperingatkan bahwa tidak ada bukti kerusakan yang disengaja.
Sejak Januari 2025, beberapa anggota NATO mulai memperluas penyebaran fregat atau kapal perang untuk patroli dan anti-kapal selam, pesawat patroli maritim, serta pesawat nirawak untuk melakukan misi pengawasan kabel secara teratur di seluruh kawasan yang vital.
Beijing memanfaatkan kabel untuk sengketa
Di kawasan Asia Tenggara, infrastruktur bawah laut turut menghadapi gesekan geopolitik yang serupa.
Pada Februari 2025, pejabat Taiwan menahan sebuah kapal dengan kru berkebangsaan Cina. Penahanan itu dilakukan setelah rusaknya kabel komunikasi bawah laut yang berlokasi di wilayah Taiwan.
Taiwan merupakan negara yang merdeka dan memiliki pemerintahan sendiri. Namun, Beijing menganggap Tiawan merupakan provinsi yang memisahkan diri dari Cina.
Selain itu, Cina semakin menekan konsorsium atau pihak-pihak pengelola kabel yang memasang sambungan baru dari Jepang melalui Laut Cina Selatan. Konsorsium dipaksa untuk mendapatkan "izin" dari Beijing. Artinya, secara efektif menggandakan klaim Cina di perairan yang disengketakan secara internasional.
"Ini hanyalah cara lain yang digunakan Cina untuk menegaskan kedaulatannya atas Laut Cina Selatan," kata Zachary Abuza, seorang profesor di National War College di Washington, kepada DW.
Selain itu, Cina dilaporkan tengah mengembangkan "perangkat pemotong kabel canggih yang mampu menargetkan kabel lapis baja pada kedalaman tertentu, yang belum pernah dilakukan sebelumnya," hal ini dilaporkan lewat sebuah komentar yang diterbitkan oleh majalah yang berbasis di Tokyo, Nikkei Asia, Juni 2025.
Negara-negara Asia Tenggara juga khawatir kalau kabel-kabel tersebut dapat terancam oleh bencana alam dan mungkin akan menghambat akses mereka ke proyek-proyek energi terbarukan yang baru maupun yang sedang dikembangkan, misalnya pembangkit listrik tenaga angin lepas pantai.
Berdasarkan laporan Nikkei Asia, investasi di sektor kabel listrik bawah laut diproyeksikan akan mencapai $1,95 miliar (sekitar Rp31,69 triliun) pada tahun 2030.
Upaya Vietnam agar 'Beijing tidak marah'
Vietnam, negara berpenduduk 90 juta jiwa yang hanya dilayani oleh lima kabel bawah laut, sempat kehilangan hingga 75% kapasitas datanya pada Februari 2023. Saat itu, kelima kabel mengalami kerusakan parsial atau total.
Pada bulan Juni 2024 lalu, tiga dari lima kabel internet bawah laut kembali mengalami kerusakan.
Hingga kini, penyebab gangguan itu masih belum jelas, setidaknya secara resmi.
Kepada DW, Alexander Vuving, seorang profesor di Daniel K. Inouye Asia-Pacific Center for Security Studies di Honolulu, mengatakan bahwa pemerintah Hanoi "berhati-hati untuk tidak membuat Cina marah dan cenderung menepis kecurigaan bahwa kabel-kabel itu sengaja dirusak."
"Mereka berargumen bahwa kabel-kabel itu terletak di salah satu rute pelayaran tersibuk di dunia, sehingga cukup tinggi kemungkinan kapal-kapal penangkap ikan secara tidak sengaja merusaknya," lanjut Vuving.
"Namun, argumen ini tidak menjawab pertanyaan mengapa tingkat insiden meningkat tajam dalam beberapa tahun terakhir."
UE jadi jalan keluar dari konflik AS-Cina?
Vietnam ingin menambah hingga empat kabel baru di tahun-tahun mendatang supaya secara signifikan meningkatkan kecepatan konektivitas dan sumber daya listrik, karena negara ini ingin berkembang menjadi manufaktur teknologi tingkat tinggi.
Hanoi telah mendorong perusahaan-perusahaan telekomunikasi Vietnam untuk memelopori langkah ini. Namun, memasang kabel di dasar laut membutuhkan biaya yang besar, dan perusahaan-perusahaan Vietnam sedang mencari investasi dari luar, terutama dari Cina dan Amerika Serikat.
"Banyak orang di Vietnam melihat ini sebagai situasi yang tidak menguntungkan, karena mereka tidak ingin bergantung pada Cina atau AS, dan tentu saja tidak ingin terjerat dalam persaingan AS-Cina," kata Vuving kepada DW.
'Diplomasi kabel' Brussels
Perusahaan Alcatel Submarine Networks asal Prancis sering dianggap sebagai pemimpin global dalam pemasangan kabel bawah laut, dan beberapa perusahaan Eropa mengoperasikan armada kapal perbaikan kabel yang cukup besar.
Pada Februari 2025, Uni Eropa menerbitkan Rencana Aksi Perlindungan Kabel (Action Plan on Cable Security), yang meminta Brussel untuk "mengembangkan dan menerapkan diplomasi kabel tingkat lanjut."
"Dalam penanganan insiden," bunyi kutipan rencana itu, "Uni Eropa harus meningkatkan pertukaran informasi dengan, misalnya, mitra Indo-Pasifik yang menghadapi insiden serupa terkait infrastruktur penting kabel bawah laut."
Henna Virkkunen, Wakil Presiden Eksekutif Komisi Eropa yang bertanggung jawab atas keamanan, telah mengumumkan bahwa hampir €1 miliar (setara Rp17,5 triliun) dialihkan dalam anggaran Uni Eropa untuk meningkatkan pengawasan kabel bawah laut dan membangun armada kapal perbaikan darurat.
AS ingin Eropa ada di Asia?
Kemampuan Eropa mendukung Asia adalah masalah lain.
"Meskipun Eropa dapat membantu membangun lebih banyak arsitektur kabel bawah laut untuk Asia Tenggara, Cina sudah mendominasi jaringan kabel bawah laut di wilayah tersebut," kata Joshua Kurlantzick, seorang peneliti senior untuk Asia Tenggara di Dewan Hubungan Luar Negeri, kepada DW.
"Dibutuhkan upaya besar-besaran dan sangat mahal oleh Eropa untuk bisa menggantikan jaringan kabel Cina, dan saya rasa Eropa tidak mampu melakukannya," paparnya.
Selain itu, mungkin ada penolakan dari pihak Amerika Serikat, yang tampaknya semakin percaya bahwa Eropa harus mengeluarkan diri dari kawasan Indo-Pasifik.
Dalam pertemuan Shangri-La Dialogue pada Juni 2025, Menteri Pertahanan AS Pete Hegseth berpendapat bahwa negara-negara Eropa harus membatasi keterlibatan dan investasi mereka di kawasan-kawasan seperti Asia Tenggara supaya dapat fokus sepenuhnya pada pengamanan Eropa.
Sehari kemudian, Kaja Kallas, Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa, menentang pendapat tersebut, dengan menyatakan bahwa "itu adalah sebuah ilusi bahwa kawasan keamanan Indo-Pasifik dan Eropa tidak saling terkait."
Dia menyerukan agar Eropa dan Asia berkolaborasi melawan "armada bayangan" rahasia dan meninjau kembali undang-undang keamanan maritim untuk melindungi jaringan kabel bawah laut.
Artikel ini terbit pertama kali dalam bahasa Inggris
Diadaptasi oleh: Muhammad Hanafi
Editor: Melisa Lolindu
(ita/ita)
Hoegeng Awards 2025
Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini