Hilangnya Batas Kepastian di Era Artificial Intelligence

21 hours ago 7

Jakarta -

Apa yang tak boleh terburu-buru ditentukan di zaman teknologi informasi, hari ini? Kepastian. Kepastian yang disimpulkan gegabah, sering mempermalukan pelakunya.

Pernyataan ini mengandung paradoks. Seluruhnya, karena di tengah arus deras peredaran informasi kepastian harusnya lebih mudah tercapai. Berbagai perangkat teknologi informasi berbasis digital, berkembang tak terbendung. Juga dalam wujudnya sebagai sistem artificial intelligence (AI).

Sistem ini mampu mengolah data hingga satuan exabyte. Sehingga wawasan apapun, dapat diperoleh darinya. Jika Senin, Selasa, Rabu adalah 3 byte data nama hari. Juga Kunyit, Laos dan Jahe adalah 3 byte data nama rempah-rempah, terdapat 1 triliun byte data semacam itu yang dapat diolah serentak, menggunakan perangkat teknologi informasi.

SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT

Penggabungan datanya membentuk informasi bermakna, yang jumlahnya tak terhingga. Saat makna yang bilangannya tak berhingga saling dikaitkan, terproduksi limpahan pengetahuan. Lewat kelimpahan pengetahuan, mestinya kepastian jadi keniscayaan. Tapi tampaknya tak seperti itu.

Justru kepastian sering dibatalkan hanya dengan mengandalkan kelimpahan data. Ini misalnya, saat pelaku usaha berinvestasi pada penggunaan teknologi informasi. Tujuannya memastikan pembacaan perilaku calon konsumennya: bakal membeli atau tak membeli produk yang ditawarkan.

Data-data demografi, geografi maupun psikografi konsumen dikumpulkan dan diolah. Seluruhnya untuk diprediksi minatnya terhadap produk yang dipasarkan. Produksi maupun promosi disusun mengikuti prediksi yang dianggap pasti itu. Seluruh yang dilakukan itu, sering disebut sebagai personalisasi.

Personalisasi dapat mereduksi investasi yang sia-sia. Namun dapat menjadi upaya yang gagal, ketika personalisasi menggabaikan pemahaman terhadap konteks budaya. Pada budaya suatu negara yang bersifat komunal, pembuatan keputusan juga dilakukan dalam aturan kelompok. Pelaku usaha yang hanya memperhatikan kelimpahan data riwayat pembelian, dan tak tahu jika keputusan senyatanya dibuat dalam aturan kelompok.

Ada jejak digital yang tertinggal di mesin pencarian --yang seluruhnya merepresentasikan interaksi sebagai konsumen individu- maka ketika promosi hanya ditujukan pada individu, kemungkinannya gagal menciptakan keputusan pembelian. Konsumen tak tertarik pada produk yang ditawarkan.

Sebab, hari ini personalisasi dilakukan dengan mengabaikan peran individu lain dalam kelompok. Kepastian yang hanya mengandalkan kelimpahan data digital, tak mampu memutlakkan hasilnya. Ada faktor lain yang turut mempengaruhi operasinya.

Kepastian jadi hal yang digandrungi hari ini. Sebab ketika seluruhnya benar-benar terwujud, banyak penghematan yang dapat diraih. Juga tercegah dari tindakan yang merugikan saat diterapkan di luar arena pemasaran. Namun dengan hanya mengandalkan kelimpahan data, justru dapat jatuh pada keadaan yang tak diharapkan.

Penggunaannya yang meniscayakan kepastian, dapat mengantar pada kesalahan. Mitigasi atas kemungkinan itu perlu dirancang. Penafsiran yang hanya mengandalkan operasi komputasional, statistik dan matematika bersifat terbatas. Dan seluruhnya adalah paradoks di tengah banjirnya informasi. Tapi bagaimana paradoks itu dapat dijelaskan?

Paradoks berawal ketika hari ini, relasi mempertukarkan data -produksi, distribusi dan konsumsinya-berlangsung melalui perangkat teknologi informasi: website, aplikasi maupun media sosial. Maka dalam konteks pertukaran itu, data tak lain adalah material yang diproduksi, didistribusikan dan dikonsumsi sebagai konten.

Nikki Woods, 2018, dalam "The Four Different Forms of Content" menyebut: terdapat 4 jenis konten utama di perangkat teknologi informasi. Masing-masing, teks, grafik, audio, dan video. Konten itu punya kelebihan dan kekurangannya masing-masing. Konten ini pun punya daya tarik yang berbeda-beda, di hadapan khalayak yang tak sama. Data adalah konten.

Konten --yang dapat berupa teks, grafik, audio maupun video-- seluruhnya dapat diringkas penyebutannya sebagai teks. Maka relevan dengan itu, teks adalah data yang telah berubah wujudnya menjadi bermakna. Teks tak lain adalah Informasi. Dalam himpunan informasi --terdapat aktivitas, opini maupun perhatian-- yang seluruhnya dapat diringkas sebagai perilaku. Maka keterkaitannya: perilaku adalah informasi, informasi adalah konten
dan konten adalah teks. Seluruhnya: perilaku adalah teks.

Terkait teks, Paul Ricoeur dalam bukunya "Interpretation Theory: Discourse and the Surplus of Meaning" yang ditulis pada tahun 1976. Juga dalam "Hermeneutics and the Human Sciences: Essays on Language, Action and Interpretation" yang ditulis pada tahun 1981, seluruhnya kemudian dikutip John B. Thompson, 2017, yang menyebut kurang lebih: teks merupakan objek interpretasi yang istimewa. Seluruh proses interpretasinya dapat difasilitasi
dan diperkaya dengan menggunakan metode analisis tertentu. Ini bertujuan untuk menjelaskan maknanya.

Teks punya makna terstruktur yang total, yang terlepas dari proses produksinya. Karenanya teks dapat dianalisis dengan metode strukturalis. Namun seluruh upaya penafsiran tak akan pernah mencapai tujuan akhirnya. Analisis hanya menjadi langkah interpretasi, untuk mengungkap 'dunia' teks dan makna pentingya bagi para pembaca.

'Metode analisis tertentu' yang dimaksud di atas, adalah hermeneutika. Perangkat analisis ini, dapat digunakan untuk mengintepretasikan makna sebuah teks. Teks yang juga berarti perilaku personal, yang diwujudkan sebagai konten media sosial. Relevan dengan pernyataan itu, Haryatmoko, 2018, dalam "Menggugat Rezim Kepastian", mencoba menjelaskan relasi teks dan hermeneutika, mengikuti gagasan Paul Ricoeur.

Disebutkan, tugas hermeneutika adalah melakukan pencarian di dalam teks. Ini adalah kemampuan yang bertujuan untuk memproyeksikan teks, agar mengeluarkan dirinya dan melahirkan satu dunia yang merupakan makna utamanya atau pesan teks itu.

Jika seluruhnya disajikan dalam bahasa berbeda, makna teks tak serta merta terwujud lewat tampilannya: susunan huruf, grafis, audio maupun video. Juga ketika teks itu berwujud perilaku personal. Tak dapat dengan sewenang-wenang, maknanya ditentukan sebatas hal yang ditampilkannya. Dengan menggunakan hermeneutika, dilakukan pencarian yang memproyeksikan makna. Agar keluar dari dirinya: satu dunia yang merupakan pesan utama teks. Peran hermeneutika --yang salah satu tujuan penggunaannya-- mencegah kesewenangwenangan dan subyektifitas penafsiran.

Lagi pula, saat perilaku --sebagai teks yang direpresentasikan melalui konten media sosial-- merupakan tindakan aktor sosial, demikian pula tuntutannya saat melakukan penafsiran. Analisa perilaku aktor itu, harus didasari teori sosial.

Ini artinya tak hanya puas dengan yang konstantif dan deskriptif. Analisa juga tak bisa hanya mengikuti ideal positivistikobyektif atau azas bebas nilai lainnya. Masyarakat penuh ketakadilan dan diatur oleh tindakan rasional. Teori sosial harus menjangkau secara kritis, perilaku masyarakat sebagai teks, berdasar perspektif nilai tertentu. Artinya, hanya menafsir perilaku sebatas teks seraya memisahkannya dari konteks, maupun teks-teks lain --interteksnya-yang mendahului maupun yang mengikutinya akan menjumpai kegagalan.

Dalam realitas hakikinya, teks tak pernah lepas dari konteksnya maupun relasi interteksnya. Relasi interteks itu, dapat berupa perilaku terdahulu maupun yang mengikutinya. Seluruhnya relevan dengan pernyataan Jacques Derrida -dan dinyatakan dalam penelitian Gavin P. Hendricks, 2016, dalam "Deconstruction the End of Writing: 'Everything is a Text, there is Nothing Outside Context". Ada pula penelitian Mevlüde Zengin, 2016, berjudul "An Introduction to Intertextuality as a Literary Theory: Definitions, Axioms and The Origunators" - yang kurang lebih menyebut: makna suatu teks tak serta merta terkandung dalam teksnya.

Dalam pendekatan tafsir teksnya --yang tersohor disebut sebagai dekonstruksi-- Derrida menunjukkan: teks, konteks, dan interteks tidaklah terpisah. Ketiganya merupakan jaringan yang kompleks dan saling berhubungan.

Karenanya makna selalu dihasilkan dalam relasinya dengan teks-teks lain. Termasuk dalam relasinya di dalam konteks tertentu. Konteks ini pada gilirannya mewujud sebagai keutuhan makna teks. Seluruhnya terbaca sebagai kesejatian tafsir. Kesejatian yang dapat menjadi tak terbatas. Karena teks bukan entitas tertutup yang dapat membentuk makna sendiri. Teks selalu jadi bagian dari sistem teks yang luas, sistem bahasa, maupun konteks budaya yang lebih besar.

Terdapat catatan terkait konsep-konsep yang dikemukakan Derrida di atas: konteks termasuk lingkungan historis, sosial maupun budaya. Konteks juga dapat berwujud sebagai petunjuk cara memperlakukan teks. Akan halnya intertekstualitas, berfungsi membangun hubungan antar teks. Dengan memperhatikan keberadaannya, tak ada teks yang mampu berdiri sendiri mencapai keutuhan makna.

Relasi teks, konteks dan intekteks yang mewujudkan itu. Sifatnya pun cair. Makna dapat mengalami pembaruan tafsir, mengikuti konteks maupun intekteks zamannya. Karenanya, memutlakkan makna sebatas teks--terlebih ketika hari ini dengan difasilitasi AI, teks apapun bisa dipalsukan-- hanya bakal mengantar pada ketersesatan. Atau setidaknya kedangkalan yang memalukan.

Memang tak mudah hidup di hari ini. Di tengah hilangnya batas kepastian.

Firman Kurniawan S. Pemerhati Budaya-Komunikasi Digital & Pendiri LITEROS.org.

(rdp/rdp)

Loading...

Hoegeng Awards 2025

Baca kisah inspiratif kandidat polisi teladan di sini

Read Entire Article
Koran | News | Luar negri | Bisnis Finansial